Konten dari Pengguna

Permasalahan Jakarta: Refleksi Historis Terkait Perpindahan Pusat Administrasi

Dian Purnomo
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
22 Juni 2024 9:44 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Museum Sejarah Jakarta. Sumber: Koleksi Pribadi, 11 Januari 2023.
zoom-in-whitePerbesar
Museum Sejarah Jakarta. Sumber: Koleksi Pribadi, 11 Januari 2023.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari ini tepat pada tanggal 22 Juni setiap tahunnya diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta. Kota yang telah ada pada zaman VOC tersebut menyimpan berbagai macam kegemilangan sekaligus menyimpan beragam cerita terkait permasalahan kota, terkhusus ekologi atau lingkungan. Bahkan kisah kegemilangan dan permasalahan yang terjadi di kota tersebut telah bergulir hingga masa kini. Kota Jakarta yang dahulu dikenali sebagai Kota Batavia, adalah sebuah pusat administrasi pemerintahan dan perekonomian kolonial VOC di wilayah Timur dunia. Kota ini bisa dibilang menjadi ibukota yang menghubungkan pusat-pusat perniagaan kongsi dagang tersebut mulai dari Pantai Tanjung Harapan di Benua Afrika, Pantai Koromandel dan Malabar di Anak Benua India, hingga Pulau Deshima di Jepang.
ADVERTISEMENT
Kota Batavia pada dasarnya didirikan dari hasil penaklukkan yang dilakukan oleh pasukan VOC (Verenigdee Oost Indische Compagnie) dibawah Gubernur Jeneral saat itu, Jean Peterzoon Coen terhadap pasukan Kepangeranan Jayakarta, yang berlangsung pada tahun 1619. Dari hasil penaklukkan inilah kemudian sang penguasa VOC kala itu merundingkan nama yang tepat yang akan digunakan untuk dijadikan nama kota. Coen, memberikan saran nama Nieuw Hoorn, nama itu dipilih dikarenakan Coen, lahir di Kota Hoorn, Belanda. Namun usulan itu kemudian ditolak oleh mayoritas anggota direktur VOC, Hereen XVII. Akhirnya nama Batavia pun dipilih karena lebih mewakili keseluruhan masyarakat Belanda kala itu yang diyakini berasal dari keturunan suku Bataaf.
Ketika penaklukkan yang dilakukan olehnya sukses, Coen bersama dengan pasukannya membumihanguskan Jayakarta beserta dengan bangunan dan lanskap kotanya, sampai tidak tersisah sama sekali. Dari wilayah inilah kemudian Coen mendirikan kota yang dicita-citakannya sebagai pusat administrasi, perniagaan, dan ekonomi karena lokasinya yang strategis berada dekat dengan Selat Sunda. Kota yang dibangun sekitar kurun waktu hingga 1620-an ini berlokasi di kawasan pesisir Utara Jakarta, tepat di muara Sungai Ciliwung (sekarang wilayah Pelabuhan dan Kota Tua, Jakarta). Kota ini dibangun dengan menggunakan tata letak dan landskap layaknya kota-kota di Eropa, terkhusus Amsterdam, Belanda, maka tidak heran jika kota ini memiliki jalanan yang lurus dan teratur serta dikelilingi oleh kanal-kanal yang indah, tidak hanya itu rumah-rumah dan pertokoan dibangun dengan mengikut gaya Eropa. Seorang pelancong pada abad ke-17 bahkan memberikan catatan penilaiannya bahwa Kota Batavia lebih indah daripada Amsterdam.
ADVERTISEMENT
Faktor Penyebab Permasalahan Kota
Keindahan dan kejayaan Kota Batavia tidaklah berlangsung lama, sebab pada periode selanjutnya muncul berbaai macam permasalahan yang harus dihadapi oleh kota tersebut, terkhusus permasalahan ekologi atau lingkungan. Permasalahan ini setidaknya dapat kita lihat dari berbagai faktor penyebab diantaranya: Pertama, tata kota Eropa yang memiliki banyak kanal dan dikelilingi oleh tembok benteng, serta rumah-rumah yang tidak adaptif terhadap iklim tropis membawa permasalahan berupa sirkulasi udara yang pengap dan tidak sejuk sehingga aliran udara yang masuk ke rumah tidak mengalami pergantian dengan baik, begitupun kondisi atap plafon yang rendah juga mengakibatkan suhu ruangan menjadi panas jika terjadi musim kemarau ataupun kondisi di siang hari.
