Siti Khotimah, Korban yang Berjuang

Dian Septi Trisnanti
penulis lepas, pegiat buruh dan perempuan, penggiat film dokumenter
Konten dari Pengguna
6 Juni 2023 20:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Septi Trisnanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sidang perdana Siti Khotimah. Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Sidang perdana Siti Khotimah. Dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jarum jam tangan menunjuk angka dua, saat saya dan seorang kawan sampai di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang bertempat di Jalan Ampera Raya, Ragunan. Tak berapa lama, saya bertemu dengan beberapa teman yang punya tujuan serupa. Kami hendak menemani seorang perempuan muda bernama Siti Khotimah dalam sebuah persidangan.
ADVERTISEMENT
Persidangan perdana tentang penganiayaan keji yang hampir merenggut nyawanya. Selama empat bulan, ia harus terbaring di Rumah Sakit, dengan bantuan Jala PRT dan jaringan. Nyawa Khotimah memang terselamatkan, namun luka batin dan mentalnya masih meninggalkan jejak luka yang dalam.
Jejak luka itu terlampiaskan dalam isak tangis yang membelah sunyi di ruang sidang. Kami terdiam, tersekat dalam suram. Isak tangis itu menyeruak saat Ketua Majelis Hakim memintanya maju ke depan dan menyodorkan sebuah gambar yang tak lain adalah tubuhnya yang penuh luka siksaan. Tiba-tiba, sosok Lita Anggraeni yang duduk tepat di samping saya berdiri dan berteriak.
"Sudah cukup Majelis Hakim, hentikan."
Teriakan Lita cukup membuat Ketua Majelis Hakim menghentikan pertanyaan pada Khotimah sebagai pelapor. Tak hanya sekali, perempuan paruh baya yang sudah puluhan tahun berjuang membela PRT itu memprotes jalannya persidangan yang menurutnya tak cukup ramah pada Khotimah sebagai korban penyiksaan.
ADVERTISEMENT

