Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengulik Kehidupan Diplomat Perempuan
15 Juli 2018 16:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari dian ratri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi diplomat seringkali menjadi cita-cita banyak pemuda. Walaupun generasi milenial sudah bergeser minatnya menjadi selebgram, youtuber, beauty blogger, travel writer, atau pengusaha, ternyata profesi diplomat masih banyak penggemarnya, termasuk pelamar perempuan.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan yang tak kenal waktu, aktivitas yang terkadang mengharuskan berpergian ke sana ke mari, negosiasi dengan berbagai lini membuat pekerjaan ini terkesan lebih cocok bagi lelaki. Realitanya saat ini jumlah diplomat perempuan baru sekitar 36% atau sejumlah 694 dari total 1.923 orang yang bertugas di dalam dan di luar negeri.
Lalu bagaimanakah protret kehidupan para diplomat perempuan? Artikel ini akan mengulik 5 fakta yang lekat dengan keseharian para pelakunya.
1. Tak ada Dikotomi
Menjadi diplomat tak mengenal dikotomi peran perempuan atau laki-laki. Semua hal dibagi rata dan dijalankan berdasarkan kompetensi yang dimiliki untuk melaksanakan peran pokok diplomasi yang meliputi 5 hal yaitu representing (mewakili), promoting (mempromosikan), protecting (melindungi), negosiating (menegosiasikan), dan reporting (melaporkan).
ADVERTISEMENT
Meski pekerjaan diplomat identik dengan peran negosiasi dan kehadiran di berbagai sidang di luar negeri, peran ekstrim juga seringkali harus dihadapi. Tak jarang seorang diplomat perempuan harus menangani fungsi konsuler yang lekat urusannya dengan penanganan kasus pembunuhan, pengurusan jenazah, pelecehan TKI, juga kasus hukuman mati.
Di beberapa negara yang merupakan kawasan rawan, beberapa dari mereka pun harus mampu menjaga emosi di bawah kondisi ekstrim karena kerawanan situasi politik, situasi perang, kondisi alam, maupun kelangkaan bahan pangan.
Ibu Retno L.P Marsudi sendiri adalah Menteri Luar Negeri perempuan pertama Indonesia yang merupakan diplomat karier yang besar dari lingkungan internal Kementerian Luar Negeri. Dalam kegiatan talk show bersama Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika pada Sabtu, (14/7) di Bandung, Menlu Retno mengatakan ke para peserta:
ADVERTISEMENT
2. Peran Ganda
Berkeluarga adalah pilihan setiap manusia apapun profesinya. Sebagai perempuan, ada satu peran yang secara fitrah ada padanya, yaitu menjadi istri atau ibu. Tentu bagi diplomat perempuan dalam membagi peran antara karier dan keluarga akan selalu ada tantangannya. Menanggapi hal ini, Ibu Retno L.P Marsudi dalam diskusi di Jakarta berjudul Integrasi Perempuan dan Teknologi: Untuk Indonesia yang Lebih Sejahtera pernah menyampaikan:
Oleh karenanya, kata kuncinya adalah pandai membagi waktu dan energi. Tekad dan komitmen yang kuat bersama keluarga merupakan upaya yang harus senantiasa dijaga. Saling menjaga kepercayaan, pembagian tugas keseharian dan kesepakatan pola pengasuhan adalah beberapa hal yang senantiasa perlu dibicarakan bersama pasangan.
3. Kompromi dan Komunikasi
Kehidupan diplomat cenderung nomaden, Sepanjang kariernya mereka harus hidup jauh dari keluarga besar. Mereka dan keluarganya juga harus cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat negara penempatan, mulai dari lingkungan kerja, tempat tinggal hingga kota dengan situasi, iklim, dan adat yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Bagi diplomat perempuan, tantangan tersebut bisa bertambah, misalnya karena harus tinggal terpisah dari pasangan yang memutuskan untuk berkarier di Indonesia. Bagi yang menikah dengan sesama diplomat, permasalahannya tentu juga beda. Kemenlu sendiri kini telah memfasilitasi agar pasangan diplomat dapat sama-sama melaksanakan penugasan di negara atau kawasan yang berdekatan.
Nilai tambahnya adalah tidak perlu lagi menjelaskan berbagai konteks pekerjaan, tapi tentunya kompromi dan komunikasi merupakan aspek yang harus terus dijaga.
4. Siap sedia 7/24
Diplomat tak mengenal jam kerja. Walaupun rata-rata jam kantor adalah pukul 08.00-05.00, saat bertugas di perwakilan, baik fungsi politik, ekonomi, sosial budaya, protokol maupun konsuler semua mempunyai tuntutan yang sama. Tak ada tawar menawar atau klaim lemburan saat kewajiban muncul di depan mata.
ADVERTISEMENT
Setiap pejabatnya harus siap sedia 7 hari dalam seminggu, 24 jam dalam sehari menerima tugas sehari-hari. Mulai dari hadir resepsi selepas jam rutin kantor, memfasilitasi delegasi, menghadiri berbagai pertemuan dan kegiatan pembinaan masyarakat di akhir pekan hingga kasus penanganan perlindungan WNI yang sering muncul dini hari.
5. Hobi tak perlu mati
Sebagai perempuan, walaupun berprofesi sebagai diplomat tentu banyak yang punya kegemaran atau passion yang masih ingin dikembangkan baik hanya sekedar hobi atau justru bisa menjadi sumber pundi-pundi.
Tengoklah seorang diplomat perempuan yang sebentar lagi akan menuntaskan misinya di Perutusan Tetap Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat. Berkarier cemerlang di dunia multilateral tak membuatnya melupakan hobi fotografi. Dia pun membuat blog dan akun Instragram @travelingwithindahnuria yang berisi kisah perjalanan dan foto-foto unik dari berbagai negara yang pernah dikunjungi.
ADVERTISEMENT
Bagi yang hobi memasak, berbagai kegiatan promosi kuliner maupun perkumpulan kemasyarakatan dapat dijadikan media mempromosikan kreasi. Mereka yang suka menari atau kegiatan seni juga bisa manjadikan keahliannya sebagai sarana promosi dan berbagi inspirasi. Hampir semua hobi bisa dikembangkan dan justru terus dipelajari sembari menuntaskan misi selama di luar negeri.
Jadi, buat kamu generasi milenial terutama kaum perempuan, kalian tetap bisa berbakti dan mengharumkan nama negeri dengan semua bakat dan minat yang dimiliki tanpa harus meninggalkan hobi.