Konten dari Pengguna

Pelajaran dari ‘Kudeta’ di Australia

Dian Islamiati
WNI tinggal di Australia dan jurnalis senior
30 Agustus 2018 11:46 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Islamiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera Australia. (Foto: AFP/Peter Parks)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Australia. (Foto: AFP/Peter Parks)
ADVERTISEMENT
Seperti bangun dari mimpi buruk yang tidak pernah usai, minggu lalu rakyat Australia kembali disuguhi drama ‘kudeta’ tak berdarah, di mana PM Malcolm Turnbull dilengserkan jabatannya oleh koleganya, baik dari kabinet maupun anggota DPR dari partainya sendiri, Partai Liberal.
ADVERTISEMENT
Susah dipahami bagaimana dalam satu dekade, Australia sudah berganti Perdana Menteri sebanyak tujuh kali sejak PM John Howard. Artinya, setiap Perdana Menteri Australia tidak pernah bisa menyelesaikan satu periode jabatannya karena ‘kudeta’ di dalam partainya sendiri. 
Bisa dibilang John Howard adalah Perdana Menteri terakhir yang menyelesaikan jabatannya sampai selesai tanpa dilengserkan oleh koleganya di dalam partainya. Tak heran bila Australia mendapat julukan ‘negara kudeta dia ntara negara-negara maju.’
Lengsernya Turnbull tak bisa dilepaskan dari dendam mantan PM Tony Abbott yg dilengserkan oleh Malcolm Turnbull dalam mosi tidak percaya dalam kabinet dan anggota DPR Partai Liberal tahun 2015 lalu.
Sebelumnya Turnbull dilengserkan oleh Abbot ketika dia menjadi Pemimpin Oposisi tahun 2009. Rupanya Abott belum bisa move on masih sakit hati diturunkan oleh Turnbull, ia kemudian tidak mendapat jabatan apa-apa duduk di belakang, sebagai anggota DPR saja. 
ADVERTISEMENT
Dalam system Westminster seperti yang dianut Australia, anggota DPR yang duduk di barisan depan di ruang sidang gedung parlemen adalah menteri kabinet termasuk di antaranya menteri dari partai koalisi.
Mereka disebut ‘frontbencher’. Sementara yang duduk di belakang adalah anggota DPR yang tidak memegang portfolio dan tidak mendapat jabatan kabinet. Mereka disebut ‘backbencher’.
Kembali ke laptop, dalam drama ‘kudeta’ minggu lalu, Abbott yang berada di ‘backbencher’ menggalang kekuatan dengan sejumlah ‘frontbencher’ meminta Peter Dutton, Menteri Dalam Negeri, untuk menantang kepemimpinan Malcom Turnbull ketika mantan banker ini popularitasnya menurun. Turnbull menang dalam pemilihan internal Partai Liberal 45 suara mengalahkan 38 suara. 
Tapi rupanya Dutton tidak menyerah, dua hari kemudian dia menantang kembali diadakan pemilihan internal. Kali ini Turnbull memilih tidak ikut, menyerahkan deputinya Julie Bishop dan pendukungnya Scott Marrison bersama-sama Dutton memilih siapa yang layak menjadi ketua partai.
PM Australia Malcolm Turnbull (Foto: AP/AAP/Mick Tsikas)
zoom-in-whitePerbesar
PM Australia Malcolm Turnbull (Foto: AP/AAP/Mick Tsikas)
Bishop tersingkir dalam putaran pertama menyisakan Marrison dan Dutton. Dan Marrison akhirnya terpilih menjadi ketua Partai Liberal, maka dengan demikian ia menjadi Perdana Menteri karena Partai Liberal adalah mayoritas dalam koalisi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kudeta bukanlah hal baru. Dalam naskah Pararaton disebutkan Ken Arok melengserkan Tunggul Ametung bossnya penguasa Tumapel. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, janda Tunggul Ametung yg tengah hamil janin penguasa wilayah Kediri pada waktu itu.
Ken Arok ngebet mengawini Ken Dedes karena menurut ramalan Lohgawe, pendeta India, Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Tidak meleset ramalan itu, hanya saja Ken Arok tidak bisa melihat anak turunnya menjadi raja.
Kualat dengan Tunggul Ametung, ia tewas dibunuh oleh pengawalnya atas perintah Anusapati. Ia kemudian menjadi raja Tumapel kedua menurunkan Wisnuwardana dan Kertananegara.
Dalam teori-teori kudeta demokrasi, ilmuwan masih memperdebatkan apakah kudeta harus dilakukan oleh militer, aparat negara atau politisi. Namun yang jelas semua ilmuwan sepakat tujuan utama kudeta adalah kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membuat rakyat Australia menjadi lelah dengan drama politik di Canberra yang tak pernah usai. Pada akhirnya yang ingin dicapai oleh mereka adalah kekuasaan dan bagaimana mempertahankannya. 
Sebelumnya ‘kudeta’ yang sama  sama juga dilakukan saat Partai Buruh berkuasa. Perdana Menteri Kevin Rudd saat itu berhasil dilengserkan oleh Julia Gillard, Deputi PM, saat itu pada tahun 2010. Tak lama berkuasa, Rudd yang diberi jabatan sebagai Menlu oleh Gillard menantang Gillard saat popularitasnya turun pada 2012. Tapi upaya Rudd gagal, ia tak patah semangat, dua kali Rudd menantang lagi Gillard tahun 2013 dan akhirnya mundur sebagai anggota parlemen. 
Menariknya gelut antar politisi di Canberra tidak serta-merta membuat rakyat pendukung terbelah. Harga listrik yang menjadi biang popularitas pemerintah turun tetap tinggi dan pertumbuhan ekonomi tidak juga membaik. Gelut di Canberra dianggap membuat pemerintah tidak fokus terhadap janji saat kampanye membawa kesejahteraan terhadap rakyat.
ADVERTISEMENT
Tak heran popularitas pemerintah justru anjlok menjadi 38 persen sementara pemerintah oposisi popularitas malah meningkat. Diperkirakan Partai Liberal akan kalah dalam pemilu tahun depan. Hal yang pernah terjadi pada pemerintah Buruh saat berkuasa, popularitasnya anjlok dan kalah dalam pemilu berikutnya setelah Kevin Rudd dan Julia Gillard gelut dan saling melengserkan.
Dian Islamiati Fatwa, WNI tinggal di Australia, jurnalis senior.