Kedua, terjadinya sedimentasi atau pengendapan yang terjadi baik di kanal-kanal yang mengelilingi kota maupun yang terjadi di muara Sungai Ciliwung. Sedimentasi yang disebabkan oleh letusan Gunung Salak yang berlokasi di selatan Kota Batavia pada tahun 1730. Letusan yang lumayan besar tersebut tentunya membawa sampah-sampah vulkanik berupa abu, batu-batuan, lumpur, dan material lainnya, Sampah vulkanik inilah yang menyebabkan Sungai Ciliwung dan kanal-kanal di sekitar kota mengalami sedimentasi yang serius sehingga sungai dan kanal menjadi dangkal dan sempit, tentu akan mengurangi lintasan debit air yang masuk dengan lancar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kedisiplinan dan perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan sangat kurang, sehingga tidak ada kesadaran didalam menjalankan kebersihan dan perilaku sehat. Hal ini terjadi lantaran banyak masyarakat di kota itu yang membuang kotorannya langsung ke kanal-kanal tanpa adanya tindakan penyaringan lebih lanjut. Tidak hanya itu terkadang masyarakat juga membuang bangkai-bangkai hewan dan kotoran rumah tangga lainnya. Perilaku tersebut menyebabkan semakin parahnya sedimentasi dan pendangkalan aliran sungai dan kanal, padahal kedua aliran tersebut kerap dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kehidupan sehari-hari termasuk kebutuhan minum dan mencuci.
Ketika terjadi ledakan permintan gula dunia (sugar boom), wilayah sekitar Batavia yang disebut sebagai Ommelanden (terkhusus wilayah selatan Batavia) dijadikan sebagai areal penanaman tebu untuk dijadikan gula. Sayangnya banyak dari sampah-sampah tebu yang dibuang langsung ke Sungai Ciliwung yang nantinya akan bermuara di Kota Batavia. Sebuah ironi ketika aksi-aksi tidak bertanggung-jawab ini juga dilakukan oleh oknum-oknum nakal penebang hutan secara liar yang kayunya dijadikan sebagai bahan bakar industri gula. Dengan demikian hutan yang berada di hulu Sungai Ciliwung atau di selatan Kota Batavia telah habis ditebang untuk kepentingan ekonomi tanpa memperhatikan dampak yang terjadi dikemudian hari. Faktor-faktor itulah yang nantinya menjadi penyebab dari serangkaian permasalahan yang ada di Kota Batavia.
ADVERTISEMENT
Respon Pemerintah Terhadap Permasalahan Kota
Perencanaan tata kota yang tidak sesuai dengan iklim tropis dan perilaku masyarakatnya yang acuh dalam menjaga keindahan dan kebersihan Kota Batavia, kemudian harus berhadapan dengan resiko yang harus dilaluinya, termasuk resiko terkena penyakit yang mengerikan kala itu yang membuat populasi masayarakat berkurang dengan sangat drastis. Penyakit ini diantaranya ialah malaria dan disentri. Kedua penyakit ini sempat membuat panik masyarakat yang tinggal di kota tersebut karena tidak tau keberdaan sumber penyakit dan cara pencegahannya. Bahkan saking berbahayanya penyakit itu tidak ada rumah sakit di kota tersebut yang sanggup menanganinya, orang-orang kala itu menyebut rumah sakit bukan sebagai tempat harapan untuk dapat sembuh melainkan menjulukinya sebagai ”greave de Hollanders” atau “kuburan orang Belanda”.
