Konten dari Pengguna

Rasisme dan Sepak Bola : Mulai dari Wharton hingga Pierre Webo

Dhiwamaulana
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga
10 Desember 2020 7:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhiwamaulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi rusuh pasca insiden rasial yang diutarakan asisten wasit ke-4 terhadap Asisten Pelatih Klub Istanbul Basaksehir
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi rusuh pasca insiden rasial yang diutarakan asisten wasit ke-4 terhadap Asisten Pelatih Klub Istanbul Basaksehir
ADVERTISEMENT
Jagat persepakbolaan diguncangkan dengan tindakan hinaan bernada rasis yang diterima Asisten Pelatih Klub asal Ibukota Turki, Istanbul Basaksehir, Pierre Webo pada pertandingan terakhir Grup H antara Istanbul Basaksehir menghadapi runner up UEFA Champions League musim lalu, Paris Saint- Germain. Insiden terjadi sekiranya pada 15 menit pertama pertandingan dimana wasit utama pertandingan, Ovidiu Hategan hendak menghadiahkan Webo dengan kartu merah karena asisten pelatih yang juga eks pemain internasional Kamerun ini melakukan protes yang terlalu keras. Namun, Asisten Wasit ke-4 asal Rumania, Sebastian Coltescu yang sedang berada di pinggir lapangan, ikut menunjuk Webo dengan panggilan “Negru” yang dalam Bahasa Rumania berarti hitam.
ADVERTISEMENT
Pasca insiden kondisi lapangan makin tidak kondusif. Webo yang tentu saja merasa dilecehkan terlibat pertengkaran sengit dengan Coltescu hingga striker Istanbul Basaksehir, Demba Ba bangkit dari bangku cadangan dan ikut terlibat konfrontasi dengan wasit yang pernah juga disorot akibat keputusannya memberi penalti untuk Steaua kala laga liga Rumania antara Gaz Metan Medias dan Steaua Bucharest yang menyebabkan kekalahan untuk Gaz Metan. “You never this say ‘this white guy’, so why when you mention a black guy [do] you have to say ‘this black guy’?, ucap mantan Striker Chelsea tersebut. Lalu, akhirnya kondisi makin ricuh dimana pemain Istanbul Basaksehir mogok bertanding yang diikuti sang lawan, PSG sebagai bentuk sportifitas yang diusung keras dalam sepak bola.
ADVERTISEMENT
Insiden ini bukan hal pertama tindakan berlatar belakang isu rasial terjadi dalam jagat sepak bola. Banyak kasus rasisme yang terjadi dalam dunia sepak bola yang mayoritas tertuju kepada golongan kulit hitam. Baik antar pemain, baik antara pelatih dengan pemain, antara wasit dengan pemain/pelatih, bahkan hingga penonton terhadap pemain, rasisme seperi menjadi sesuatu yang “lazim” di dunia sepak bola terutama di Eropa. Apakah rasisme sebegitu lengket dalam dunia persepakbolaan hingga terus ada dari zaman ke zaman?
Kita kembali lagi melihat dari sejarah sepak bola modern sendiri dimana sepak bola modern ini ditemukan di Inggris yang mayoritasnya merupakan kulit putih. Bahkan, tidak ada pemain sepak bola profesional berkulit hitam hingga abad ke-16. Pada abad ke 17, Ada nama Arthur Wharton yang menjadi pemain sepak bola kulit hitam pertama yang cukup meredakan isu rasisme yang ada dalam dunia persepakbolaan kala itu. Akan tetapi, meskipun ia dikenal sebagai kiper yang tangguh, memiliki skill mumpuni, serta digadang-gadangkan sebagai calon kiper tim nasional Inggris kala itu, diskriminasi rasial yang masih “kental” di internal sepak bola Inggris menyebabkan impiannya dan golongan kulit hitam lainnya pupus. Akhirnya, ia dibuang dari klub ke klub hingga ia memutuskan gantung sepatu tanpa uang sepeser pun.
ADVERTISEMENT
Arthur Wharton, pemain sepak bola kulit hitam pertama.
