Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Representasi Diskriminasi Islam dalam Film Bulan Terbelah di Langit Amerika
10 Januari 2022 16:36 WIB
Tulisan dari Diah Nawang Wulan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Film merupakan salah satu bentuk komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan melalui gambar yang bergerak dan audio visual. Berbicara mengenai film, Indonesia merupakan negara yang cukup pesat akan perkembangan film. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi para pembuat film di Indonesia untuk membuat film bergenre drama religi. Salah satu film yang dirilis pada tahun 2015 yaitu film “Bulan Terbelah di Langit Amerika”, yang diadaptasi dari novel karya Hanum Salsabiela Rais dan di sutradarai oleh Rizal Mantovani dengan produser Ody Mulya Hidayat. Film ini menceritakan tentang lanjutan dari kisah petualangan Hanum dan Rangga pada film “99 Cahaya di Langit Eropa”. Dengan dibintangi oleh Abimana Aryasatya, Acha Septriasa, Nino Fernandez, Hannah Al Rasyid, Rianti Cartwright.
ADVERTISEMENT
Isu yang terdapat dalam film tersebut sangat kontekstual dengan apa yang terjadi sekarang ini, yaitu tentang diskriminasi. Isu tersebut merujuk pada ketakutan yang berlebihan dengan tindakan diskriminasi terhadap islam maupun pengikutnya.
Isu ini terjadi dalam film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang melibatkan kehidupan umat muslim di Amerika saat mendapatkan diskriminasi dari golongan non-muslim dan adanya isu bahwa islam dianggap sebagai agama yang identik dengan kekerasan, radikalisme, dan terorisme terutama pasca kejadian 9/11.
Film Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015) mengisahkan tentang perjalanan Hanum (Acha Septriasa) seorang jurnalis cantik, ia diharuskan untuk menemani sang suami bernama Rangga (Abimana Aryasatya) yang sedang melanjutkan studi S3 di Wina.
Setelah Hanum mendapatkan kiriman email video dari seorang gadis yang berjudul “Do you know my dad?”, Hanum diberikan tugas oleh atasannya yang bernama Gertrud Robinson untuk membuat artikel provokatif, berjudul “Would the world be better without Islam”. Gertrud Robinson meminta Hanum untuk mewawancarai dua belah pihak narasumber berbeda yaitu golongan muslim dan non-muslim di Amerika Serikat. Untuk menemukan semua jawabannya, Hanum harus bertemu dengan keluarga korban yang mengalami serangan World Trade Center (WTC) yang terjadi pada 11 September 2001 di Washington DC, New York.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Rangga suaminya juga ditugaskan oleh Profesornya untuk mewawancarai seorang miliarder bernama Philipus Brown yang dikenal eksentrik, misterius, dan tidak mudah berbicara dengan media. Namun, malang tidak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, tugas mereka berantakan ketika sebuah demonstrasi besar berakhir ricuh karena bertepatan dengan peringatan kejadian pasca 9/11 di kompleks Ground Zero. Sejak saat itulah awal mula Hanum bertemu dengan keluarga korban dari serangan WTC yaitu Azima Hussein dan putrinya Sarah Hussein yang menjadi target wawancara Hanum sebagai narasumber golongan muslim.
Azima Hussein adalah seorang janda yang telah kehilangan kebanggaan akan Islam karena suaminya diduga menjadi salah satu teroris pada tragedi 9/11. Apalagi Azima yang terlihat sangat membenci wartawan dikarenakan dalam anggapannya, wartawan hanya peduli dengan wawancara dan tidak mempedulikan orang yang diwawancarai.
ADVERTISEMENT
Upaya Hanum untuk mendapatkan kepercayaan dari Azima cukup sulit, karena ia mengalami diskriminasi dari masyarakat Amerika karena memakai hijab yang menjadi tanda seorang muslim. Sedangkan untuk golongan non-muslim Hanum memutuskan untuk mewawancarai Mr.Michael Jones yang menolak adanya pembangunan masjid Ground Zero di sekitar area tersebut.
Dalam pembahasan film ini, ada beberapa konflik diskriminasi yang digambarkan oleh masyarakat Amerika ketika melihat orang dengan pakaian muslim maka akan mendapatkan sorotan serta makian. Pada adegan ini islam tentunya masih dipahami secara simbolis lewat pakaian yang dikenakan. Menurut artikel dari Muria Endah Sokowati yang berjudul Konvensi Generik Film Islam di Pasca Orde Baru yang dimuat dalam buku “Menikmati Budaya Layar, Membaca Film (2016)”, menyebutkan bahwa film religi Islam tidak akan lepas dari simbol-simbol Islam. Maka dari itu, artikel ini akan membahas bagaimana diskriminasi islam direpresentasikan dalam film “Bulan Terbelah di Langit Amerika” dengan menampilkan simbol islam di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Jika berbicara masalah diskriminasi, sebagaimana dikemukakan Rio Febriannur Rachman dalam artikel berjudul Representasi Diskriminasi Etnis Tionghoa Dalam Film Babi Buta Yang Ingin Terbang yang dimuat dalam Jurnal KANAL Vol. 2, No.2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa diskriminasi adalah salah satu sikap yang dianggap tidak adil karena membeda-bedakan seseorang dari latar belakangnya. Diskriminasi pasti menimbulkan perasaan rendah diri, karena mereka tidak mempunyai ruang gerak yang bebas. Perasaan rendah diri ini pun membawa pada hasrat ingin menutup diri. Ekstrimnya, meskipun ingin membuka diri, mereka ingin mengubah diri terlebih dahulu.
Tindakan diskriminasi tersebut digambarkan melalui karakter Azima Hussein istri Muhammad Hussein yang mengubah namanya menjadi Julia Collins berusaha menyembunyikan hijabnya di balik “wig(rambut palsu)” sekaligus menjadi salah satu keluarga korban dari serangan WTC.
ADVERTISEMENT
Dalam film ini peran sebagai umat muslim tentunya memiliki tantangan kehidupan yang cukup sulit. Dimana wanita muslim pada film digambarkan seorang wanita yang memakai hijab dianggap sebagai agama penganut radikal. Padahal islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian dan kasih sayang. Selain itu juga, pada film “Bulan Terbelah di Langit Amerika” mengajarkan bahwa kita sebagai sesama umat beragama sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap toleransi.
Diah Nawang Wulan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan