Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Tais Belu, Ragam Tenun Indonesia yang Mendunia
26 Agustus 2018 11:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari dian ratri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Joni bersama Menpora Imam Nahrowi di Jakarta - 18/8/2018 (Foto: Jamal Ramadhan/Kumparan)
ADVERTISEMENT
Bukan hanya Joni saja rupanya yang terkenal dari Belu, Nusa Tenggara Timur. Sehelai kain yang senantiasa dipakai Joni di lehernya rupanya juga merupakan produk khas masyarakat Belu selain keramahan, kegigihan dan semangat berbaginya.
Menenun adalah pekerjaan, memakai adalah kehormatan
Jes A. Therik dalam bukunya Tenun Ikat dari Timur pernah menuliskan sepenggal puisi berjudul “Mengukur Tenun Nusa Tenggara Timur” dengan sajak yang begitu menggugah.
Sajak tersebut memang merupakan gambaran karakter masyarakat Belu yang sungguh terasa saat rombongan peserta Sekolah Staf Dinas Luar Negeri Angkatan ke-61 berkunjung kesana jelang peringatan HUT RI ke-73 lalu. Setiap kali mengunjungi institusi di Belu, setiap kali pula para mama menyambut dengan senyum hangat sambil mengalungkan sehelai kain tenun ke leher para tamu.
Kunjungan Peserta Diklat Sesdilu 61 ke Sekolah Dasar Wirasakti, Atambua - 15/8/2018 (Foto: Koleksi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Dari keterangan Bapak Bupati sewaktu briefing kedatangan, Tais atau tenun memang merupakan salah satu produk unggulan Belu yang sudah go internasional. Terakhir Bapak Bupati beserta istri telah mempromosikan Tais Belu hingga Rusia.
Jajaran pemda Belu juga senantiasa menggiatkan penggunaan pewarna alam yang sudah mulai ditinggalkan karena desakan industri tekstil pabrik. Beberapa dekade terakhir mulai merebak warna-warna non-tradisional seperti merah muda, hijau muda, atau ungu.
Warna tenun pada dasarnya mempunyai arti tersendiri misalnya hitam yang melambangkan malam, arah utara dan lambang untuk kaum wanita sementara warna merah melambangkan siang, arah selatan dan lambang kaum pria. Umumnya kain tenun ikat Belu bermotif kecil dan abstrak. Tenun yang digunakan kaum pria biasanya bermotif garis vertical yang bermakna tanggung jawab kaum lelaki terhadap kelangsungan hidup keluarganya.
Ilustrasi pakaian adat dari Belu yang digunakan oleh kaum pria (Foto: Buku Tenun Ikat dari Timur)
ADVERTISEMENT
Berdasarkan aspek kewilayahan, Belu merupakan salah satu Kabupaten dari 22 kabupaten/Kota di Provisnsi NTT. Kawasan ini berada di Pulau Timor yang berbatasan langsung dengan Timor Timur dengan garis batas berupa sungai, bukit dan gunung sepanjang 125 km. masyarakat di Kawasan ini menyebut dirinya Atoni Pah Meto yang artinya orang dari tanah kering.
Pulau Timor yang kini terbagi menjadi dua negara ini dahulunya adalah bekas jajahan Belanda pada bagian barat hingga tahun 1945 dan jajahan Portugis pada bagian timur hingga akhir 1975. Orang Belanda masih berperan dalam pengembangan budaya tenun sedangkan bangsa Portugis tidak terlalu menyentuh aspek ini.
Komersialisasi Tais Belu
Para mama membentang Tais Belu hasil tenunan (Foto: instagram/threadsoflife)
Sejarah penggunaan tenun di kalangan masyarakat Belu atau NTT secara umum, lebih ditekankan pada keperluan adat misalnya untuk mas kawin, pesta maupun kematian. Nilai kain dalam konteks ini lebih ditentukan oleh nilai adat dan bukan berdasarkan harga pasar.
