Konten dari Pengguna

Pembebasan BPHTB: Stimulus Ekonomi atau Ancaman bagi Pendapatan Daerah?

Dhinar Putri Cendani
Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN
3 Februari 2025 10:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhinar Putri Cendani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah salah satu jenis pajak daerah yang memainkan peranan penting dalam mendukung pendapatan daerah, khususnya dari sektor properti. Pajak ini dikenakan setiap kali terjadi peralihan hak atas tanah atau bangunan, baik berupa jual beli, hibah, warisan, maupun transaksi lainnya. Seiring dengan perkembangan ekonomi, beberapa pemerintah daerah mulai menerapkan kebijakan pembebasan atau pengurangan BPHTB sebagai upaya untuk merangsang sektor properti yang sempat lesu, mendorong kepemilikan rumah pertama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta sebagai stimulus untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Selain itu, kebijakan pembebasan BPHTB relevan dengan program 3 juta rumah yang digaungkan oleh Presiden Prabowo dalam kampanyenya. Meskipun kebijakan ini terdengar menarik, terutama bagi masyarakat yang kesulitan membeli rumah, muncul pertanyaan penting: apakah pembebasan BPHTB ini akan benar-benar membawa dampak positif dalam jangka panjang atau justru mengancam kestabilan keuangan daerah yang bergantung pada penerimaan pajak ini? Dalam artikel ini, kita akan mengulas berbagai sisi dari kebijakan pembebasan BPHTB dan implikasinya.
ADVERTISEMENT
BPHTB sebagai Sumber Pendapatan Daerah
BPHTB merupakan salah satu instrumen utama dalam menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik. Setiap transaksi properti, mulai dari jual beli tanah atau bangunan, pengalihan karena hak waris, hibah, dan sejenisnya dikenakan BPHTB yang tarifnya dapat mencapai 5% dari nilai transaksi atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Sebagai contoh, di DKI Jakarta, BPHTB memiliki kontribusi cukup besar dalam PAD mencapai 12%, dan pajak ini turut mendanai pembangunan infrastruktur serta pelayanan publik. Terlebih, bagi beberapa daerah, BPHTB masih menjadi salah satu komponen penyumbang terbesar PAD mencapai lebih dari 30%, sebagaimana Kota Depok. Bagi daerah-daerah yang bergantung pada sektor properti, kebijakan pembebasan BPHTB berisiko mengurangi pendapatan daerah secara signifikan.
Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar bisa memiliki rumah, dampaknya terhadap pendapatan daerah tetap harus dipertimbangkan lebih dalam. Banyak daerah yang mengandalkan pajak properti untuk berbagai kebutuhan pembangunan, seperti perbaikan jalan, fasilitas umum, dan pengembangan sektor pariwisata.
ADVERTISEMENT
Alasan dan Tujuan Pembebasan BPHTB
Program pembangunan 3 juta rumah yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap hunian yang layak, terutama bagi kalangan berpenghasilan rendah. Salah satu kebijakan yang dapat mendukung realisasi program tersebut adalah pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai insentif bagi pembeli rumah pertama.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi terbarunya menyatakan baru 65,25% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap hunian layak. Artinya, masih terdapat 34,75% rumah tangga di Indonesia yang tinggal di rumah tidak layak huni atau setara 27 juta dari 75 juta rumah tangga memiliki akses terbatas terhadap hunian, air minum, dan sanitasi yang layak. Permasalahan tersebut tentu menjadi perhatian bagi pemerintah, mengingat ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia.
Dengan adanya pembebasan atau pengurangan pajak ini, diharapkan daya beli masyarakat dapat meningkat, dan sektor properti yang sempat terpuruk akibat pandemi dapat bangkit kembali. Selain itu, kebijakan ini juga dapat mempercepat proses pemulihan ekonomi dengan mendorong transaksi properti yang pada gilirannya membuka peluang investasi dan menciptakan lapangan kerja baru.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kita harus melihat lebih jauh apakah kebijakan ini memang sesuai dengan kondisi ekonomi daerah dan mampu memberikan manfaat dalam jangka panjang.
Mekanisme Pembebasan BPHTB
Secara umum, beberapa pemerintah daerah yang telah menerapkan kebijakan pembebasan BPHTB memiliki mekanisme serupa, yaitu:
1. Pembebasan BPHTB diberikan kepada pemohon yang merupakan wajib pajak orang pribadi.
2. Pembebasan BPHTB diberikan sebesar 100% (seratus persen) terhadap Perolehan Hak Pertama Kali.
3. Pembebasan BPHTB berlaku untuk objek Perolehan Hak Pertama Kali berupa Rumah Tapak dengan NPOP sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
untuk kriteria pemohon yang diklasifikasikan sebagai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sebagai berikut:
1. Berpenghasilan paling banyak Rp7 juta per bulan untuk wajib pajak orang pribadi yang belum menikah (single).
ADVERTISEMENT
2. Berpenghasilan paling banyak Rp8 juta per bulan untuk wajib pajak orang pribadi yang sudah menikah atau berkeluarga.
Kebijakan pembebasan BPHTB untuk MBR terbatas pada rumah hunian tipe 36 sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 22/KPTS/M/2023.
