Konten dari Pengguna

Wajah Baru Kampung Sewu: Perubahan Permukiman Kumuh Menjadi Kampung Wisata

Dhiva Rosa Alia Sari
Mahasiswa Sosiologi Universitas Sebelas Maret
22 Januari 2025 22:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhiva Rosa Alia Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Gambar dari penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Gambar dari penulis
ADVERTISEMENT
SOLO-Kampung Sewu atau Kelurahan Sewu merupakan salah satu kampung di wilayah Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, tepatnya berada di sebelah timur dan berbatasan langsung dengan Sungai Bengawan Solo. Lingkungan sungai yang berada di Kampung Sewu sekarang memiliki wajah yang berbeda jika melihat kondisi bantaran sungai pada masa lampau. Dahulu, Kampung Sewu memiliki citra yang kurang baik karena pandangan kumuh yang melekat pada kawasan tersebut. Kawasan kumuh tersebut terbentuk akibat adanya permukiman liar di bantaran Sungai Bengawan Solo. Bantaran sungai yang seharusnya bersih dari permukiman, kenyataannya pada waktu itu justru menjadi tempat sebagian warga Kampung Sewu mendirikan permukiman liar. “Kondisi bantaran sungai dulunya masih asli dan belum ada tanggul, sehingga permukiman warga berhadapan langsung dengan sungai. Bahkan, rumah yang berada di bantaran merupakan kawasan kumuh dengan sampah dan semak belukar yang masih berserakan,” kata Ketua Siaga berbasis Masyarakat (Sibat) Kelurahan Sewu, Sri Mahanani Budi utomo, saat diwawancarai. Adanya permukiman liar tersebut menimbulkan dampak terhadap lingkungan Sungai Bengawan Solo. Hal ini tentunya berdampak signifikan terhadap kerusakan ekosistem sungai. Bahkan, ketika memasuki musim hujan, luapan Sungai Bengawan Solo mengakibatkan pemukiman warga di sekitarnya tergenang banjir. Banyaknya rumah warga yang berada di bantaran sungai akhirnya Pemerintah Kota Surakarta untuk turun tangan dengan melakukan perbaikan tanggul serta relokasi rumah warga terutama yang berada di selatan tanggul. Proses tersebut dilakukan secara bertahap. “Pada awal tahun 1990-an, muncul usulan pembangunan tanggul yang mengharuskan warga untuk direlokasi. Relokasi dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pemindahan warga yang tinggal di tanah negara atau kawasan permukiman liar, kemudian dipindahkan ke Mojosongo, Kota Surakarta. Tahap kedua berlangsung pada tahun 2012, di mana warga yang menempati tanah resmi juga direlokasi. Tahap ketiga dilaksanakan pada masa kepemimpinan Wali Kota yaitu Gibran Rakabuming Raka. Pada tahap ini, relokasi dilakukan dengan melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), sehingga warga yang direlokasi mendapatkan kompensasi berupa ganti untung,” ujar Sri Mahanani Budi utomo. Saat ini, bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya di Kampung sewu telah mengalami revitalisasi. Meskipun demikian, Kampung Sewu masih sering mengalami banjir setiap tahun. Namun, hal tersebut masih dibendung oleh tanggul, sehingga hanya beberapa rumah yang terkena banjir karena terdapat sekitar tiga rumah warga yang masih berada di timur tanggul.
Taman Apem Sewu. Sumber: Gambar dari penulis
zoom-in-whitePerbesar
Taman Apem Sewu. Sumber: Gambar dari penulis
Puncak Acara Grebeg Apem Sewu Tahun 2024. Sumber: Gambar dari penulis
Kawasan bantaran sungai di Kampung Sewu kini telah berubah dari area kumuh menjadi ruang terbuka yang nyaman bagi penduduk. Salah satu manfaat dari revitalisasi ini adalah pemanfaatan area di sekitar Pintu Air Demangan Baru sebagai lokasi acara tradisi Grebeg Apem Sewu. Pelaksanaan tradisi ini diadakan satu tahun sekali dan terus dilaksanakan hingga sekarang. Transformasi pembangunan bantaran sungai tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki lingkungan, tetapi juga menciptakan ruang publik sekaligus membuka potensi wisata yang menarik di bantaran Sungai Bengawan Solo, khususnya di Kampung Sewu.
ADVERTISEMENT