Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
In Memoriam Paus Fransiskus: Sebuah Ajakan untuk Menjadi Gereja yang Hidup
22 April 2025 13:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Delvis sonda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Wafatnya Paus Fransiskus menandai berakhirnya sebuah era yang penuh dengan semangat pembaruan, kasih, dan keberanian. Dunia, tidak hanya umat Katolik, kehilangan sosok pemimpin spiritual yang selama lebih dari satu dekade mengajak Gereja Katolik untuk tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi menjadi rumah belas kasih yang hidup, terbuka, dan relevan bagi seluruh umat manusia.
ADVERTISEMENT
Paus Fransiskus, dengan nama lahir Jorge Mario Bergoglio merupakan paus pertama dari Benua Amerika Latin dan juga paus pertama yang memilih nama “Fransiskus”, terinspirasi dari Santo Fransiskus dari Assisi, santo pelindung orang miskin dan lingkungan hidup. Nama itu bukan sekadar simbol. Ia menjalankan pontifikatnya dengan semangat kerendahan hati, kesederhanaan, dan keberpihakan pada mereka yang terpinggirkan. Dari awal, ia telah mengarahkan Gereja ke jalan yang lebih inklusif dan penuh empati, jauh dari kesan kaku dan eksklusif yang kerap melekat pada institusi ini.
Gereja yang Turun dari Menara Gading
Salah satu warisan terbesar Paus Fransiskus adalah ajakannya yang berulang kali agar Gereja tidak terjebak dalam rutinitas ritus dan dogma belaka, melainkan hidup dan bergerak di tengah masyarakat. “Saya lebih suka Gereja yang lebam, terluka, dan kotor karena telah keluar ke jalanan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan nyaman,” ujarnya dalam Evangelii Gaudium (2013).
ADVERTISEMENT
Paus Fransiskus menolak Gereja yang sibuk menjaga moralitas sambil melupakan belas kasih. Ia lebih tertarik pada dialog daripada penghakiman, pada pendampingan pastoral ketimbang ekskomunikasi. Gereja yang ia impikan adalah “rumah sakit lapangan”, yang pertama-tama menyembuhkan luka sebelum memberi doktrin. Ini adalah revolusi yang tidak tampak dalam wujud megah, tetapi hadir dalam sikap: menyambut, mendengarkan, berjalan bersama.
Keberanian dalam Kesederhanaan
Kepemimpinan Paus Fransiskus mengajarkan bahwa kekuatan sejati datang dari keberanian untuk menjadi kecil. Ia mengubah gaya hidup kepausan menjadi lebih sederhana: memilih tinggal di Wisma Santa Marta alih-alih Istana Apostolik, mengenakan sepatu ortopedi biasa, dan naik mobil sederhana. Namun kesederhanaan ini justru memperkuat wibawanya. Ia tidak hanya mengatakannya, ia menjalaninya.
Lebih dari itu, Paus Fransiskus secara konsisten menyuarakan keprihatinan atas berbagai isu global: krisis iklim, ketimpangan sosial, pengungsi, perdamaian dunia, hingga hubungan antaragama. Dalam ensiklik Laudato Si’ (2015), ia menyerukan tanggung jawab moral atas kerusakan bumi, dan dalam Fratelli Tutti (2020), ia menekankan pentingnya persaudaraan universal. Dunia mendengarkannya bukan hanya karena posisinya, tetapi karena integritasnya.
ADVERTISEMENT
Menjadi Gereja yang Hidup di Tengah Masyarakat
Bagi umat Katolik Indonesia, warisan Paus Fransiskus adalah ajakan untuk menjadikan Gereja sebagai kekuatan moral yang relevan dan hadir. Gereja tidak bisa lagi bersikap netral dalam wajah kemiskinan, ketidakadilan, atau perusakan lingkungan. Ia harus menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara, pendamping bagi yang tersingkir, dan ruang aman bagi siapa pun yang mencari pengharapan.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, ajakan Paus Fransiskus juga berarti memperkuat dialog antarumat beragama, membangun persaudaraan sosial, dan menolak kekerasan atas nama agama. Gereja yang hidup adalah Gereja yang membuka diri pada perbedaan, tanpa kehilangan jati diri; yang mewartakan Kristus bukan hanya lewat kata, tetapi lewat kasih yang nyata.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Harapan ke Depan
Wafatnya Paus Fransiskus tentu menyisakan kekosongan, tetapi juga menjadi momen refleksi. Pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang akan menggantikan beliau, tetapi bagaimana kita melanjutkan semangatnya. Apakah kita hanya akan mengenang beliau dalam doa, ataukah kita akan menerjemahkan ajarannya dalam tindakan konkret?
Kita tahu, perubahan yang beliau mulai tidak akan selesai dalam satu masa kepausan. Reformasi dalam Gereja membutuhkan waktu dan keberanian. Namun kita semua, sebagai umat, juga dipanggil untuk menjadi bagian dari perubahan itu. Kita dipanggil untuk menjadi “garam dan terang dunia”, sebagaimana sering dikutip Paus Fransiskus. Namun, bukan hanya dalam hal-hal besar, tetapi dalam kesetiaan pada hal kecil: mendengarkan, melayani, mengasihi.
Paus Fransiskus telah menyelesaikan perjalanannya dengan setia dan rendah hati. Kini giliran kita melanjutkan langkahnya. Di tengah dunia yang kerap terbelah oleh kebencian, ketakutan, dan keegoisan, warisan Paus Fransiskus adalah cahaya yang mengajak kita untuk membangun Gereja yang hidup: "Gereja yang keluar dari temboknya, Gereja yang melayani, dan Gereja yang menjadi wajah belas kasih Allah."
ADVERTISEMENT
Mengenang Paus Fransiskus tidak cukup dengan kata-kata yang indah. Ia mesti dihidupi dalam keberanian untuk menjadi Gereja yang hadir di dunia nyata yang penuh luka, namun tetap berjalan dengan pengharapan. Sebagaimana ia pernah berkata: "Jangan pernah biarkan dirimu dicuri oleh harapan."