Konten dari Pengguna

Pernikahan di Usia Muda: Hak Individu atau Masalah Sosial?

DIANA ANGGRAENI
Mahasiswa S-1 Pendidikan Matematika FKIP Universitas Jember NIM: 230210101112
28 November 2024 17:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DIANA ANGGRAENI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah pernahkah kalian mendapat undangan pernikahan dari teman sekolah yang masih muda, bahkan dibawah 19 tahun? Tidak ada yang benar-benar siap dengan momen ketika kita menerima undangan pernikahan dari teman sebaya yang masih muda. Saat teman seumuran memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan, perasaan yang muncul sering kali campur aduk, antara bahagia untuk mereka, takjub atas keberanian mereka, dan sedikit terkejut karena mungkin kita merasa perjalanan hidup masih panjang.
ADVERTISEMENT
Dalam usia yang relatif muda, pernikahan sering kali dipandang sebagai langkah besar yang memerlukan kematangan emosional dan kesiapan hidup. Maka, ketika hal ini terjadi di lingkaran teman sebaya, wajar saja jika muncul berbagai pertanyaan dan refleksi tentang bagaimana perjalanan hidup kita sendiri.
Pernikahan di usia muda bisa menjadi keputusan yang luar biasa, tetapi juga penuh tantangan. Lalu, bagaimana perasaan kita saat menerima kabar bahagia tersebut? Apa yang membuat momen ini terasa begitu mengejutkan dan bingung?
Dokumen Asli: Undangan Pernikahan dari Teman Sebaya yang Usianya Masih di Bawah 19 Tahun.
Pada bulan Mei tahun 2023, selembar undangan tergeletak di depan rumah yang bertuliskan agenda pernikahan dari kedua mempelai yang keduanya masih dibawah umur. Menerima undangan pernikahan dari teman sebaya selalu menjadi momen yang menarik, tetapi bagaimana jika teman tersebut masih di bawah umur? Reaksi kaget tak terelakkan, diiringi dengan beragam pertanyaan tentang alasan, kesiapan, hingga dampaknya di masa depan. Menghindari zina menjadi salah satu alasan mereka ketika ditanya mengapa akhirnya memilih untuk menikah diusia muda.
ADVERTISEMENT

Berbagai Sudut Pandang Pernikahan di Usia Muda dalam Kewarganegaraan

Pernikahan di usia muda telah menjadi topik yang menarik perhatian berbagai pihak, terutama di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya menyangkut keputusan pribadi tetapi juga menyentuh aspek hukum, sosial, dan tanggung jawab sebagai warga negara. Dalam konteks kewarganegaraan, pernikahan di usia muda memiliki makna yang luas dan perlu dipahami dari berbagai sudut pandang, yaitu seperti berikut ini:

1. Aspek Hukum

Sebagai negara yang berlandaskan hukum, Indonesia telah menetapkan batas usia minimal untuk menikah melalui UU No. 16 Tahun 2019. Undang-undang ini mengatur bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Ketentuan ini bertujuan melindungi hak anak, mencegah eksploitasi, serta kesiapan fisik dan mental calon pasangan.
ADVERTISEMENT
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa praktik pernikahan dini masih terjadi, terutama di daerah dengan tingkat pendidikan rendah dan tekanan ekonomi. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memastikan bahwa hukum yang berlaku ditaati sebagai bagian dari upaya melindungi hak setiap warga negara.

2. Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Anak

Dalam perspektif kewarganegaraan, pernikahan dini juga erat kaitannya dengan perlindungan hak asasi manusia, terutama hak anak. Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak memiliki kewajiban untuk memastikan setiap anak mendapat perlindungan dari praktik yang dapat membahayakan masa depan mereka.
Anak-anak yang menikah di usia muda sering kali kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga berdampak pada kemampuan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan bangsa. Dengan berakhirnya pernikahan, mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk mengembangkan potensi diri dan berkontribusi sebagai warga negara yang produktif.
ADVERTISEMENT

3. Tanggung Jawab Sosial sebagai Warga Negara

Sebagai warga negara, setiap individu memiliki tanggung jawab sosial untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Pernikahan di usia muda sering kali membawa dampak negatif, seperti putus sekolah, ketidakstabilan ekonomi, dan risiko kesehatan bagi ibu dan anak. Kondisi ini dapat menghambat upaya kolektif untuk membangun masyarakat yang maju dan sejahtera. Dengan memahami dampak sosial ini, warga negara diharapkan dapat berperan aktif dalam menyebarkan kesadaran tentang pentingnya pernikahan hingga usia yang lebih matang. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-5, yang menekan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dokumen asli: Seserahan dari Mempelai Pria yang diberikan kepada Mempelai Wanita.

Akibat yang Umumnya Timbul pada Pernikahan di Usia Muda

Dalam masyarakat, pernikahan di bawah umur kerap menjadi topik kontroversial, karena terkait dengan isu hukum, pendidikan, dan kematangan emosional. Keputusan besar ini tidak hanya berdampak pada pasangan itu sendiri, tetapi juga pada keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Berikut adalah beberapa akibat yang umumnya timbul dari pernikahan di usia muda:
ADVERTISEMENT

1. Kesiapan Emosional yang Belum Matang

Pasangan yang menikah di usia muda sering kali belum memiliki kematangan emosional yang cukup untuk menghadapi dinamika rumah tangga. Konflik dalam hubungan dapat menjadi lebih sulit diatasi karena kurangnya pengalaman hidup dan keterampilan komunikasi yang baik. Hal ini berpotensi memicu ketegangan yang berujung pada perceraian atau hubungan yang tidak sehat.

