Sistem Zonasi dan Kelanjutan Pendidikan Anak TKI

dian ratri
Just a littledust on earth who's enjoying her role as a daughter, a wife, a mother of three, and a diplomat for my lovely country.
Konten dari Pengguna
22 Juli 2018 23:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dian ratri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah sepekan ini tidur saya tak nyenyak. Hal yang sama dirasakan pula oleh para pengurus Sabah Bridge dan segenap pengelola pendidikan di Sabah, Malaysia. Mendadak saja, keberlanjutan pendidikan 133 lulusan Community Learning Center (CLC) SMP dari kawasan Sabah menjadi tak jelas arah. Kalaulah anak-anak lain di Indonesia sudah melepaskan euforia seragam dan sekolah baru, anak-anak tersebut masih harus menunggu, entah dalam hitungan hari, minggu atau hingga tahun berlalu.
ADVERTISEMENT
Anak-anak yang lahir di rantau Malaysia itu direncanakan akan melanjutkan proses belajar di beberapa sekolah setingkat SMA di Kawasan Sebatik dan Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara). Segenap persiapan telah dilakukan sejak awal tahun ajaran. Ritual pembekalan pun sudah digelar oleh Konsulat RI di Tawau pada 9 Juli 2018. Namun sistem zonasi tiba-tiba menjadi alasan penolakan dan berujung ketidakjelasan.
Foto: FB Sekolah Mutiara Bangsa Sebatik
Repatriarsi atau pemulangan anak-anak pekerja migran di Sabah memang merupakan bagian dari program pemerintah yang sudah dikembangkan sejak 3 tahun lalu. Sebelumnya, di tahun 2013 pemulangan sukarela juga sudah dilakukan untuk 22 anak TKI lulusan Sabah sebagai hasil kolaborasi Kemendikbud dan Pertamina Foundation. Bahkan di Sebatik sendiri telah berdiri sebuah sekolah swasta khusus untuk anak TKI yang dikembangkan oleh Yayasan Mutiara Bangsa.
ADVERTISEMENT
Pembangunan Sekolah Garis Depan di Sebatik atau Nunukan sempat digagas. Pendidikan terbuka seperti model paket C juga sudah diinisiasi walau masih terbatas dalam implementasi. Hal ini karena di akhir tahun ajaran 2015 saja siswa lulusan CLC SMP Sabah sudah mencapai angka 650 orang sedangkan daya tampung Sekolah Indonesia Kota Kinabalu sebagai sekolah induk hanya mampu menyerap 100 lulusan tingkat SMA. Pada akhirnya, pengembangan sekolah yang sudah ada menjadi fasilitas berasrama menjadi solusi sementara mengingat pembangunan sekolah terpadu butuh waktu dan banyak sumber daya.
Persoalan paling mendasar pembangunan sekolah berasrama sebagai hub pendidikan di perbatasan adalah karena anak-anak itu tidak lagi bisa tinggal secara aman di Sabah. Berdasarkan aturan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), usia layak kerja di perkebunan adalah 16 tahun. Dengan demikian, anak-anak lulusan CLC SMP rawan kena razia.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya mengirimkan mereka kembali ke Indonesia secara resmi dengan kelengkapan dokumen yang memadai merupakan salah satu bagian dari upaya untuk memutus mata rantai pekerja migran tak resmi.
Banyak pihak mendukung dan mengapresiasi sistem zonasi walaupun polemik dan kecurangan dalam aplikasi di lapangan masih terjadi disana-sini. Semangat agar pemerataan pendidikan dapat dirasakan segenap lapisan masyarakat serta upaya meminimalisir stratifikasi sosial dalam dunia pendidikan memang perlu diinisiasi.
Sebagai gambaran, layanan pendidikan bagi anak TKI di Sabah sejak awal dibuka di tahun 2006 sudah menerapkan sistem ini. Anak-anak bersekolah di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, walupun untuk itu sebagian besar ada yang masih harus menempuh 1-2 jam perjalanan. Semua ragam siswa dengan aneka latar belakang bisa bersekolah di tempat yang sama.
ADVERTISEMENT
Sekolah benar-benar menjadi center of excellence untuk membina anak-anak itu menemukan potensi diri dan mengasah kemampuan terbaiknya. Yang mampu dalam satu bidang membantu teman yang lain yang kurang mampu dalam suatu pelajaran. Semua anak istimewa. Pendidikan karakter adalah penekanan utamanya. Tidak ada julukan CLC unggulan atau CLC pinggiran. Semua mempunyai kedudukan yang sama dalam proses belajar.
