Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pertaruhan Gerakan Politik Populisme Islam
12 Februari 2024 9:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dian Pertiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keriuhan masa kampanye telah usai, dan waktu pencoblosan tinggal menghitung jam. Pemilihan umum (pemilu) kali ini adalah pertaruhan antara kemenangan kandidat dengan status quo dan kandidat yang menawarkan perubahan. Namun, ada hal lebih menarik dalam gelaran pemilu kali ini. Yaitu, pertarungan pemilihan presiden kali ini menjadi pertaruhan gerakan politik populisme Islam. Masuknya Anies Baswedan dalam gelanggang pemilihan presiden membuka kesempatan bagi gerakan populisme Islam naik kembali di atas panggung politik. Rekam jejak dukungan kalangan populis Islam kepada Anies nampak pada kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 silam.
ADVERTISEMENT
Politik populis mengemuka satu dekade ke belakang. Keberhasilan Joko Widodo (Jokowi) memenangkan kontestasi pada pemilu 2014 dianggap kemenangan bagi kelompok populis marhaen yang melekat pada partai pendukung. Selain itu, Jokowi secara historis lahir dari kalangan rakyat biasa, sehingga dianggap lebih bersih dan dekat dengan masyarakat. Bertarung melawan Prabowo Subianto yang saat itu dari kalangan elit, namun mengklaim dirinya sebagai kelompok nasionalis, Jokowi memenangkan hati masyarakat Indonesia.
Toggart (2000) menganggap populisme sebagai patologi karena umumnya sang aktor politik tidak mengklaim dirinya populis. Orang lain dan para pengkritiknya yang menyematkan label populis pada aktor politik akibat aksi, pilihan, serta manuver politik yang dilakukan.
Anies terasosiasikan ke dalam kelompok pemilih populis lantaran serangkaian aktivitas kampanye dan manuver politiknya mengarah pada gerakan populisme. Sebagai contoh, program kampanye Desak Anies yang dilakukan dengan turun langsung ke lapangan dan memanfaatkan balai pertemuan warga. Program ini membuka dialog untuk mendengar aspirasi masyarakat sebagai jembatan komunikasi yang dibentuk antara aktor politik dan konstituennya. Lain halnya dengan Prabowo yang menggandeng pengusaha serta artis dalam bentuk endorsement baik di sosial media maupun agenda kampanye, sehingga menimbulkan kesan elitis.
ADVERTISEMENT
Kalangan Populis Islam
Sejarah politik populis di Indonesia membawa narasi keagamaan. Respons politik berbasis umat dianggap efektif untuk menjawab serangkaian permasalah sosial di Indonesia, khususnya masalah ekonomi. Permasalahan ini umumnya timbul akibat pengambilan kebijakan yang dianggap elitis dan kapitalis. Misalnya tingginya angka gini ratio sebagai indikator ketimpangan ekonomi, bahkan ketimpangan ini terjadi di kota-kota besar. Kembangkitan nasionalisme berbasis identitas, etnis, dan agama kembali meluas. Fenomena ini tak hanya terjadi di negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia, tapi juga India yang berpenduduk mayoritas hindu. Jika di India gerakan politik populis tumbuh karena kesenjangan sosial akibat sistem kasta, munculnya gerakan sejenis di Indonesia sebagai respons terhadap kontradiksi sosial yang timbul akibat kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Hadiz (2016) menyebut sejarah gerakan populisme Islam di Indonesia menyatu dengan sentimen nasionalis anti-kolonial, termasuk mengecualikan etnis tionghoa dari masyarakat karena dianggap sebagai penerima manfaat pertumbuhan ekonomi pada rezim Orde Baru. Tak heran jika Anies menang dalam kontestasi pemilihan Gubernur Jakarta, melalui sentimen ini ia mendapat dukungan dari kelompok kelas menengah Islam terpelajar yang mayoritas tinggal di kota besar seperti Jakarta.