2. Gangguan pada Pendidikan

Bagi mereka yang masih berada di usia sekolah, menikah sering kali berarti harus meninggalkan pendidikan formal. Hal ini dapat membatasi peluang mereka untuk berkembang secara akademis dan profesional, yang pada gilirannya memengaruhi kemampuan mereka untuk memperoleh penghasilan yang stabil di masa depan.

3. Beban Finansial

Usia muda biasanya belum menjadi waktu yang ideal untuk memiliki kestabilan finansial. Pasangan yang menikah muda cenderung menghadapi kesulitan ekonomi, terutama jika keduanya belum memiliki pekerjaan yang mapan. Beban ini bisa semakin berat jika mereka segera memiliki anak, yang membutuhkan dukungan finansial yang lebih besar.
ADVERTISEMENT

4. Stigma dan Tekanan Sosial

Di beberapa masyarakat, pernikahan muda mungkin dianggap normal, tetapi di tempat lain bisa menjadi bahan stigma. Pasangan yang menikah muda sering kali menghadapi tekanan sosial dari lingkungan yang mempertanyakan keputusan mereka.

5. Kehilangan Kebebasan Masa Muda

Masa muda adalah waktu untuk belajar, menjelajahi dunia, dan membangun mimpi. Namun, menikah di usia muda sering kali membatasi kebebasan ini karena harus fokus pada tanggung jawab rumah tangga. Banyak anak muda yang akhirnya merasa kehilangan waktu untuk menikmati masa mudanya.

6. Resiko Kesehatan Reproduksi

Bagi perempuan, pernikahan di usia dini sering kali membawa risiko kesehatan, terutama jika kehamilan terjadi segera setelah menikah. Tubuh yang belum sepenuhnya berkembang untuk proses kehamilan dan persalinan dapat meningkatkan risiko komplikasi medis, baik bagi ibu maupun bayi.
ADVERTISEMENT

Solusi

1. Penguatan Kebijakan Hukum dan Penegakan Undang-Undang

- Implementasi UU Perkawinan dengan Tegas:
Pemerintah perlu memastikan penerapan UU No. 16 Tahun 2019 tentang batas usia minimal pernikahan. Aparat hukum, kepala desa, dan tokoh masyarakat perlu diberdayakan untuk menolak pengajuan dispensasi yang tidak memenuhi syarat sah.
- Peningkatan Pengawasan di Daerah Rawan Pernikahan Dini:
Membentuk satuan tugas (satgas) perlindungan anak di setiap daerah untuk memantau dan mencegah pernikahan dini, khususnya di wilayah dengan angka kejadian tinggi.
- Sanksi Administratif:
Memberikan sanksi kepada pihak yang memfasilitasi atau menikahkan anak di bawah umur tanpa izin resmi sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap anak.

2. Peningkatan Pendidikan dan Kesadaran Warga Negara

- Pendidikan Kewarganegaraan yang Terintegrasi:
Menjadikan isu pernikahan dini sebagai bagian dari kurikulum mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah. Anak-anak harus diajarkan tentang hak asasi manusia, tanggung jawab sosial, dan dampak pernikahan dini terhadap kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
- Program Literasi Keluarga:
Memberikan pelatihan kepada orang tua tentang pentingnya menunda pernikahan anak, kesehatan reproduksi, dan pentingnya pendidikan anak. Pesan harus menonjolkan nilai-nilai Pancasila, terutama keadilan sosial dan perlindungan anak.
- Beasiswa dan Dukungan Pendidikan:
Memberikan beasiswa kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mencegah mereka putus sekolah agar dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka dan mengurangi tekanan ekonomi yang sering menjadi alasan pernikahan dini.

3. Dukungan Psikososial kepada Anak dan Remaja

- Pusat Konseling Remaja:
Membentuk pusat konseling di sekolah dan komunitas untuk memberikan bimbingan tentang karier, hubungan, dan kesehatan reproduksi.
- Pelatihan Kepemimpinan Remaja:
Mengembangkan program kepemimpinan untuk remaja agar mereka dapat menjadi agen perubahan di komunitasnya, termasuk dalam mencegah pernikahan dini.

Kesimpulan

Pernikahan di usia muda bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga masalah yang berkaitan dengan kewarganegaraan. Sebagai bagian dari masyarakat, kita memiliki peran untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, hukum yang berlaku, dan prinsip keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Kebijakan untuk mengatasi pernikahan dini harus didasarkan pada prinsip kewarganegaraan, yaitu melindungi hak anak, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mewujudkan keadilan sosial. Melalui langkah-langkah terintegrasi yang melibatkan berbagai pihak, Indonesia dapat mengurangi angka pernikahan dini dan memastikan masa depan generasi mudanya lebih cerah.
Langkah-langkah ini tidak hanya mencegah pernikahan dini tetapi juga menciptakan warga negara yang sadar akan hak dan tanggung jawab mereka untuk membangun masyarakat yang lebih baik.