ADVERTISEMENT
Awalnya, kerajinan tenun lebih merupaan produksi sambilan terutama di musim kemarau khususnya oleh kaum wanita demi kebutuhan adat dan diperjualbelikan di kalangan sendiri. Baru sekitar tahun 1965-1967 kelesuan ekonomi yang melanda Indonesia berdampak ke berbagai wilayah termasuk NTT sehingga masyarakat mulai kembali pada usaha penanaman kapas yang ditanam bersama-sama dengan jagung Hal ini kemudian mendorong produksi tenun lebih dikomersilkan. Dengan demikian, tenunan asli kawasan ini memang merupakan tenunan benang kapas alam.
Kapas mentah hingga hasil yang telah dipintal menjadi benang (Foto: Instagram/threadsoflife)
Dalam perkembangannya, ornamen hiasan tenun terus mengalami perubahan dan penggunaan lambing atau unsur spiritual mulai bergeser. Pengaruh motif ekonomi jauh lebih kuat dalam produksi selembar tenunan.
Menentukan harga selembar kain tenun akan sangat sulit pada masyarakat tradisional karena seringkali nilai adat pada suatu selimut tenun disamakan dengan nilai tanduk seekor kerbau atau sapi tua. Makin Panjang maka makin tinggi nilai adatnya dan makin terhormat keluarga yang memilikinya.
ADVERTISEMENT
Pengembangan Tais Belu
Tarik ulurnya kemudian ada dalam menjembatani pembinaan pengembangan tenun dalam dikotomi sasaran ekonomi dan sasaran pelestarian warisan budaya. Pada konteks bisnis, tenunan tradisional akan meningkatkan kemakmuran dan nilai ekonomi, namun dalam konteks lain aspek pemeliharaan budaya tiap suku dengan kekhasan yang berbeda akan semakin tergerus eksistensinya terutama seni ornamen tradisional serta pemaknaan atas fungsi dan simbolnya.
Pemerintah Kabupaten Belu sendiri mulai tahun 2016 telah memberlakukan aturan penggunaan tais Belu setiap hari Kamis bagi Pegawai Negeri Sipil lingkup Pemkab Belu. Wakil Bupati Belu J.T. Ose Luan mengatakan: “Kita berlakukan aturan berkantor menggunakan tais. Kita sudah mengembalikan sesuatu yang telah hilang yakni kultur budaya kita.”
Selain itu, secara rutin Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Belu juga kerap menggelar pelatihan bagi pengrajin di Belu. Terakhir, Januari 2018 lalu melalui bekerja sama dengan pengurus Dewan Kerajinan Nasional dan Perkumpulan Warna Alami Indonesia (Warlami) telah diadakan pendampingan pelatihan pewarnaan alami di Atambua.
Pelatihan penggunaan pewarna alami oleh Dekranasda & Warlami di Atambua -5/1/2018 (Foto:Marcel Manek/Voxntt)
ADVERTISEMENT
Ketua Dekranasda Belu, Lidwina Vivi Lay mengatakan: “Tenun Belu selain mempertahankan warisan budaya juga dikembangkan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi. Hasil tenun dengan pewarna alami harus terus ditingkatkan mengingat dunia saat ini sudah melirik produk eco-fashion.” Adapun pewarna alam yang digunakan antara lain daun jati, batang mahoni, traum (indigo vera), daun suji, kunyit, dan akar mengkudu.
Tais Belu pada akhirnya harus diperlakukan sebagaimana anak bangsa yang harus dididik, diperhatikan dan dibiarkan tumbuh. Meskipun tekstil hanyalah seutas benang dalam budaya manusia, namun Tais Belu maupun tenun NTT pada umumnya merupakan pengungkapan pikiran, gagasan, kepercayaan serta harapan-harapan yang tersusun indah dalam pola hiasan khas sebagai hasil penghayatan mendalam dari kekuatan alam yang perlu terus dikembangkan dan dipromosikan ke tingkat global.
ADVERTISEMENT