Konten dari Pengguna

Singkel: Kolaborasi, Diversifikasi Ekonomi, dan Menyoal Moral Pendidikan

Dian Saputra
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara
10 Mei 2025 13:51 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pulau Banyak Wisata Andalan Aceh Singkil. Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Banyak Wisata Andalan Aceh Singkil. Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Layaknya anak muda, kita berdiri pada optimisme akan masa depan Aceh Singkil yang madani. Di tengah riuhnya pelbagai persoalan yang mengemuka di masyarakat, seakan menandakan masa depan yang jauh dari harapan. Mulai dari konflik masyarakat dengan perusahaan, tantangan ekonomi, infrastruktur yang belum merata, hingga mengembalikan nilai pendidikan pada ruhnya.
ADVERTISEMENT
Tantangan ini semakin serius ketika kebijakan pemerintah pusat melakukan efesiensi anggaran besar-besaran yang secara tidak langsung menggebuk ekonomi masyarakat. Pemerintah daerah diminta cerdas dalam mengelola anggaran dan dituntut kreatif dalam mengelola potensi wilayahnya. Harapannya menekan ketergantungan masyarakat terhadap anggaran pemerintah, terutama yang sifatnya seremonial.
Iklim pengelolaan anggaran yang berubah menjadi tantangan serius bagi pemerintahan baru Safriadi-Hamzah ditambah dengan angka kemiskinan masih bertengger di posisi cukup tinggi ditahun 2024 yaitu sekitar 19% (dikutip dari databoks.katadata.co.id).
Tentu kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah ketika di sisi lain berpacu dengan harapan masyarakat yang ingin persoalan akut ini diselesaikan dengan cepat. Ibarat berdiri di atas “es tipis”: silap melangkah bisa terbenam, bila bergerak terlalu berhati-hati malah dianggap lamban. Sebab, masih kuat diingatan akan harapan yang ditabur saat Pilkada 2024 lalu.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kalau kita serius Aceh Singkil menyimpan potensi besar baik dari alam maupun keragaman budaya. Namun nahasnya, sering kali potensi yang ada luput dari perhatian. Alam dan kearifan lokal yang beragam harusnya memberikan peluang untuk berkembang menjadi kawasan yang maju. Walaupun yang menjadi tantangan kolaborasi yang kurang maksimal, ketergantungan ekonomi masyarakat, dan memantapkan moral pendidikan, masih jadi penghambat utama.
Membangun Kolaborasi: Pondasi untuk Kemajuan
Di era sekarang dunia yang semakin terhubung, membangun kolaborasi bukan lagi sekedar pilihan, akan tetapi menjadi sebuah keharusan. Cepat atau lambat, jika Aceh Singkil enggan membuka diri untuk menjawab persoalan yang dihadapi, maka besar kemungkinan kata “madani” kian sulit digapai. Sebagaimana tertuang dalam visi Aceh Singkil di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi di sini bukan hanya berbicara soal kerjasama, akan tetapi soal menyatukan visi, tanggung jawab, dan saling menguatkan. Pemda misalnya, memiliki peran yang strategis untuk menjadi penggerak utama. Mendorong kebijakan yang ramah terhadap pengembangan masyarakat lokal dan memastikan penyediaan insfrastruktur dasar terpenuhi.
Di sisi lain pihak swasta maupun lembaga masyarakat harus menyambut keterbukaan pemerintah untuk berkolaborasi, dan mulai menyamakan persepsi bahwa urusan dengan pemerintah tidak melulu ribet dengan “birokrasi yang kaku”. Istilah ini menjadi “gayung bersambut” dengan bertemunya dua kepentingan bersama untuk memajukan Aceh Singkil.
Selama ini penulis melihat ada komunikasi yang tidak selesai antara pemerintah dengan Non-Government Organization. Di satu sisi NGO menilai pemerintah cenderung menutup diri untuk berkolaborasi dan hanya “terima bersih”. Di sisi lain pemerintah menilai NGO hanya berusaha mencari-cari kesalahan pemerintah yang dikhawatirkan akan menjadi “bom waktu” bagi pengambil kebijakan. Di area inilah kerap terjadi ketidak sepakatan antara kedua pihak.