Lapisan Kekerasan Khotimah

Menghadiri sidang perdana Siti Khotimah, pada Senin, 5 Juni 2023, merupakan momen tak terlupakan dan membutuhkan banyak nyali. Pasalnya, kami harus mendengarkan fakta penyiksaan yang banal dan terjadi di era yang serba digital ini.
Siti Khotimah, seperti banyak perempuan muda umumnya adalah cerminan perempuan yang merantau di kota besar demi bertahan hidup untuk diri dan keluarganya di kampung halaman, Pemalang. Ia terpaksa berhenti sekolah hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan.
Beberapa kali, ia menjadi Pekerja Rumah Tangga, hingga akhirnya di usia yang ke 24 tahun, sejak bulan April 2022, melalui jasa penyalur, ia ditempatkan di apartemen Simprung, Jakarta Selatan. Pemberi kerja adalah pasangan suami istri bernama Soka dan Meti dengan seorang anak bernama Nonjen. Sebenarnya, anaknya empat tapi hanya Nonjen yang tinggal bersama orang tuanya. Selain Khotimah, terdapat lima PRT yang bekerja di apartemen tersebut. Selain itu, mereka memelihara seekor anjing.
ADVERTISEMENT
Sehari-hari Khotimah membantu Meti membalurkan lotion di tubuhnya dan melayani bosnya itu, selain membersihkan apartemen dan memasak untuk seluruh penghuni, termasuk rekan sesama PRT. Hingga suatu hari, Khotimah dituduh mencuri celana dalam Meti yang berakhir dengan tamparan, pukulan, jambakan rambut hingga ditelanjangi dan dikurung di kandang anjing.
Kembali, ruang sidang menjadi senyap, beberapa orang berdesis menahan berang karena amarah. Terbata-bata, Khotimah melanjutkan cerita. Tentang setiap jejak luka di tubuhnya oleh sang pemberi kerja, anak dari pemberi kerja hingga PRT yang adalah rekan kerjanya.
"Saya menamparnya karena ia telah menghabiskan makanan anak saya yang masih dua tahun Pak Majelis Hakim," ucap salah satu rekan PRT yang adalah pelaku.
ADVERTISEMENT
Mendengar ucapan itu, ruang sidang penuh gemuruh. Sungguh tak sebanding, tamparan itu harus diterima Khotimah hanya karena ia menghabiskan makanan anaknya sementara ia menanggung lapar akibat tidak diberi makan.
Pertanyaan para pengacara pelaku pun tak kurang empatinya, selain berulang-ulang menanyakan hal serupa. Mereka seolah mengabaikan luka Khotimah sebagai korban dengan menegaskan bahwa para pelaku pernah membawa Khotimah berobat setelah disiksa. Padahal, siksaan terhadap Khotimah terbilang keji.
Tidak pernah diberikan upahnya yang hanya Rp 2 juta per bulan, ditampar, dijambak, dibenturkan ke tembok, disundut rokok, api lilin, diborgol tangan dan kaki, ditelanjagi dan dikurung di kandang anjing, dibaluri sambal di sekujur tubuh, kaki direndam di air mendidih, hingga kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
"Mengapa Anda tidak kabur?" tanya seorang pengacara dari pihak pelaku.
Bagi kami para pendamping korban kekerasan, pertanyaan semacam itu sangat tidak punya empati pada korban. Pola kekerasan adalah tentang bagaimana membuat korban tidak berdaya. Tidak diberikan upah, disiksa, disekap dan ketiadaan support system membuat korban tidak berdaya untuk melarikan diri.
Terlebih, dalam kasus Khotimah, kunci pintu apartemen dipegang oleh pemberi kerja. Sendirian, berhadapan dengan delapan orang yang siap membunuhnya kapan saja, di ranah privat tanpa adanya perlindungan negara. Rasanya, tidak ada seorang pun di muka bumi yang ingin dirinya berada dalam situasi keji demikian.
Lalu, tepatkah pertanyaan "Mengapa tidak kabur" dilontarkan? Ah, tentu saja, beliau-beliau ini punya kepentingan meringankan hukuman para terdakwa. Namun, bukankah ruang sidang yang manusiawi dan penuh penghargaan terhadap HAM penting dikedepankan?
ADVERTISEMENT
Sungguh pedih dan menyulut amarah, kala satu per satu terdakwa memberi tanggapan pada kesaksian korban. Dimulai dengan kata maaf, disusul dengan pembenaran di kalimat berikutnya.
"Tidak benar ada sundutan rokok yang mulia,"
"Saya sudah mengirim surat permintaan maaf yang mulia,"
"Semoga Khotimah Ikhlas memaafkan saya,"
"Karena kami takut yang mulia, kami hanya menuruti perintah,"
Maaf, yang terucap bukan setulusnya ditujukan pada Khotimah. Sebaliknya, kata maaf itu diperuntukkan bagi diri mereka sendiri, demi keringanan hukuman.
Sayang, Ketua Majelis Hakim, justru menjadikan ruang sidang menjadi tempat nasihat bagi korban untuk memberi maaf dan menghilangkan trauma, melupakan masa lalu. Alangkah pedihnya, ruang untuk mendapatkan keadilan justru menjadi ajang pemaafan bukan memulihkan rasa keadilan korban, jaminan ketidakberulangan dengan memberi efek jera pada pelaku. Demikianlah, ruang kekuasaan bukan hanya di ranah privat, pun ia muncul dalam ruang publik yang katanya sakral bagi para pencari keadilan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, setiap manusia memiliki rasa takut. Takut akan masa depan, takut akan PHK dan tidak mendapat penghasilan, takut digusur, takut dimarahi dan banyak lagi rasa takut dalam diri setiap manusia. Namun, kita tidak boleh menghamba pada rasa takut hingga menjadi monster yang siap melahap sesama manusia yang menurut kita lebih lemah.
Dari seorang Khotimah, kita belajar rasa takut memberi pijakan untuk lebih berani menjalani masa depan. Salah satunya, menuntut rasa keadilan.