Konten dari Pengguna

Jiwa Milenial Hidup dalam Kesenian Lengger Banyumasan

Diah Fitriani
Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto
19 Mei 2022 23:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diah Fitriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyumas merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki pesona unik terutama pada kesenian tari lenggernya. Tari lengger sudah sejak dulu kala telah ada di Banyumas yaitu pada tahun 1755, merupakan tarian yang berkembang luas oleh rakyat pada masa itu sebagai bentuk ritual dan ucapan rasa syukur para petani dengan hasil panen mereka. Kata “lengger” sendiri berasal dari kata “leng” dan “jengger” dalam bahasa jawa bermakna “darani leng jebule jengger” maksudnya adalah dikira wanita ternyata laki-laki.
ADVERTISEMENT
Iya, kesenian lengger Banyumas ditarikan oleh laki-laki yang didandani layaknya perempuan lengkap dengan selendang dan atributnya. Tarian ini pada mulanya untuk tujuan hiburan maupun ritual adat setempat. Para petani jaman dulu memanfaatkan tarian lengger sebagai bentuk ucapan terima kasih mereka pada Sang Pencipta.
Dengan seiring berjalannya waktu, semakin sulit juga untuk mempertahankan warisan budaya lengger ini. Terutama dengan generasi milenial sekarang yang lebih cinta budaya barat, Jepang dan Korea dari pada mempelajari budaya daerah sendiri. Cukup disayangkan memang, karena pemuda kita saat ini memiliki rasa acuh yang tinggi bahkan gengsi untuk mempelajari warisan budaya yang amat bernilai ini. Mereka lebih memilih nongkrong diwarung kopi dari pada meluangkan waktu weekend di sanggar tari.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pemuda yang saya lihat di rumah lengger, saat kampus saya melakukan kunjungan budaya di komplek Taman Sari Banyumas. Beberapa anak muda di sana memiliki rasa cinta yang amat besar terhadap kebudayaan lengger dan alat musik tradisional pengiringnya seperti calung dan kendang. Anak milenial ini memilih mempelajari budaya daerah, ditengah kesibukan sekolah mereka. Suatu hal yang jarang sekali terjadi pada pemuda saat ini, dan dedikasi mereka untuk mempertahankan nilai-nilai budaya patut untuk diapresiasi.
Dengan memakai pakaian adat Jawa khas berwarna hitam dan lengkap dengan blangkon yang dipakai oleh pemain musik, mereka dengan cekatan memainkan aransemen tembang Jawa dengan diiringi nyanyian sinden. Alunan musik calung dan kendang menggema di bangunan pendopo siang itu. Lengger lanang yang juga masih dari kalangan milenial, dengan gemulai menarikan tarian lengger.
ADVERTISEMENT
Iringan tepuk tangan dan sorak sorai penonton saat itu, membuat acara kunjungan budaya semakin meriah. Acara itu membuat saya takjub terhadap kesenian nenek moyang, Banyumas menjadi tempat kelahiran saya ternyata memiliki pemuda hebat seperti mereka yang mau menjaga nilai-nilai kebudayaan setempat. Saya sendiri takjub dan bangga dengan dedikasi mereka.
Sumber : dokumentasi pribadi
Semangat mereka dapat dijadikan contoh kepada anak muda lainnya untuk mau mempelajari kesenian. Semoga dengan semakin banyaknya milenial yang peduli terhadap kesenian mampu mengangkat budaya daerah sendiri ke kancah luar. Sehingga kebudayaan daerah kita tidak terkikis oleh nilai-nilai asing yang kian merenggut rasa cinta para pemuda terhadap kebudayaan sendiri.