ADVERTISEMENT
Pun demikian, upaya merajut kolaborasi Bupati Aceh Singkil saat ini harus diapresiasi. Berkaca dari pelbagai publikasi di sosial media yang memperlihatkan bagaimana kelihaian sosok Safriadi Oyon menjemput kue pembangunan maupun membangun kolaborasi dengan swasta.
Langkah ini menjadi angin segar bagi masyarakat akan masa depan daerah, mengingat keterbatasan anggaran daerah membuat Aceh Singkil terseok-seok untuk memaksimalkan pembangunan. Walaupun dalam hal ini kita masih menunggu hasil lobi kue pembangunan dari tangan dingin sosok Safriadi Oyon. Tentu terlalu tergesa-gesa kalau kita menilainya dari sekarang, sebab masih panjang perjalanan.
Diversifikasi Ekonomi: Mengoptimalkan Potensi Lokal
Bentangan sawit yang hampir menyelimuti seluruh wilayah Aceh Singkil menjadi bukti betapa bergantungnya daerah ini terhadap hasil kelapa sawit. Masyarakat berbondong-bondong mengubah wajah lahan kosong maupun hutan menjadi hamparan perkebunan sawit. Sawit dinilai sebagai obat paling ampuh dalam mengatasi semrawutnya kondisi ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Buruknya, kelapa sawit kerap menjadi persoalan serius bagi Aceh Singkil. Mulai dari persoalan lingkungan, persoalan sosial, maupun hukum. Di lingkungan, banjir menjadi dampak nyata bagi masyarakat. Penebangan hutan yang terjadi di era 90an mengakibatkan hutan tropis di seluruh pelosok Aceh Singkil harus rela gundul demi kepentingan ekspor kala itu. Singkil notabenenya berada di wilayah hilir DAS (Daerah Aliran Sungai) menjadi sasaran empuk luapan air, akibat curah hujan yang tinggi dan air kiriman dari hulu.
Nahasnya, kondisi ini diperburuk dengan kebijakan tata ruang yang tidak ramah terhadap hutan gambut. Alih-alih menanam kembali hutan justru bentangan perkebunan kelapa sawit berdiri sepanjang hamparan. Hingga akhirnya Aceh Singkil harus merelakan daerah resapan, dan banjir saban tahun menjadi langganan daerah ini.
ADVERTISEMENT
Di sisi sosial, lingkaran kemiskinan menjadi bukti bahwa perusahaan kelapa sawit belum memberikan dampak yang maksimal dalam menekan angka kemiskinan masyarakat, terutama di daerah pinggiran HGU. Alih-alih menyelesaikan kemiskinan, kehadiran perusahaan justru menjempit kesempatan masyarakat untuk bertahan dengan memanfaatkan alam akibat lahan yang dimonopoli Perusahaan.
Dampak seriusnya meningkatnya angka kriminal pencurian kelapa sawit milik perusahaan. Menurut data Polres Aceh Singkil yang dikutip dari Serambinews.com pencurian sawit menjadi kasus paling dominan ditangani selama selama tahun 2024. Dari total, 172 kasus 39 diantaranya persoalan pencurian sawit. Data ini belum lagi ditambah kasus yang diselesaikan secara restorative justice atau diselesaikan dengan pemerintahan desa.
Terakhir, tak jarang perusahaan harus berduel dengan masyarakat di meja pengadilan. Akibat konflik kepemilikan lahan yang tak kunjung usai. Kedua pihak saling klaim, bahwa sawit yang kokoh berdiri adalah milik mereka dengan tumpukan data dan history yang disajikan. Pisau tajam hukum pun dipaksa untuk melerai pertikaian yang terjadi. Akhir-akhir ini bahkan isu menuntut perusahaan untuk memenuhi kewajiban plasma kembali dipersoalkan, hingga menuai aksi-aksi tuntutan dari masyarakat ke Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari realitas, harus diakui sawit sudah menjadi sumber ekonomi yang mapan bagi masyarakat. Namun di sisi lain, pemerintah harus memiliki pandangan akan masa depan dan dampak yang ditimbulkan. Secara perhalan kita harus beranjak dari ketergantungan terhadap kelapa sawit.