Pada abad 21, yang disebut sebagai abad pencerahan, masih tidak asing di telinga kita cerita mengenai tindakan atau aksi yang bernada rasisme seperti tindakan Luiz Suarez yang kala itu bermain untuk Liverpool yang menolak untuk berjabat tangan dengan pemain Manchester United kala itu, Patrice Evra yang notabene pemain berkulit hitam. Ada lagi kisah Dani Alves yang pada laga antara Villareal melawan Barcelona, dilempar pisang oleh supporter Villareal yang melambangkan kulit hitam itu sebagai “kera”. Meskipun begitu, ia tetap profesional dengan memakan pisang itu dan berterima kasih kepada supporter yang melemparkan pisang itu kepadanya. Menurutnya, memakan pisang itu memberinya kekuatan. Dia juga mengatakan bahwa humor adalah cara paling efisien untuk mengatasi rasisme. "Kami telah menderita soal ini di Spanyol untuk beberapa lama. Anda harus mengambilnya dengan dosis yang bercanda, tak usah dibawa serius. Sebab, sulit mengubah perilaku seperti ini kalau bukan orangnya itu yang sadar," ungkap Alves usai laga. Pemain Shakhtar Donetsk asal Brazil, Taison juga mendapatkan perlakuan serupa yaitu ia diteriaki dan dinyanyikan lagu yang mengasosiasikan dirinya dengan kera. Lantas ia marah dengan mengacungkan jari tengah lalu menendang bola ke arah penonton. Alih-alih mendapatkan support, ia malah dihukum oleh wasit dengan kartu merah dan larangan bermain satu pertandingan. Ia lalu menangis.
ADVERTISEMENT
Diatas hanya sedikit contoh dari kejamnya isu rasial yang seperti sudah mengakar di sepak bola baik di eropa maupun seluruh dunia. Isu rasial ini seolah dijadikan sesuatu yang lazim dalam dunia persepakbolaan dan dianggap “upaya menjatuhkan mental lawan”. Bahkan di Italia yang notabene pernah menjadi negara pelopor fasisme dibawah komando Benitto Mussolini sehingga masih ada masyarakat yang bernasionalisme terlalu tinggi dan beranggapan kaum “pendatang” perlu ‘dibersihkan’. Mulai dari Frank Rijkaard, Ruud Gullit, Kalidou Koulibaly, Romelu Lukaku yang notabene pemain asing yang bermain di Seria A hingga Mario Balotteli yang notabene pemain tim nasional Italia yang kebetulan keturunan Afrika. Sebenarnya FIFA juga sudah menggaungkan gerakan seperti “Say No To Racism”, menginstruksikan otoritas sepak bola per negara untuk menindak serius pelanggaran berbau rasisme yang terjadi di negaranya, hingga menciptakan regulasi baru terkait masalah rasis dan diskriminasi yang terjadi di atas lapangan dimana wasit memiliki wewenang untuk menghentikan pertandingan dan memberi peringatan kepada penonton, menunda pertandingan hingga batas waktu yang ditentukan, dan jika aksi diskriminasi tersebut masih berlangsung, wasit dapat membatalkan pertandingan. Kendati demikian, jujur saja belum ada kebijakan yang sangat efektif guna ‘memusnahkan’ rasisme ini dari dalam tubuh sepak bola sendiri.
ADVERTISEMENT
Apakah kita harus diam saja?
Apakah kita harus membiarkan rasisme ini terus memiliki tempat dalam sepak bola?
Menurut saya jawabannya mudah, yaitu tidak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kesulitan dalam menghilangkan rasisme ini dari sepak bola dan dari dunia ini tetapi bukan artinya kita harus pesimis dan berhenti berjuang. Selama masih ada orang yang peduli dan mau berjuang demi keadilan sosial bagi semua individu, tanpa melihat warna kulit, agama, kelamin, suku, negara, dan ciri khas orang tersebut, maka masih ada harapan sepak bola tanpa rasisme. Salah satunya adalah aksi dari tim Paris Saint-Germain semalam yang memutuskan untuk ikut mogok bermain demi mendukung perlawanan terhadap tindakan rasis yang diterima asisten pelatih tim lawan. Selain itu juga, dukungan dari pemain lain seperti Kylian Mbappe yang memanfaatkan media sosialnya untuk menebar dukungan dan memberikan awareness kepada seluruh dunia terkait isu rasial yang terjadi semalam hanya secuil dari banyaknya hinaan yang mengatasnamakan ras dalam sepak bola. Hasilnya pertandingan akan diulang dengan wasit yang berbeda sehingga Istanbul Basaksehir tidak dihitung walk-out serta banyak dukungan lain baik dari FIFA, komunitas pesepakbola, jurnalis, hingga penikmat sepak bola dari seluruh dunia. Memang berat untuk menghilangkan rasisme yang sudah lama ada dalam sepak bola, akan tetapi itu bukan sesuatu yang mustahil. Setetes demi setetes air dapat menghancurkan bongkahan batu. Perlahan tapi pasti, dengan dukungan dan tindakan nyata dari seluruh elemen sepak bola, rasisme akan hilang dari dalam olahraga kita tercinta. Say No To Racism!
ADVERTISEMENT