Pesan Ibu dan Pelajaran atas Fenomena Bucin Masa Kini

Konten dari Pengguna
16 Mei 2020 1:35 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhini Hidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
Sebelum lanjut baca stori ini, sekadar gambaran bahwa saya adalah perempuan usia 32 tahun, bekerja dan ibu beranak satu. Cakep apa enggak tergantung selera. Yang jelas, suami saya ganteng, mapan, dan penyayang. Kami menikah setelah 4 kali ketemu dan saya todong (ia) mau nikahin saya atau cuma iseng? Kalau enggak niat mau nikah, kamu minggir aja, jangan buang waktu, sebab banyak yang ngantre. Belagu ya, saya? Emang iya.
ADVERTISEMENT
Oke, kembali ke laptop.
Saya mau cerita tentang pesan ibu dan bapak, dari perspektif saya sebagai anak perempuan. Dulu waktu saya masih lajang, ibu-bapak hampir enggak pernah melarang saya bepergian jauh atau melarang saya memilih tugas dan pekerjaan yang membuat saya ada di dalam situasi yang tidak pasti. Mereka hampir enggak pernah melarang saya menempuh jalan sulit even though it's out of their reach.
Izin mau naik gunung, travelling ke Pulau Sebesi yang dalam perjalanannya memaksa saya tidur di musala, KKN ke pulau-pulau terluar yang enggak ada sinyal dan air bersih, jadi pengajar muda di perbatasan, summer course—dan segala keputusan-keputusan abstrak saya kala itu.
Orang tua saya enggak pernah melarang. Percaya saja, melepas saja (dengan dahi berkenyit), dan bismillah. Cuma ada pesan yang belakangan terngiang lagi, mereka selalu bilang:
ADVERTISEMENT
Saya yang kala itu belum jadi orang tua tentu enggak terlalu paham maksudnya. Enggak juga berusaha mencari tahu maksud mereka, lagipula kalimat itu absurd sekali, kan?
Saya sih iya-iya saja, sambil tetap bandel juga sesekali. Lagian apa relevansinya antara sayang orang tua dengan menjaga diri, sih? Berlebihan amat—pikir saya kala itu.
***
Kemarin, anak saya, Miki, yang usianya hampir 3 tahun, lari di kamar. Saking semangatnya lari, dia enggak bisa berhenti dan menabrak tembok sampai keningnya benjol.
Dia nangis, kemudian saya peluk dia sambil bilang: "Sakit, ya? It's okay, lain kali abang pelan-pelan ya, larinya."
Muka saya sih tenang, tapi dalam hati sedihnya ampun-ampun lihat anak benjol.
ADVERTISEMENT
Kok lebay, sih? Bukan lebay, tapi itu ungkapan cinta dan sayang.
I have a son that I love so dearlymy heart filled with this kind of undescribeable love that grows bigger and stronger every second. Love that gives you reason to live a good life and I love him more than life itself. The kind of love that forces me to protect my son no matter what.
Enggak kebayang, kan? Betapa besar cinta kasih orang tua ke anak, sampai gigitan nyamuk pun jangan sampai mendarat di kulitnya. Cinta yang bikin saya dengan rela ngasih kulit ayam KFC saya buat dia. Paham, enggak? Iya. Segitunya!
***
Balik lagi ke pesan ibu-bapak saya dulu yang terngiang lagi sebab anak saya benjol. Saya jadi paham kenapa mereka selalu pesan "Jaga diri dan marwahmu". Karena memang segitu cinta dan menjaganya mereka (dan semua orang tua di dunia) terhadap anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Niscaya akan sangat menyakitkan buat mereka kalau anak yang dikasihi dan dijaganya sewaktu kecil, tak mampu menjaga diri dan marwahnya ketika sudah dewasa. Membiarkan dirinya tersakiti, terhinakan, direndahkan, in any form.
Enggak bisa jaga diri gimana sih maksudnya? Banyak contohnya. Misal, ibu-bapak itu rela lho menahan lapar buat ngasih makanan bergizi buat anak-anak supaya tumbuh sehat, lha pas udah besar kok malah jajan micin dan paru-paru sengaja dirusak dengan merokok kayak lokomotif.
Kurang jelas? Oke, saya ambil contoh lain.
Soal fenomena masa kini: Bucin yang kelewatan!—Enggak menghargai diri sendiri dengan mau disentuh sembarangan sama pasangan yang belum tentu jadi suami/istri; bertahan di hubungan yang abusive dengan alasan masih sayang; mau direndahkan dalam hubungan yang bikin kamu sukarela Jumat malam enggak pulang dan bohong ke orang tua pakai alasan lembur atau nginap di rumah teman—padahal pulang ke kosan pacar; being fooled in undefined relationship yang hobinya nonton midnight yang ujung-ujungnya diajak pulang ke kosan/apartemen dengan kejadian-kejadian terprediksi yang menyertainya. Udah kayak prostitusi yang dibayar pake makan malam. Familiar?
ADVERTISEMENT
Enggak percaya? Silakan buktikan.
Percaya deh, yang kayak gitu-gitu tuh bukan cinta tapi ketololan hakiki. It's lust and a rotten obsession that leads you nowhere.
***
Now that I am a mother, I understand what they mean and I am trully sorry for my wrongdoing back then, something that I am not proud of.
May Allah protect and guide you to the right path always, Miki. Mami loves you so dearly.