Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Teka-Teki Jalan Pulang
21 Desember 2024 0:05 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari DIAN ARIYANTI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, beberapa pengunjung berjalan mondar-mandir mencari cara untuk pulang. Mataku tertuju pada sekelompok orang yang melangkah tergesa, bertanya pada warga setempat sambil sesekali menatap layar ponsel mereka, wajah mereka kusut seperti baju yang belum disetrika. “Disini mah ga ada Gojek, Mbak” samar-samar telingaku menangkap suara seorang pria yang duduk santai di bawah pohon. Perjalanan menuju Candi Jiwa mengalir seperti air berkat bantuan transportasi online, namun perjalanan pulang bagaikan teka-teki tanpa jawaban. Tarikan napasku terdengar halus di tengah keramaian, sementara pikiranku sibuk memutar otak, mencari cara untuk kembali pulang.
ADVERTISEMENT
Saat telapak kakiku menyentuh pintu masuk Candi Jiwa, pandanganku diarahkan pada seorang petugas yang mengenakan kaos berkerah, tanpa kesan seragam resmi. Sudut bibirnya perlahan terangkat, matanya menyipit penuh keramahan, mengiringi sapaan hangat saat ia menyerahkan buku tamu untuk kuisi. “Biaya masuknya seikhlasnya aja, Kak” ucapnya lembut. Tak ada tarif tetap, tak ada tiket resmi yang biasa aku temui di tempat wisata lain. Tanda tanya muncul di hatiku, apakah candi ini tidak berada di bawah pengelolaan Pemerintah Daerah? Segalanya terasa begitu sederhana, seperti harta karun yang dijaga dengan kasih oleh masyarakat setempat.
Saat aku melangkah lebih dekat, mataku tak berkedip melihat keanggunan Candi Jiwa yang berdiri tegak di tengah hamparan sawah hijau. Batu-batu yang tersusun seolah menyatu dengan alam. Sebelum mataku kembali berkedip, seorang pemandu wisata bernama Nayan Kurniawan mendekat, wajahnya memberi sinar semangat. "Candi Jiwa ini lebih tua dari Borobudur, loh" ujarnya sambil menunjuk ke arah candi. Aku mengangguk halus, mencoba mencerna fakta itu dengan seksama. Nayan melanjutkan, "Menurut Prof. Hasan Djafar, ada dua masa, yaitu bagian yang terdalam dari sampel itu menunjukkan abad ke-5 sampai abad ke-7" Aku terdiam sejenak, rasa takjub tiba-tiba merayap di pikiranku. Kini, aku berdiri di depan Candi Jiwa, yang ternyata menyimpan sejarah yang lebih dalam dan lebih tua dari yang kukira.
ADVERTISEMENT
Saat kakiku membawa aku mengelilingi Candi Jiwa, Nayan berkata "Candi-candi di Batu Jaya sini masih tahap penelitian" Aku mengamati kumpulan batu di sekeliling Candi Jiwa, seolah setiap batu menyimpan cerita yang belum terungkap. "Makanya, candi ini belum sepenuhnya dikelola pemerintah" lanjutnya. Aku mencoba memutar waktu saat memasuki kawasan Candi Jiwa, terpasang di dekat jalan masuk bertuliskan, "Candi Jiwa" yang diikuti dengan keterangan "Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat" menjadi bukti nyata bahwa meskipun statusnya masih dalam penelitian, Pemerintah Daerah memberikan dukungan penuh agar candi-candi di Batu Jaya dapat menjadi kebanggaan dan salah satu ikon di Karawang.
Setelah menghabiskan waktu berkeliling dan menyelami Candi Jiwa, aku merasa perlu melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang. Dengan langkah yang lembut, aku mendekati seorang warga yang sedang duduk di bawah pohon, mengayunkan kipas di tangan. "Ada ojek di sini, Pak? Saya pakai aplikasi nggak dapat driver" tanyaku, suara ku sedikit ragu. Bapak itu menatapku sejenak, kemudian bibirnya melengkung dengan tulus. "Sendiri, neng? Bentar, saya antar aja" jawabnya sambil bangkit dan menuju ke motornya. Aku melangkah mundur sejenak, rasa terkejut dan harapan berbaur dalam diam. Tanpa banyak bicara, ia mengarahkan motornya menuju jalan utama yang lebih ramai, tempat biasanya ada pangkalan ojek. Ternyata, keramahan dan kepedulian warga setempat menyelamatkanku. Perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan candi yang lebih tua dari Borobudur, tetapi juga tentang meresapi kebaikan tak terucap, yang mengalir lembut di antara jalanan tak terduga. Seperti candi yang tersembunyi di balik sejarah, kebaikan pun sering kali bersembunyi dalam langkah-langkah kecil yang mengarahkan kita menuju cahaya.
ADVERTISEMENT