Konten dari Pengguna

Keberagaman Akulturasi Arsitektur Pada Masjid Al-Anwar Jakarta

Dian Purnomo
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
27 Juni 2022 10:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Al-Anwar pada tahun 1930. Sumber : KITLV, Digital Collections Universiteit Leiden.
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Al-Anwar pada tahun 1930. Sumber : KITLV, Digital Collections Universiteit Leiden.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam membahas mengenai suatu bangunan yang merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan universal (cultural universals) manusia, dimana aspek ini merupakan bagian dari sistem peralatan hidup dan teknologi yang dibutuhkan oleh setiap manusia di dunia ini. Pada dasarnya, arsitektural merupakan susunan ruang yang dirancang untuk suatu kegiatan yang di integrasikan dengan harmonis ke dalam sebuah komposisi yang padu. Selain itu menurut Eko Budihardjo, arsitektur merupakan sebuah bangunan yang sistematis, indah, anggun, menawan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks wilayah Jakarta yang dahulunya bernama Batavia, munculah beragam kelompok masyarakat dengan beragam etnis yang saling berbaur antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing etnis tersebut memiliki kebudayaan yang khas antara satu dengan yang lainnya. Namun dalam perkembangan waktu, masyarakat yang tinggal di Batavia secara perlahan-lahan saling melebur menjadi satu kesatuan yang membentuk kebudayaan baru, termasuk dalam hal ini ialah teknik dalam membangun suatu bangunan.
Sejarah Pembangunan Masjid Jami’ Al-Anwar
Masjid Jami’ Al-Anwar yang terletak di Jalan Tubagus Angke Rt.001/Rw.005, Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta ini menyimpan begitu banyak kisah sejarah yang menjadikan masjid ini sebagai lambang akan keberagaman, keharmonian, dan keanggunan corak arsitekturnya. Pada awalnya, wilayah yang sekarang menjadi tempat dibangunnya masjid ini merupakan sebuah Kampung Bali, penamaan ini didasarkan atas mayoritas masyarakat yang tinggal kala itu merupakan masyarakat Bali, baik yang berstatus budak maupun yang berstatus sebagai orang merdeka (vrijmen).
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena pada abad ke-17 dan 18 pemerintah Kolonial VOC membuat pemisahan atau segregasi permukima berdasarkan asal-usul tempat tinggal mereka. Namun demikian, pada periode selanjutnya usaha VOC dalam melakukan pemisahan kampung berdasarkan etnis tidak dapat dipertahankan. Hal ini karena masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut tidak hanya berinteraksi dengan berlandaskan hubungan antar etnis, namun lebih berdasarkan pada kepentingan sosial-ekonomi dan kedekatan geografis. Dalam hal ini, identitas etnis dalam masyarakat di Batavia tidak pernah terartikulasi dengan jelas. Dengan demikian, terjadilah pembauran antara masyarakat kampung Bali yang beragama Hindu dengan masyarakat lainnya.
Dengan intensifnya pergaulan maupun interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Bali ini, maka terjadilah proses perkawinan antara penduduk laki-laki dengan para budak wanita dari etnis lain, termasuk dari masyarakat Bali. Di samping itu banyak pekerja tinggal di lahan garapannya di luar kampung, dimana orang Bali, Tionghoa, dan Jawa hidup tidak terpisah. Islamisasi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa maupun etnis lain terhadap masyarakat Hindu Bali juga mempercepat proses pembauran sehingga dalam waktu yang tidak cukup lama banyak masyarakat di Kampung Bali yang memeluk Agama Islam.
ADVERTISEMENT
Masjid Jami’ Al-Anwar dibangun pada tahun 1761. Terdapat perbedaan mengenai siapa yang membangun masjid ini. Pertama, menyatakan bahwa masjid ini dibangun oleh masyarakat Bali yang menikah dengan orang Tionghoa, dan arsitek yang mengerjakan desain masjid ini ialah seorang Tionghoa yang bernama Syeikh Liong Tan. Kedua, berpendapat bahwa masjid ini dibangun oleh seorang perempuan Tionghoa bernama Ny. Tan Nio yang pada saat itu memilih untuk masuk Islam11 dan bersuamikan orang Banten.
Hal ini berdasarkan bukti bahwa di belakang masjid ini terdapat makam seorang perempuan Tionghoa. Masuk Islamnya masyarakat Tionghoa tidak mengherankan karena setelah adanya peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1740 banyak orang Tinghoa yang kemudian masuk Islam karena untuk mencari keamanan dari peristiwa genosida kala itu.
ADVERTISEMENT
Akulturasi Arsitektur Masjid Jami’ Al-Anwar
Akulturasi pada bidang arsitektur menurut Ashadi terjadi dalam tiga keadaan yaitu, adaptasi, adopsi, dan sinergi. Proses adaptasi terjadi jika bentuk arsitektur lokal dominan terhadap bentuk arsitektur non-lokal, apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka prosesnya ialah adopsi. Dan jika keduanya dalam keadaan seimbang maka yang terjadi ialah sinergi. Apabila kita perhatikan secara mendetail pada masjid yang berukuran 12x12 meter ini terdapat banyak sekali perpaduan yang saling melengkapi satu sama lainnya secara seimbang dan saling bersinergi.
