Konten dari Pengguna

Kerusakan Alam dan Dampak Terhadap Perempuan

Delvis sonda
Ketua PMKRI Cabang Jakarta timur
31 Agustus 2024 15:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Delvis sonda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerusakan hutan. Foto: www.shutterstock.com/id/image-vector/collapsed-tree-icon-flat-style-isolated
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerusakan hutan. Foto: www.shutterstock.com/id/image-vector/collapsed-tree-icon-flat-style-isolated
ADVERTISEMENT
Provinsi Papua Selatan dikenal dengan kekayaan ekosistemnya yang mencakup berbagai jenis lingkungan, mulai dari hutan mangrove dan lahan basah hingga sabana dan hutan tropis yang lebat. Bagi masyarakat asli Merauke, khususnya suku Marind Anim, hidup mereka tidak hanya bergantung pada hasil alam tetapi juga hidup berdampingan dengan alam, memandangnya sebagai ibu yang memberikan kehidupan. Hutan bagi mereka bukan hanya sumber penghidupan tetapi juga bagian integral dari proses produksi dan reproduksi mereka. Oleh karena itu, praktik pengelolaan hutan oleh orang asli Papua (OAP) berusaha untuk menjaga kelestarian hutan.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, krisis hutan global semakin meningkat, dan dampaknya mulai dirasakan di Papua Selatan, yang dikenal dengan hutan luas dan tropisnya. Sejak tahun 2001, deforestasi di Papua Selatan, terutama di Merauke, telah meningkat pesat. Wilayah ini yang dulunya dikenal sebagai penampung karbon dan surga keanekaragaman flora dan fauna kini beralih fungsi menjadi area perkebunan untuk memenuhi kebutuhan pasar global. Akibatnya, banyak tempat penting bersejarah rusak karena penggundulan dan penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing, menimbulkan ancaman terhadap keberlangsungan hutan hujan di Papua Selatan.
Perubahan ini sangat dirasakan oleh perempuan asli Papua Selatan, yang mengandalkan hutan sebagai sumber makanan dan penghidupan. Di satu sisi, kehadiran perusahaan membuka peluang ekonomi bagi sebagian perempuan, namun di sisi lain, banyak perempuan harus menghadapi beban tambahan karena perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Perempuan di Papua Selatan biasanya terlibat dalam kegiatan bertani dan memanen buah serta sayur, sementara laki-laki berburu hewan. Karena budaya patriarki yang kuat, perempuan juga harus menjalankan tanggung jawab rumah tangga seperti merawat anak, melayani suami, dan memelihara ternak. Dengan berkurangnya hutan yang menyediakan sumber daya, beban kerja perempuan semakin berat.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif ekofeminisme, krisis hutan berdampak secara tidak proporsional pada perempuan, yang menjadi kelompok paling rentan terhadap ketidakamanan akibat perambahan hutan. Ekofeminisme mengidentifikasi kesamaan antara penindasan perempuan dan eksploitasi alam, di mana keduanya sering kali mengalami penindasan yang didominasi oleh laki-laki. Meski isu lingkungan dan gender semakin diperhatikan, di Papua Selatan, budaya patriarki yang kuat masih membatasi pembicaraan tentang hal ini.
Ekofeminisme menganggap bahwa perempuan dan alam memiliki kesamaan dalam fungsi produksi. Alam sering dianggap pasif, menghasilkan sumber daya yang kemudian dimanfaatkan manusia, sedangkan perempuan memiliki fungsi reproduksi biologis dan sosial. Keduanya perlu dijaga dan dilindungi untuk keberlangsungan hidup. Keduanya juga mengalami penindasan; perempuan mengalami pelecehan dan diskriminasi, sementara alam dieksploitasi secara sembarangan.
ADVERTISEMENT
Perempuan berperan dalam menghasilkan dan mereproduksi kehidupan baik secara biologis maupun melalui peran sosial dalam menyediakan makanan. Mereka tidak hanya mengumpulkan dan mengonsumsi hasil alam tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan melalui aktivitas pertanian dan pemeliharaan. Ketika hutan rusak karena proyek pembangunan, dampaknya sangat dirasakan oleh perempuan, yang kehilangan sumber pangan seperti sagu dan sayur-sayuran serta akses terhadap air bersih. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan, seperti gizi buruk pada anak-anak, dan meningkatkan beban kerja perempuan yang harus mencari sumber daya lebih jauh. Dalam situasi ini, perempuan sering menghadapi diskriminasi dan kesulitan ekonomi, termasuk menjadi buruh lepas di perkebunan dengan kondisi kerja yang sulit.