Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pembatasan Internet Dilihat Dari Sisi Demokrasi, Good Governance, dan Informasi
25 Desember 2020 17:35 WIB
Tulisan dari Dhia Elza Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 19 Agustus 2019, pemerintah Indonesia melakukan perlambatan akses internet yang berujung pada pembatasan dan pemblokiran akses internet di Papua hingga dua minggu lamanya. Adapun alasan pemerintah melakukan pemblokiran akses internet ini karena ingin menjaga keamanan nasional dan mengatasi situasi darurat. Akan tetapi, terdapat keterkaitan peristiwa lain yang menjadi penyebab dilakukannya pembatasan akses internet di Papua. Pada tanggal 18 Agustus 2019, terjadi perlakuan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua yang berada di Surabaya. Perlakuan tersebut didokumentasikan dalam bentuk video yang menarik atensi masyarakat hingga menjadi perbincangan di media sosial, terutama Twitter yang menjadi trending topic dengan menggunakan hashtag Papua. Dengan ramainya perbincangan di media sosial, terjadi aksi unjuk rasa di Manokwari yang berujung pada kerusuhan dan merupakan penyebab terjadinya tragedi kemanusiaan di Wamena.
ADVERTISEMENT
Sudut Pandang Pemerintah
Pembatasan akses internet ini jika dilihat dari sudut pandang pemerintah bertujuan untuk mengurangi dampak negatif yang akan timbul apabila tersebar berita bohong terkait masyarakat Papua. Permasalahan ini berawal dari perlakuan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua yang berada di Surabaya dan memicu pihak yang tidak bertanggung jawab menyebarkan berita bohong terkait masyarakat Papua. Permasalahan ini dinilai oleh pihak pemerintah berkaitan dengan isu keamanan nasional dan mengatasi situasi darurat. Pemerintah menganggap bahwa langkah pembatasan akses internet ini dapat menghambat masuknya berita bohong yang akan menyulut emosi masyarakat Papua. Pada tanggal 22 Agustus 2019 ditemukan 600 tautan berisi berita bohong yang tersebar di masyarakat. Tidak hanya berita bohong yang tersebar di masyarakat, tetapi terdapat berita yang menghasut dan mengadu domba pula yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi ketahanan negara. Tidak sedikit dari golongan masyarakat yang memiliki pandangan bahwa pembatasan akses ini dilakukan untuk menutupi insiden rasisme pada mahasiswa Papua di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Sudut Pandang Masyarakat
Pembatasan akses internet jika dilihat dari sudut pandang masyarakat Papua dinilai merugikan karena aktivitas pelayanan publik menjadi terganggu dan masyarakat tidak dapat memperoleh informasi. Masyarakat Papua tidak dapat memperoleh informasi terbaru dan akurat mengenai keberlanjutan insiden rasisme yang seharusnya sudah menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Pembatasan akses internet ini juga mendapat perhatian dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dengan mengeluarkan petisi untuk membela hak atas informasi publik masyarakat Papua. Masyarakat Papua melakukan unjuk rasa di Manokwari bertujuan untuk mendapatkan perhatian pemerintah dan masyarakat terkait isu rasisme dan berharap penyelesaian masalah yang baik dari pemerintah. Tidak hanya di Manokwari, tetapi masyarakat, khususnya mahasiswa Papua, juga melakukan aksi unjuk rasa di berbagai wilayah di Indonesia. Maraknya isu rasisme di Indonesia menggerakkan masyarakat Indonesia untuk menumbuhkan kesadaran akan isu ini.
ADVERTISEMENT
Keterkaitannya dengan Hak Asasi Manusia
Pembatasan akses internet di Papua ini dipandang telah melanggar hak asasi manusia dan melanggar undang-undang yang berkaitan dengan hak kebebasan berpendapat. Keputusan pemerintah ini dinilai bertentangan dengan pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 2011 mengenai hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat. Tiga aspek yang telah diinterpretasikan secara resmi oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa terkait pasal 19 ICCPR juga tidak dipenuhi pada keputusan pembatasan akses internet ini, yaitu legalitas (legality), legitimasi (legitimacy), dan kebutuhan (necessity). Aspek legalitas yang tidak dipenuhi karena lemahnya produk hukum yang digunakan untuk mendukung keputusan pemerintah. Tidak ada kekuatan hukum yang mengikat secara jelas keputusan pemerintah ini. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 yang digunakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai landasan keputusan ini tidak mengatur secara spesifik mengenai pembatasan akses internet. Aspek legitimasi yang tidak terpenuhi dikarenakan adanya penolakan dari masyarakat yang merasa tidak terpenuhinya hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat. Pembatasan akses internet lebih memberikan dampak negatif kepada masyarakat dengan merugikan kepentingan luas dan menghambat demokrasi. Terhambatnya ekonomi Papua karena demonstrasi yang tetap terjadi akibat tidak adanya kebijakan tegas dari pemerintah membuat masyarakat Papua lebih memilih untuk berdiam diri di rumah dan aktivitas ekonomi tidak berjalan. Aspek kebutuhan dari pembatasan akses internet tidak sepenuhnya memiliki urgensi terhadap dampak kepada masyarakat. Pembatasan akses internet lebih menutupi informasi kepada masyarakat Papua yang membuat tidak sampainya informasi dan menyalahi hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat.