Saat ini, pertumbuhan jumlah kelas menengah ‘rentan’ miskin di perkotaan menjadi salah satu penyokong gerakan politik populisme Islam di Indonesia. Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, sebanyak 69 dari 100 penduduk Indonesia berpendapatan menengah bawah. Kelompok masyarakat ini masih kesulitan mengakses pendidikan berkualitas, teknologi, jaminan kesehatan, perlindungan sosial serta jaminan pekerjaan. Walaupun kelompok ini sudah bebas dari jerat kemiskinan, tetapi kualitas hidup mereka masih rendah. Ini kenapa popular istilah kelas menengah ‘rentan’ miskin. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok populis di perkotaan terdiri dari kalangan terpelajar, berbeda dengan kelompok populis di pedesaan yang umumnya merupakan kelompok petani dan nelayan. Hal ini karena tingginya tingkat pentrasi jumlah perguruan dan sekolah tinggi di kota-kota besar yang dapat diakses kelompok masyarakat ini.
ADVERTISEMENT
Basis Pemilih Anies
Basis partai pendukung Anies adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Ummat, dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Secara mesin politik mungkin tidak sekuat partai-partai pendukung Prabowo. Namun, jika dibekali strategi kampanye politik sesuai dengan target pasar pemilih di Indonesia yaitu masyarakat muslim, kesempatan memenangkan kontestasi ini dapat terbuka semakin lebar.
Setidaknya ada tiga upaya strategis manuver politik Anies dalam upaya merebut hati gerakan politik populisme Islam yang didominasi oleh kelompok lumpen-intelligentsia. Kelompok ini terdiri dari masyarakat yang berhasil menempuh pendidikan setidaknya pada tingkat menengah hingga tinggi, namun terjebak pada tingkat ekonomi kelas menengah bahkan bawah dalam hirarki sosio-ekonomi politik. Kelompok masyarakat ini bukan hanya terpelajar tapi juga cerdas.
ADVERTISEMENT
Pertama, berbekal strategi kampanye politik bersifat dialogis yang dikemas secara egaliter, Anies menyasar kelompok lumpen-intelligentsia. Strategi kampanye bersifat emansipatoris yang diusung menjadi daya tarik bagi mereka. Sebab, berbeda dengan kelompok kelas pekerja bawah yang tidak berpendidikan, kelompok ini memiliki kemampuan nalar dan berpikir kritis. Dengan strategi emansipatoris, mereka diyakinkan bahwa bahwa kandidat tidak terafiliasi dengan pemodal atau investor politik. Seperti pengumpulan dana kolektif konstituen untuk pembuatan alat peraga kampanye (banner) kandidat.
Kedua, mengusung kesetaraan. Dengan jargon “menjunjung tinggi keadilan” upaya Anies sejalan dengan kaum lumpen intelligentsia yang mengusung gagasan “rantai kesetaraan”. Seperti dikutip oleh Hadiz, Roy (1994) menggambarkan posisi sosial kelompok ini cenderung rentan, dengan kurangnya kesempatan kerja yang layak untuk mendukung gaya hidup kelas menengah. Hal ini terlihat dari naiknya gini ratio (ketimpangan ekonomi) dan angka pengangguran yang didominasi oleh kelompok angkatan pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun 2023. Sehingga, janji program pembangunan yang terpusat pada manusia (human-centric development) menarik minat kelompok ini.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mencitrakan diri sebagai sosok pemimpin sosial dari kalangan intelek. Citra ini penting bagi kelompok masyarakat lumpen-intelligentsia sebagai representasi wajah dan karakter masyarakat Indonesia di panggung politik internasional. Citra ini juga kembali mengingatkan pada pahlawan di lingkaran Soekarno merupakan mayoritas dari kelompok nasionalis dan berpendidikan yang membantu Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya serta menjalankan pemerintahan Orde Lama.
Lumpen-intelligentsia merupakan kelompok yang sangat aktif dan memiliki kekuatan sosial yang berpengaruh. Di Indonesia, kelompok ini terdiri dari kelompok nasionalis-berpendidikan di perkotaan. Mereka menjunjung tinggi nilai, moral, serta demokrasi. Sehingga, isu dukungan incumbent terhadap salah satu kandidat pasangan dapat terakumulasi menjadi suara bagi kandidat lainnya.
Lebih dari itu, Anies dan partai pengusung ingin menghapus citra lama Anies yang pernah mendapat dukungan Islam garis keras dalam pemilihan gubernur Jakarta. Dengan kehadiran Muhaimin Iskandar sebagai politisi berlatar belakang NU menjadi wakil, pasangan ini mencitrakan Islam Nusantara yang lebih moderat dan dapat merangkul agama lainnya.
ADVERTISEMENT