Diantaranya ialah terdapat gaya atau corak arsitektur Jawa, Bali, Tionghoa, dan Belanda. Semua unsur-unsur tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat Kampung Bali pada saat itu sudah mengalami pembauran atau percampuran dengan masyarakat lainnya. Dari bagian luar bangunan (eksterior) terdapat atap yang berbentuk limasan dan bertumpeng dua (punden berundak) dimana struktur Tionghoa terlihat pada bagian detail atap tersebut. Keempat jurai pada kontruksi atap tumpeng ini bentuk keduanya tidak lurus, melainkan melengkung. Bentuk jurai melengkung ini jelas mendapat pengaruh kontruksi dari bangunan tradisional Tionghoa. Selain itu terdapat juga struktur penyangga rangka atap yang terbuka di bagian tengah-tengah antara rangka atap bawah dengan rangka atap atas yang mengingatkan pada arsitektur Tionghoa, yakni bernama Toukung.
ADVERTISEMENT
Atap masjid terdapat hiasan berbentuk sarang lebah dan mustoko yang merupakanbagian dari corak arsitektur Jawa. Sumber : Koleksi Pribadi.
Pada ujung keempat sudut atap baik pada atap tumpeng pertama ataupun atap tumpeng kedua terdapat hiasan kayu berukir (punggel) yang mencuat ke atas. Hiasan ini banyak dijumpai dalam bangunan tradisional Bali terutama pada bangunan pura Hindu. Dan pada bagian bawah atap terdapat hiasan berbentuk sarang lebah tawon atau nanas-nanasan dan pada puncak atapnya terdapat kemuncak atau mustoko. Kedua hiasan ini banyak ditemukan pada bangunan tradisional masyarakat Jawa.
Selain corak itu, terdapat juga pengaruh Belanda dalam eksterior bangunan masjid ini, dimana pintu utama yang simetris terbuat dari kayu yang megah, tinggi, serta lebar ini sangat mirip dengan kediaman masyarakat Belanda di Kali Besar. Pemilihan ukuran pintu ini didasarkan pada keperluan untuk mengalirkan udara sejuk kedalam bangunan masjid. Selain itu terdapat juga lima anak tangga yang menyerupai bangunan Gedung Arsip Nasional yang berarsitektur Belanda. Penempatan ukiran pada pintu bagian atas dan kusen pintu serta rangkaian anak tangganya juga sangat mirip dengan gerbang bangunan pura di Bali.
Ornamen ukiran (a jour’ relief) pada bagian pintu utama yang merupakanperpaduan dari corak Bali dan Belanda. Sumber : Koleksi Pribadi.
Selain itu ornamen pada jendela masjid yang berupa tiang kayu bubut sangat mirip dengan balkon pada bangunan Belanda di Batavia. Keduanya berakulturasi dengan kebudayaan Jawa. Hal ini terlihat jelas dari adanya ukiran hasil pahatan (a jour’ relief) sulur tumbuh-tumbuhan di bagian atas pintu yang berbentuk bidang segi empat. Corak pahatan yang menggambarkan ornamen tumbuhan merupakan bagian yang sering ditemukan pada arsitektur Islam, hal ini karena Islam melarang adanya ornamen hewan dan manusia pada bangunan tempat ibadah. Menurut Djoko Soekiman, pada tahun 1730-an sepertiga dari daun pintu sebuah bangunan mewah (termasuk masjid) dipahat dengan a jour relief yang indah.
Interior ruangan utama masjid pada ruangan ini terdapat empat tiang atau sering disebutsebagi saka guru. Sumber : Koleksi Pribadi.
Keberagaman arsitektur juga terletak di bagian dalam (interior) masjid. Tepat di bagian tengah bangunan terdapat empat buah tiang saka guru yang menyangga atap tumpang dua. Bentuk atap tumpang dan penggunaan saka guru dalam kontruksinya melambangkan cerminan dari corak arsitektur tradisional Jawa. Terdapat filosofi dibalik penggunaan saka guru pada masjid ini, bahwa keempat tiang masjid melambangkan empat sahabat Nabi Muhammad SAW. Pada bagian atas ruang yakni tepatnya di antara keempat saka guru ditutup dengan papan kayu dan di tengahnya digantungkan lampu hias. Papan kayu tersebut penuh dengan lukisan kaligrafi dengan tulisan Allah, Asmaul Husna, serta Muhammad.
ADVERTISEMENT
Pada dinding sisi barat ruang utama terdapat mihrab dan mimbar. Pada bentuk mihrab berupa dinding yang menjorok ke dalam, sedangkan bentuk mimbar berupa dinding yang menjorok ke luar. Dalam bentuknya mihrab memiliki dua pilar yang tertanam di dinding kiri dan kanan. Di atas pilar mihrab terdapat lengkungan setengah lingkaran yang masing-masing bertumpu pada pilar di kanan dan kirinya. Selain itu pada bagian tengahnya terdapat semacam mahkota yang bertumpu diatas dua pilar. Corak ini merupakan bagian dari corak arsitektur kolonial Belanda.
Mihrab dan mimbar masjid yang merupakan corak struktur arsitektur Belanda. Sumber : Koleksi Pribadi.
Selain itu dalam mimbarnya terbentuk dua pilar di kanan dan kirinya yang hampir menyentuh bagian plafon. Selain itu di sisi dalam pilar mimbar terdapat bentuk yang hampir sama dengan bagian mihrab. Pada bagian mimbar pun juga merepresentasikan corak arsitektur Kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Daftar Sumber :
Budihardjo, Eko. Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Kota. Jogjakarta: Gajah Mada University Press. 1994.
Ishar, H.K. Pedoman Umum Merancang Bangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1995.
Kutoyo, S. Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 1999
Mulyana, Deddy & Rakhmat Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2009
Blackburn, Susan. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok: Maasup Jakarta. 2011.
Niemeijer, Hendrik E. Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII. Depok: Maasup Jakarta. 2012.