Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Politisasi Penolakan Coldplay: Ekslusi dan Komersialisasi
7 Juni 2023 18:51 WIB
Tulisan dari Dhony Alfian Nurhidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Political Homophobia
ADVERTISEMENT
Konser Coldplay mendapatkan beragam sentimen reaksi negatif dan positif dari kalangan Islam. Sentimen ini muncul karena lambang pelangi yang kerap dikampanyekan oleh band tersebut. Kalangan Islam yang pro LGBT melihat bahwa selayaknya manusia yang memiliki hak untuk hidup dan berhak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kalangan Islam yang anti LGBT berdasarkan ajaran agama yang melarang adanya homoseksual dan pada kodratnya manusia diciptakan oleh Tuhan hanya ada dua: laki laki dan perempuan. Political homophobia menjelaskan perspektif masyarakat yang phobia (ketakutan berlebih) terhadap orientasi seksual yang homoseksual.
Sentimen anti LGBT mencounter kehadiran komunitas LGBT dalam urusan pribadi dan publik. Sering dijumpai eksklusi terhadap kelompok LGBT dalam urusan kerja, peribadatan, dan bullying. Menciptakan lingkungan sosio-kultural anti LGBT dibangun dengan embel-embel tidak sesuai dengan ideologi pancasila.
Padahal negara wajib memenuhi kebutuhan dasar sebagai warga negara kepada kelompok LGBT seperti hak pendidikan, kesehatan, dan proteksi keamanan dalam dunia kerja. Pengibaran bendera LGBT sebagai upaya mewacanakan secara global dukungan anti diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Dikotomi seksual yang heteroseks terlebih dipersempit menjadi dua jenis bisa melukai hak asasi kelompok LGBT. Terlebih ada stigma bahwa homoseksual sebagai penyakit seksual.
ADVERTISEMENT
Stigma negatif terhadap kelompok LGBT akan sulit dapat berinteraksi pada masyarakat yang kaku dalam beragama (eco chambers). Pemahaman eco chambers menolak keras perspektif lain dalam wacana yang diluar tekstual (Al-Quran). Masyarakat yang eco chambers sangat sulit untuk diajak bernegosiasi dan teguh dalam keyakinannya.
Ada wacana dari PA 212 yang menyatakan sikapnya untuk mengepung bandara jika konser tersebut tetap dilaksanakan. Citra Indonesia akan dinilai buruk di mata Internasional karena urusannnya akan mengerucut pada urusan G to G (Government to Government). Negara akan sulit dalam hubungan mitra dagang ataupun kerja sama Internasional. Urusan-urusan diplomasi negara akan menghadapi challenge di mata internasional.
Fomo Konser pascapandemi
Namun terlepas dari homophobia terhadap sisi moralitas di kalangan Islam, ada masalah bagi ketimpangan ekonomi di masyarakat dalam konser Coldplay. Sengkarut ekonomi level mikro seperti harga tiket yang terlampau mahal bagi kalangan kelas bawah ataupun masyarakat miskin kota jakarta, memunculkan wacana musik bourjois “yang kaya yang bisa akses”. Hegemoni musik western di tengah tsunami informasi di media sosial semakin mudah dikenal. Munculnya kelas musik western dan musik menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Musik menengah ke bawah yang biasanya tanpa fee ataupun htm yang terbilang sesuai kantong seperti dangdutan, band lokal, ataupun hadroh belum mampu menjangkau pasar musik global. Meskipun ada beberapa musisi yang go global seperti Rich Bryan, Nasidariah. Itupun klasternya masih terbilang on process (sedang berproses). Apalagi masyarakat mulai melampiaskan kesuntukan karena jeratan untuk berkumpul selama pandemi, konser menjadi wahana untuk meluapkan kesuntukan itu.
Konsumsi musik western menurunkan minat konsumsi terhadap konser band-band lokal yang sedang naik daun. Algoritma pencarian musik akan mengarah pada wacana-wacana musik top musik seperti coldplay. Playlist yang diputar bahkan bisa berulang-ulang kali diputar musik populer yang banyak didengar oleh pendengar lain.