ADVERTISEMENT
Dari permasalahan pelik yang terjadi sekitar tahun 1730-an tersebut, kemudian masyarakat di Kota Batavia banyak yang melarikan diri keluar dari kota berbenteng tersebut untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak huni. Disinilah banyak dari mereka yang menuju wilayah selatan Kota Batavia. Di wilayah yang jauh dari Kota Batavia itulah masyarakat kaya yang memiliki kemampuan biaya kemudian mendirikan rumah-rumah mewah yang dikeliligi dengan taman-taman yang indah, disebut sebagai landhuizen. Pada tahapan ini masyarakat kelas atas Eropa yang membangun landhuiz telah menerapkan arsitektur tropis yang dipadu dengan gaya Eropa. Djoko Sukiman, sejarawan dan guru besar UGM, menganalisanya sebagai hasil dari kebudayaan Indies.
Tidak hanya masayarakat kaya, bahkan muncul rencana dari pemerintah kolonial VOC, untuk memindahkan pusat administrasi pemerintahan dan perniagaannya ke wilayah selatan tersebut. Wilayah selatan inilah yang kemudian dinamakan sebagai wilayah Weltevraden (sekarang meliputi Menteng, Tanah Abang, dan Lapangan Monas). Nama Weltevraden dapat bermakna “wilayah yang sangat memuaskan”, diberikan nama tersebut dikarenakan masyarakat dan pemerintah menyadari wilayah ini memiliki kesejukan udara dan air yang bersih bagi kebutuhan dan kelangsungan hidup masyarakat dan administrator wilayah koloni. Tentu berbeda dengan wilayah Batavia Lama yang ada di Utara Weltevraden yang sangat bermasalah dan menimbulkan penyakit. Namun dalam perjalannanya wilayah Weltevraden juga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru diantaranya meningkatnya populasi dan muncunya permukiman-permukiman kumuh serta bencana banjir dan ekologi lainnya. Ini menandakan bahwa perpindahan pusat administrasi pemerintah dari Kota Batavia Lama menuju Weltevraden tidak serta merta dapat teratasinya permasalahan yang ada di kota tersebut.
ADVERTISEMENT
Refleksi Historis Terkait Perpindahan Pusat Administrasi Pemerintahan
Zaman tentu sudah berganti dan musim telah berlalu, namun kini Kota Batavia yang sekarang dikenali sebagai Kota Jakarta masih menyimpan segudang permasalahan, termasuk permasalahan ekologi atau lingkungan. Namun demikian tindakan yang mengarah kepada pembiaran masalah dan lari dari masalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial VOC dengan memindahkan pusat administrasi pemerintahannya dari wilayah Oud Batavia (Batavia Lama) menuju Weltevraden, bukanlah sesuatu tindakan dan cara-cara elegan yang diharapkan. Permasalahan sebuah kota selayaknya menjadi bahan evaluasi untuk saling membuka diskusi antar pemerintah dan masyarakat dikota itu dalam mengambil tindakan-tindakan pencegahan atau preventif dan menanggulanginya secara bersama-sama. Dari hasil-hasil evaluasi inilah kemudian pemerintah mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut. Begitu pula yang harus dilakukan oleh masyarakat di Kota Jakarta. Kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem dan ekologi adalah kunci dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh Kota Jakarta yang sudah menginjak usia ke-497 tahun.
ADVERTISEMENT
Kita tentu tidak ingin jika permasalahan yang ada di kota yang menjadi simbol kemajuan nasional dan kota yang menyimpan berjuta-juta kenangan akan peristiwa dimasa lalu harus larut dalam permasalahan yang tidak kunjung usai. Hal ini tentu akan berdampak kepada persepktif dan sudut pandang kita mengenai kota ini dan kedepannya. Apalagi pemindahan ibukota negara yang sudah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia dari Kota Jakarta menuju Nusantara tidak menjamin terselesaikannya permasalahan yang terjadi di Kota Jakarta. Bahkan jika kita membuka lembaran-lembaran sejarah akan didapati bahwa cara dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan cara dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial VOC. Ini tentu adalah bukti bahwa kita mewarisi sikap dan perilaku pemerintah kolonial VOC, yang lari dari permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota pusat administrasi pemerintahan dan perekonomian.
ADVERTISEMENT