ADVERTISEMENT
Keterkaitannya dengan Demokrasi
Apabila penanganan kasus ini dikaji dengan Global State of Democracy (GSoD) Framework dalam fundamental rights yang berisikan civil liberties, Indonesia berada pada middle range performance. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan sipil di Indonesia masih pada batas rata-rata dan belum kebebasan belum sepenuhnya didapatkan.
Keterkaitannya dengan Good Governance
Pembatasan akses internet yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah langkah yang tepat untuk menghambat masuknya berita bohong yang akan memicu konflik dikarenakan internet hanya merupakan wadah informasi yang bersifat netral. Pada saat ditemukan berita bohong yang tersebar, langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah membatasi konten berita bohong bukan membatasi wadah informasinya karena internet sudah menjadi bagian dari keberlangsungan hidup manusia. Keputusan yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan pembatasan akses internet ini tidak sepenuhnya menggambarkan pemerintahan yang sesuai dengan karakteristik good governance. Pemerintah tidak menegakkan hukum secara adil terkait hak asasi manusia karena keputusan tersebut menyalahi hak masyarakat atas kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan terhambatnya masyarakat Papua dalam mendapatkan informasi. Demonstrasi yang merupakan satu-satunya cara masyarakat Papua untuk menyampaikan pendapat kepada pemerintah karena masyarakat Papua tidak dapat mengakses internet untuk dapat menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Pemerintah yang kurang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan membuat masyarakat melakukan demonstrasi untuk menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap keputusan pemerintah. Walaupun masyarakat telah menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap keputusan tersebut, pemerintah tetap menjalankan keputusan tersebut tanpa mempertimbangkan pendapat dari masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi
Pemerintah perlu dengan tepat mengeluarkan regulasi yang mengatur dengan jelas untuk mengatasi pembatasan konten internet di Indonesia khususnya di kawasan Papua, agar upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi konflik di Papua melalui pembatasan internet dapat dipahami bukan sebagai upaya untuk membatasi kebebasan hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam konstitusi, melainkan diartikan sebagai upaya untuk menciptakan budaya berkomunikasi yang bertanggung jawab karena pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam mencegah tersebarnya konten-konten yang dapat memperkeruh suasana. Maka dari itu, Pemerintah harus tetap mengedepankan demokrasi untuk menjamin keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan-keputusan politik, setidaknya bagi masing masing individu yang terlibat, dengan cara memberlakukan demokrasi substansial yang diwujudkan melalui internet, website, media sosial, e-mail dengan memperhatikan indikator-indikator seperti transparansi informasi, keseimbangan substantif, dan equal consideration, agar menjamin proses pembentukan kehendak publik dibawah pengawasan pemerintah serta tercapainya good governance yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Referensi
BBC Indonesia. Manokwari rusuh : 'Kami orang Papua dikatakan sebagai monyet'. (Agustus 2019). Diakses 13 Desember 2020, dari https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008
CNN Indonesia. (22 November 2019). Kilas Balik Pemblokiran Internet Papua Hingga Jokowi Digugat. Diakses 13 Desember 2020, dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191122141942-185-450624/kilas-balik-pemblokiran-internet-papua-hingga-jokowi-digugat
Indonesia, C. (18 Agustus 2020). Mahasiswa Papua Surabaya Peringati Setahun Rasisme 'Monyet'. Diakses 13 Desember 2020, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200818121144-20-536793/mahasiswa-papua-surabaya-peringati-setahun-rasisme-monyet
Kamaliah, A. (19 Agustus 2019). Papua Trending Topic di Twitter, Warganet Tebar Pesan Damai. Diakses 13 Desember 2020, dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4672249/papua-trending-topic-di-twitter-warganet-tebar-pesan-damai
Komnas HAM. (22 October 2019). Komnas HAM : Peristiwa Wamena adalah Tragedi Kemanusiaan. Diakses 13 Desember 2020, dari https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/10/22/1225/komnas-ham-peristiwa-wamena-adalah-tragedi-kemanusiaan.html