Implikasi terhadap Tingkat Kepemilikan Rumah
Salah satu alasan utama kebijakan pembebasan BPHTB adalah untuk mendukung kepemilikan rumah layak huni oleh masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Sebagaimana data publikasi BPS, terjadi tren peningkatan persentase masyarakat yang dapat mengakses hunian layak dari tahun ke tahun, dengan peningkatan sekitar 1,5 juta rumah tangga di tahun 2024. Peningkatan tersebut didukung dengan adanya program pembangunan rumah layak huni (RLH) oleh pemerintah sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2020-2024 dan dilanjutkan dalam RPJMN 2025-2029. Sayangnya, belum ada penelitian atau kajian yang membahas secara spesifik pengaruh pembebasan BPHTB terhadap peningkatan akses masyarakat terhadap hunian layak sehingga efektivitas kebijakan pembebasan BPHTB terhadap tujuannya belum dapat dibuktikan secara empiris.
ADVERTISEMENT
Implikasi terhadap Pendapatan Daerah
Terlepas dari tujuan positifnya, pembebasan BPHTB memiliki dampak negatif yang tidak bisa diabaikan. Salah satunya adalah penurunan pendapatan asli daerah (PAD). Jika BPHTB dibebaskan atau dikurangi secara signifikan, daerah yang mengandalkan pajak ini akan kehilangan sumber pendapatan yang cukup besar.
sebagai contoh, Pemkab Tulungagung berencana menerapkan pembebasan BPHTB pada 2025 dan memperkirakan kebijakan ini akan menurunkan PAD dari sektor BPHTB sebesar 15%, atau sekitar Rp4 miliar, dari Rp37 miliar menjadi Rp32 miliar. Hal serupa terjadi di Pemkab Tangerang, yang mencatat penurunan PAD sebesar Rp9,9 miliar akibat kebijakan ini.
Meskipun pemda menganggap penurunan ini tidak signifikan, evaluasi berkala tetap diperlukan, terutama di daerah dengan sektor properti yang berkembang pesat seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali. Dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi tanpa sumber pendapatan pengganti, pemerintah daerah berisiko kehilangan potensi sumber dana untuk pembangunan dan layanan publik di masa depan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan ini berisiko memicu ketimpangan fiskal antar daerah, mengingat tidak semua daerah memiliki basis sektor properti yang sama. Daerah dengan sektor pemukiman yang lebih berkembang akan lebih terdampak jika kebijakan pembebasan BPHTB diterapkan secara luas, sementara daerah dengan sektor pemukiman yang lebih kecil atau tidak berkembang akan kesulitan menjaga kestabilan pendapatan daerah.
Alternatif Kebijakan: Menyeimbangkan Stimulus dan Pendapatan Daerah
Untuk mencapai keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan keuangan daerah, diperlukan alternatif kebijakan yang lebih selektif. Beberapa alternatif kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah, sebagai berikut:
1. Melakukan evaluasi dan monitoring berkala terhadap ketepatan implementasi kebijakan pembebasan BPHTB untuk pembelian rumah pertama oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
ADVERTISEMENT
2. Memberikan insentif dalam bentuk pengurangan tarif pajak, bukan pembebasan penuh, sehingga tetap ada kontribusi terhadap penerimaan daerah.
3. Pemerintah daerah perlu mencari sumber pendapatan alternatif, seperti meningkatkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau mengembangkan sektor lain untuk menutupi potensi kehilangan pendapatan dari BPHTB.
4. Mengembangkan mekanisme subsidi silang pajak antara wajib pajak orang pribadi yang memiliki aset properti lebih dari satu dengan wajib pajak orang pribadi perolehan pertama.
5. Pemerintah pusat dapat memberikan kompensasi atau bantuan fiskal kepada daerah yang bergantung pada BPHTB guna menghindari defisit anggaran.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pembebasan BPHTB memang bisa menjadi stimulus ekonomi yang bermanfaat, tetapi harus diimbangi dengan kebijakan yang mempertimbangkan keberlanjutan pendapatan daerah. Pembebasan pajak ini sebaiknya tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang sesungguhnya, serta dampaknya terhadap PAD. Kebijakan yang lebih selektif dan berbasis data akan memastikan bahwa insentif yang diberikan tepat sasaran dan tidak merugikan kesejahteraan daerah dalam jangka panjang. Pemerintah daerah harus berhati-hati dalam merumuskan kebijakan ini, dengan tetap mengutamakan pembangunan yang berkelanjutan dan menciptakan ekonomi yang inklusif.
ADVERTISEMENT