Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Sarang Burung Walet: Komoditas Unggulan Indonesia yang Jadi Budaya Khas Tiongkok
4 April 2025 16:53 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Diah Ayu Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sarang burung walet (SBW) merupakan salah satu produk yang sangat diminati di banyak negara, utamanya Tiongkok. Hal ini tidak terlepas dari budaya dan sejarah panjang Tiongkok yang lekat dengan SBW. Melansir dari Harvard Journal of Asiatic Studies 84, no.2: Edible Birds’ Nests and the Cultures of Knowledge in Early Modern China, konsumsi SBW mulai masuk ke Tiongkok sebagai makanan eksotis pada akhir abad ke-16 di masa Dinasti Ming. Sebelumnya, pada masa Dinasti Tang (618–907 M) SBW lebih dulu dikenal sebagai pengobatan tradisional Tiongkok.

Pada masa itu karena kuantitas yang terbatas, SBW hanya dapat dikonsumsi oleh para kaisar dan kalangan kerajaan. Hingga saat ini pun, SBW di Tiongkok masih tergolong komoditas premium yang harganya bisa mencapai 115.000 rupiah per gram. Tidak heran jika di Negeri Tirai Bambu, SBW erat dikaitkan dengan simbol kekayaan, kesehatan, dan prestise.
ADVERTISEMENT
Tahukah anda, 75 persen kebutuhan SBW Tiongkok impor dari Indonesia? Indonesia merupakan negara penghasil SBW terbesar di dunia, dengan pasokan mencapai 80 persen (Inaexport, 2022). Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2022 nilai ekspor SBW Indonesia mencapai US$590 juta. Dari total produksi sebanyak 1.505 ton, 94 persennya dialokasikan untuk pasar ekspor.
Merujuk data di atas, hanya 6 persen dari keseluruhan produksi yang dikonsumsi dalam negeri. Dengan banyaknya jumlah produksi Indonesia, dan besarnya khasiat SBW bagi kesehatan, mengapa konsumsi dalam negeri masih minim?
Terdapat paling tidak dua faktor yang mendasari fenomena tersebut. Pertama, besarnya permintaan pasar luar negeri dengan harga yang relatif tinggi, menjadikan banyak petani lokal cenderung fokus pada pasar ekspor.
ADVERTISEMENT
Kedua, faktor lainnya berupa budaya dan tradisi. Jika masyarakat Tiongkok memiliki tradisi turun temurun mengonsumsi SBW sebagai suplemen kesehatan, masyarakat Indonesia juga memiliki tradisi turun menurun yang sama namun bukan mengonsumsi SBW melainkan jamu. Selain bahan baku yang murah dan mudah didapat, tradisi minum jamu yang telah diturunkan sejak abad ke-16 pada masa Kerajaan Mataram (Kustipia, 2022) menjadikan masyarakat Indonesia lebih akrab dengan jamu ketimbang SBW. Faktor budaya dan kebiasaan inilah yang kemudian berperan besar dalam menentukan pola konsumsi masyarakat di masing-masing negara.
Meski demikian, mengingat tingginya kualitas SBW Indonesia dan khasiat baiknya terhadap kesehatan, tidak ada salahnya menggencarkan konsumsi SBW di dalam negeri agar manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Salah satu caranya, mungkin dengan memperkenalkan beragam olahan sarang burung walet yang mudah, enak dan sehat bagi keluarga.
ADVERTISEMENT