Permainan algoritma ini sangat menguntungkan bagi pengusaha kapitalis perusahaan seperti spotify maupun youtube untuk menggenjot keuntungan dari pendengar setia. Fanatisme terhadap aplikasi pemutar musik menjadi warisan budaya “addict” atau kecanduan dari perkembangan teknologi
ADVERTISEMENT
Meningkatnya “laba” pengusaha mikro dan “kerugian” negara
Logika pemerintah dalam menanggapi konser Coldplay yang dinilai ‘menguntungkan’ bagi pelaku bisnis mikro, nampaknya masuk akal. Banyak usaha kecil yang akan kecipratan dalam perekonomian konser seperti menjamurnya properti konser baju ataupun aksesoris Coldplay, keuntungan berlipat dari pengusaha makanan dan minuman sekitar stadion. Konser ini tidak hanya menguntungkan kapitalis negara ataupun bos event organizer konser tetapi usaha mikro. Prediksi keuntungan bisa berlipat-lipat dari penjualan biasanya.
Masalahnya, pemerintah belum mengatur regulasi tentang penataan bazar-bazar usaha mikro yang bakal ikut kecipratan keuntungan dari event. Penataan stand–stand penjualan layaknya dibuat menarik agar tertata rapi, tidak semrawut, dan mengganggu mobilitas open gate peserta event. Walaupun masyarakat menengah tidak banyak yang ikut merasakan secara langsung gempat-gempita gemuruh di dalam stadion.
ADVERTISEMENT
Masyarakat menengah ke bawah bisa memanfaatkan momentum konser Coldplay untuk berjualan di luar stadion. Tak hanya pengusaha asongan di sekitar stadion. Penginapan homestay sangat potensial untuk menawarkan harga relatif terjangkau sebagai alternatif dari harga hotel yang mahal. Ojek online maupun konvensional akan meraup keuntungan juga dari adanya konser
Citra Kota Jakarta akan meningkat karena daya tarik Coldplay bisa mendatangkan turis asing untuk dapat menyaksikan konser Coldplay. Namun turis yang datang biasanya tidak tertarik dengan barang-barang low quality yang ditawarkan oleh usaha-usaha mikro.
Timbal balik yang dapat dirugikan oleh negara adalah devisa akan lari ke negara lain karena instrumen pembayaran yang bakal dibayarkan ke manajemen Coldplay menggunakan kurs dolar atau Euro yang nilai kursnya lebih tinggi dari rupiah. Kerugian negara dari konser ini ialah usaha mikro yang belum bisa dilirik oleh turis asing.
ADVERTISEMENT
Political Narrative melalui konser
Narasi-narasi yang kerap digaungkan oleh band Coldplay selain kampanye LGBT antara lain ialah kampanye lingkungan. Melalui konser ini, Masyarakat dapat mengkritik pemerintah yang masih inkonsisten terhadap sustainable environmental. Seperti baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan regulasi terkait tambang pasir laut yang dinilai oleh aktivis lingkungan sebagai blunder kebijakan.
Pasalnya pemerintah ikut dalam deklarasi perjanjian paris yang meneken untuk mengambil kebijakan untuk menurunkan emisi karbon. Political narrative menurut Shaul R. Shenhav, sebagai upaya untuk menarasikan wacana-wacana yang terlihat partikular. Kritik-kritik itu bisa dibingkai dalam konser yang dihadiri oleh jutaan ribu pasang mata dengan membuat konten peduli lingkungan. Wacana lingkungan sangat menarik untuk menyinggung inkonsistensi pemerintah agar mencabut regulasi tambang pasir.
ADVERTISEMENT
Tambang pasir bisa merusak biodiversitas ekosistem biota laut seperti terancamnya kematian hiu, paus, terumbu karang akibat lalu lalang kapal-kapal pengangkut pasir. Indonesia sebagai negara maritim sebagai poros potensial dalam penyediaan resources sumber daya mineral maupun laut perlu melakukan preservasi lingkungan yang berdasarkan pada keberlanjutan.
Kepentingan untuk memperkaya oligarki yang dibingkai dengan lembaga institusi formal menjadikan negara ini tak pernah selesai dengan permasalahan KKN (korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Coldplay bisa menjadi alternatif pergerakan aktivis lingkungan untuk mewacanakan masalah-masalah lingkungan di Indonesia.
Segala bentuk perspektif tulisan di tulisan artikel perlu dilakukan pendalaman lebih jauh. Keterbatasan pendalaman teori dan kajian yang membahas Coldplay masih minim. Terlepas dari penolakan Coldplay, Indonesia harus mampu mengembangkan industri musik kelas global yang mampu mendatangkan devisa negara.
ADVERTISEMENT