Konten dari Pengguna

Jokowi Raja Jawa Mulai Ditinggalkan

Delvis sonda
Ketua PMKRI Cabang Jakarta timur
29 Agustus 2024 8:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Delvis sonda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi presiden jokowi. Foto:www.shutterstock.com/id/image-vector/jokowi-joko-widodo-portrait-drawing-may
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi presiden jokowi. Foto:www.shutterstock.com/id/image-vector/jokowi-joko-widodo-portrait-drawing-may
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jokowi, Presiden Indonesia saat ini, dikenal dengan gaya politik populisnya yang mencerminkan elemen-elemen dasar dari populisme, yaitu penekanan pada politik anti-elite atau non-elite. Jokowi, yang awalnya dianggap sebagai representasi rakyat biasa yang mampu menembus dominasi elite politik, kini terlihat menjalin aliansi dengan berbagai elite, termasuk Prabowo Subianto, mantan rival politiknya. Pendukung Jokowi menganggapnya sebagai orang yang membumi dan sederhana.
ADVERTISEMENT
Selama menjadi Presiden, Jokowi dikenal dengan pendekatan teknokratik dalam pembangunan, terutama di bidang infrastruktur. Ia memilih untuk melibatkan perusahaan-perusahaan negara dalam proyek-proyek tersebut, alih-alih sepenuhnya menyerahkannya kepada sektor swasta. Meskipun ini mengakibatkan peningkatan utang negara, Jokowi tetap meyakini bahwa investasi infrastruktur adalah kunci untuk kemajuan ekonomi.
Secara naluri politik, Jokowi berbeda dari presiden sebelumnya karena ia tidak memiliki partai politik sendiri. Meskipun didukung oleh PDI-P, ia tidak terikat langsung dengan partai tersebut. Jokowi lebih bergantung pada dukungan relawan dan menjalin hubungan dengan berbagai partai untuk membangun basis dukungannya. Ini memungkinkannya memiliki dukungan mayoritas hampir mutlak di pemerintahan.
Namun, Jokowi juga menghadapi kritik terkait penyalahgunaan kekuasaannya. Ia dianggap semakin membatasi kebebasan berbicara dan memanfaatkan media sosial untuk membangun citra positif tentang pemerintahannya. Ada juga kekhawatiran bahwa langkah-langkahnya melindungi elite politik dan ekonomi melalui revisi undang-undang dinilai sebagai upaya untuk mempersempit kebebasan.
ADVERTISEMENT
Langkah Jokowi untuk memperkuat posisinya dengan memajukan anak sulungnya, Gibran Rakabuming, dianggap oleh beberapa pihak sebagai bentuk nepotisme yang bertentangan dengan citranya sebagai pemimpin anti-elite. Beberapa pihak melihat langkah ini sebagai bagian dari strateginya untuk mengamankan kekuasaan dan melindungi pengaruhnya setelah masa jabatannya berakhir.
Dalam konteks ini, Jokowi tampaknya mengikuti jejak pemimpin populis seperti Donald Trump dalam hal membangun basis dukungan dan menggunakan media untuk memperkuat citranya. Namun, berbeda dari Trump, Jokowi memilih pendekatan yang lebih sederhana dan membumi, sesuai dengan karakter politiknya di Indonesia.
Dengan dukungan yang kuat dan tingkat kepuasan rakyat yang tinggi, Jokowi seharusnya bisa meninggalkan kursi kepresidenan dengan cara yang terhormat. Namun, usahanya untuk membangun dinasti politik dan menjalin aliansi dengan Prabowo menunjukkan bahwa dia mungkin masih memiliki ambisi politik yang lebih besar atau kekhawatiran mendasar.
ADVERTISEMENT
Sang “maestro’’ Mulai di Tinggalkan.
Di penghujung jabatannya sebagai presiden, pengaruh Jokowi memang cenderung menurun seiring waktu, dan ini merupakan hukum politik yang alami. Setiap presiden pada akhirnya akan menjadi bagian dari masa lalu dan dilupakan, termasuk oleh orang-orang di sekelilingnya. Mereka akan cenderung menjauh karena tidak ingin terlibat dalam beban kesalahan pemerintahan.
Seorang presiden, apapun namanya, tidak pernah sempurna. Ketika seseorang diberi kekuasaan, mereka akan menghadapi berbagai tantangan, godaan, dan lawan. Benturan-benturan ini seringkali tanpa disadari memicu terjadinya berbagai kesalahan.
Setelah sukses memainkan perannya sebagai maestro politik dalam memenangkan anak sulungnya dan Prabowo sebagai presiden dan wakil presiden. Kini ketegangan muncul antara Jokowi dan Prabowo terkait usulan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), yang dimaksudkan untuk memperkuat posisi politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan memberikan kesempatan bagi putra bungsunya, Kaesang Pangarep, untuk terjun ke dunia politik. Penolakan Prabowo terhadap usulan tersebut, setelah awalnya didukung oleh Partai Gerindra, menunjukkan adanya keretakan serius yang dapat dibandingkan dengan dinamika politik di Filipina antara Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. dan Mantan Presiden Rodrigo Duterte. Ketegangan ini menandakan pergeseran dalam kekuasaan dalam koalisi.
ADVERTISEMENT
Dukungan awal Prabowo dan Gerindra terhadap revisi UU Pilkada adalah langkah strategis untuk mengonsolidasikan kekuasaan dalam KIM. Jika revisi ini diterima, Kaesang bisa mencalonkan diri di Jawa Tengah, memperkuat dinasti Widodo, dan menghalangi Anies Baswedan dalam pemilihan gubernur Jakarta. Namun, setelah reaksi publik yang keras menolak revisi ini sebagai upaya untuk merusak demokrasi dan memperkuat dinasti politik, Prabowo dan Gerindra menarik dukungan mereka.
Penolakan Prabowo terhadap usulan Jokowi bukan hanya langkah mundur menghadapi ketidakpuasan publik, tetapi juga upaya untuk menjauh dari ambisi pribadi Jokowi. Ini dapat menandakan awal dari perjuangan kekuasaan yang lebih besar antara keduanya, seiring memburuknya hubungan mereka. Sama seperti ketegangan antara Marcos Jr. dan Sara Duterte di Filipina, aliansi antara Prabowo dan Jokowi juga menunjukkan retakan, dengan Prabowo memilih untuk menjaga integritasnya daripada memenuhi ambisi dinasti Jokowi.
ADVERTISEMENT
Dampak dari keretakan ini dapat mempengaruhi masa depan koalisi KIM, yang mungkin menghadapi ketidakstabilan dan persaingan faksi-faksi dalam politik Indonesia pasca-Jokowi. Penolakan Prabowo terhadap pencalonan Kaesang mencerminkan penolakan terhadap dinasti politik yang semakin disuarakan oleh publik. Langkah ini menunjukkan bahwa Prabowo memahami lanskap politik yang kompleks dan berusaha untuk menegaskan independensinya serta menjaga masa depan politiknya sambil menavigasi dinamika kekuasaan yang berubah.