Tentu saja masih perlu banyak pembenahan di dalam negeri. Pemerataan fasilitas pendidikan dan kelayakan kualitas pengajar menjadi hal kunci. Kesadaran orang tua bahwa nilai bukan suatu ukuran utama keberhasilan pendidikan adalah hal lain yang perlu direkonstruksi. Setiap anak punya proses belajar yang tidak sama sehingga hasilnya pun tidak bisa diukur dengan metode pukul rata.
ADVERTISEMENT
Penolakan bagi anak lulusan CLC Sabah karena alasan zonasi tentu saja kurang beralasan. Beberapa minggu sebelumnya puluhan anak yang juga difasilitasi Sabah Bridge dapat diterima dengan baik di beberapa sekolah di Pulau Jawa. Bahkan, secara khusus, Sekretaris Jenderal Kemendikbud sudah menyampaikan instruksi agar anak-anak lulusan CLC Sabah dapat diterima di Kaltara.
Foto: Alumni CLC
Hal lain yang tidak dapat menjadi alasan penolakan tentunya adalah ketersediaan kuota di beberapa sekolah di Sebatik dan Nunukan itu sendiri. Asrama khusus sudah dibangun untuk memfasilitasi anak-anak TKI sejak tahun 2015. Tahun ini pun, kuota bagi anak-anak tersebut masih terbuka. Komunikasi dan pendataan sudah dilakukan jauh hari dengan mempertimbangkan keseimbangan alokasi bagi penduduk asli.
ADVERTISEMENT
Barangkali munculnya kasus penolakan terhadap anak-anak TKI ini tidak serta merta perkara zonasi. Pemerintah Daerah Kalimantan Utara yang baru lahir 25 Oktober 2012 tentunya masih terus berproses untuk tumbuh sebagai provinsi termuda di Indonesia. Harapan padanya sebagai wilayah terdepan Indonesia tentunya sangat besar, apalagi dengan kecepatan pertumbuhan tertinggi berdasarkan sensus 2015.
Nunukan, dalam hal ini merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk tertinggi kedua setelah Tarakan. Permasalahan besar yang harus dihadapi Nunukan maupun Kaltara secara umum adalah banyaknya pekerjaan rumah akibat limpahan TKI dari Tawau, Sabah-Malaysia yang memang berbatasan langsung baik darat maupun lautnya. Setiap tahun sekitar 6000 WNI tak berdokumen resmi dideportasi dari pelabuhan Tawau untuk dikembalikan ke wilayah asalnya di Indonesia melalui BNP3TKI Nunukan. Sebagian punya daerah asal, tapi sebagian memang lahir dan besar di Sabah sehingga mereka tak punya rumah untuk kembali.
Foto: Koleksi Pribadi Potret TKI sewaktu deportasi Nunukan ataupun Kaltara tak bisa sendirian menghadapi kompleksnya permasalahan TKI. Penolakan terhadap anak-anak tersebut mungkin hanya fenomena kecil perlunya lebih banyak kolaborasi lintas lini di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Semua sedang berbenah, semua dalam proses berubah. Tentu harapan kita semua untuk menuju Indonesia yang lebih baik dan berdaulat bagi semua rakyat. Anak-anak itu hanya butuh rumah bernaung di negerinya. Orang tua bernama Indonesia untuk merangkul dan memeluk erat asanya, agar mereka juga bangga berdarah dan bertanah air Indonesia.
Malam ini para guru berdedikasi itu masih berjuang mencari jalan terang bagi masa depan anak-anaknya. Ada yang akhirnya mencari sekolah swasta terdekat di Sebatik. Ada juga sebagian besar yang nantinya harus menempuh perjalanan 3 hari melalui darat-laut-udara menuju Kalimantan Selatan. Ada yang kemudian masih harus menunggu sekiranya ada kabar terang untuk kelanjutan Pendidikan di tanah airnya di seberang.
ADVERTISEMENT
Sayapun kembali termangu. Terkadang, hambatan terbesar untuk berubah dan berbenah adalah diri sendiri. Seberapa jauh ia mau mencermati dan meresapi setiap tantangan. senantiasa melihat permasalahan dari berbagai sisi. Bukan hanya berfikir apa untuk diriku, tetapi apa buat kita nanti.