Pemerintah harus melalukan diversifikasi ekonomi dengan melihat potensi yang ada. Misalnya pariwisata, Aceh Singkil harus bisa melihat wisata sebagai pondasi ekonomi baru yang selama ini belum dikelola secara maksimal.
Mulai menata ulang kembali pengelolahan sistem pariwisata ramah bagi semua pihak, sehingga berdampak bagi masyarakat dan dapat memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara maksimal. Diharapkan pemerintah bisa memutar pendapatan untuk menaruh perhatian khsusus terhadap infrastuktur dan tenaga kerja dibidang pariwisata.
Pariwisata diyakini memberikan multiplier effect ekonomi terhadap masyarakat. Terlebih potensi alam Aceh Singkil memberikan daya tarik wisatawan, mulai dari keindahan Pulau Banyak, Rawa Singkil, hingga wisata budaya dan religi. Hanya perlu memoles secara maksimal dengan iklan dan tata kelola yang baik, maka akan menjadi penggerak ekonomi baru dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat melalui campur tangan pemerintah yang serius.
ADVERTISEMENT
Penguatan Moral Pendidikan: Pilar SDM Berkualitas
Membaca tulisan seorang penyuluh anti korupsi sekaligus ASN di Aceh Singkil Tomi Subhan yang berjudul Redaksi Yth: Praktik Curang dalam Pendidikan. Tulisan yang berisi tentang curhatan seorang ayah terhadap sistem pendidikan yang teprosok di lingkaran ketidakjujuran.
Skor Integritas pendidikan nasional yang turun ke 69,50 dari sebelumnya 73,7 di tahun lalu menandakan pendidikan harus ditarik kembali ke jalur yang sesungguhnya. Bagaimana menciptakan kembali dunia pendidikan sebagai kiblat integritas untuk mengasuh masa depan anak bangsa.
Menjadi catatan penting bagi Aceh Singkil yang kerap kali tersandung dugaan korupsi di lingkungan pendidikan. Mulai dari penyelewengan anggaran, korupsi dana kegiatan, dugaan pungli, hingga mahar untuk menduduki jabatan strategis di instansi yang berbau pendidikan.
ADVERTISEMENT
Para pemangku kebijakan mengobok-obok dunia pendidikan demi kepentingan pribadi. Mereka gagal menjadi contoh bagaimana mengelola kejujuran di instansi yang menjunjung tinggi integritas dan mengajarkan kejujuran anak bangsa, ini sangat paradoks.
Para elit saling berupaya mengamankan bagiannya masing-masing tanpa benar-benar memikirkan apa yang bisa dikontribusikan untuk penerus masa depan Aceh Singkil, di sini integritas dikubur dalam-dalam. Setiap Pilar SDM Aceh Singkil harus diasuh secara serius, sebab kita tidak akan bisa mencapai kata “madani” tanpa kejujuran.
Melalui tulisan Tomi Subhan kita belajar, bahwa kejujuran dipupuk sejak dini dengan cara diajarkan serta secara bersamaan dipraktekan oleh para figur yang berada di lingkaran pendidikan. Mereka harus menjadi garda pertama dalam menciptakan iklim kejujuran, mulai dari lingkungan sekolah hingga bagaimana administrasi anggaran dan kebijakan berorientasi pada nilai kejujuran.
ADVERTISEMENT
Langkah ini harus dimulai dengan memberikan kursi jabatan di dunia pendidikan berdasarkan sistem meritokrasi. Pemerintah harus menyakinkan bahwa isu mahar untuk jabatan instansi pendidikan harus bersih, sebagai langkah awal untuk merawat pendidikan yang bermoral. Sehingga kedepannya secara natural akan mengembalikan nilai pendidikan kepada ruhnya.