Apa yang Membuat Manusia Bahagia? Lingkungan Keluarga dan Rasa Syukur

Dian Pertiwi Josua
Counselor - Lecturer S1 Pendidikan Tata Rias Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta - Researcher - Writer #SainsAsyikFGMI #SainsPopFGMI #FGMIxKumparan
Konten dari Pengguna
25 Maret 2021 15:05 WIB
Tulisan dari Dian Pertiwi Josua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga bermain di taman. Sumber : https://unsplash.com/photos/5NLCaz2wJXE
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga bermain di taman. Sumber : https://unsplash.com/photos/5NLCaz2wJXE
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lingkungan dan penciptaan semesta, sudah berabad-abad menjadi topik yang menarik, terutama bagi industri perfilman. Kita semua tentu hobi berlama-lama menonton film. Ada satu film yang agak rumit, tapi akan mengajak pikiran kita sejenak berjalan-jalan. The Theory of Everything dengan tokoh cerita di dalamnya mengangkat kisah Stephen Hawking. Pada pertengahan film, kepala kita mulai dibuat ngebul melalui pernyataan dalam script film ini–bagaimana probabilitas kebahagiaan di alam semesta?
ADVERTISEMENT
Bicara soal alam semesta, ilmu geologi mengatakan bahwa bumi termasuk seisinya seperti rumah, alat transportasi, kegiatan manusia, hingga pada pengelolaan dan pengembangan permukiman, merupakan cabang kajian yang dapat dipetakan.
Pentingnya rumah bagi manusia di bumi, sudah termasuk dalam janji Allah dalam Al-Quran Surat An-Nahl Ayat 80: “Dan Allah membangun rumah-rumah bagi manusia sebagai tempat tinggal. Allah pula yang menjadikan rumah-rumah dari kulit binatang ternak, bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing. Kemudian Allah melengkapi rumah kediaman manusia dengan alat rumah tangga dan perhiasan-perhiasan dunia yang bisa digunakan manusia, hingga waktu yang telah Allah tetapkan.”
Masih berantakannya tata kelola tempat tinggal, mendorong terpaksanya keluarga terutama di wilayah perkotaan, bermukim di lingkungan kumuh. Cobalah sesekali, tengok wilayah-wilayah padat penduduk. Terbesit kemudian, apakah dalam kondisi sesak dan ketika manusia berada di lingkungan keluarga yang kurang layak, masihkah manusia bahagia?
Ilustrasi anak-anak bermain di taman. Sumber : https://unsplash.com/photos/tvc5imO5pXk
Belajar sambil jalan-jalan, inilah asyiknya dunia geosains. Hasil pengamatan yang ditulis pada tahun 2020 lalu, memberitahukan jika lingkungan, berpengaruh terhadap kebahagiaan keluarga yang tinggal di permukiman kumuh. Pengujian yang dilakukan dari 30 keluarga dengan skala Oxford Happiness Questionnaire, ternyata membuktikan masyarakat di wilayah permukiman padat penduduk tetap dapat merasakan kebahagiaan karena memiliki rasa syukur yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Komponen fisik lingkungan keluarga, seperti bangunan rumah, ketersediaan pembuangan akhir, kualitas udara, adanya kebisingan dan getaran, sarana dan prasarana lingkungan serta lahan hijau yang ada, merupakan cerminan dari kesejahteraan sebuah keluarga. Ketika komponen fisik lingkungan keluarga buruk, namun manusia masih bisa merasa nyaman menghuni lingkungan tersebut dengan dipupuk rasa syukur, maka sedikitnya mampu menetralisir dampak negatif yang timbul akibat kesesakan dan faktor risiko lingkungan buruk.
Jadi, bisakah kita menghitung berapa kali kita menikmati apa yang Tuhan dan semesta suguhkan? Maka, sepatutnya kita bersyukur dengan segala yang kita miliki.