Konten dari Pengguna

Politisi Artis: Antara Kompetensi atau Sensasi

Diana Ayu Kuatmi
Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
9 Oktober 2024 15:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diana Ayu Kuatmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source : Canva Diana Ayu
zoom-in-whitePerbesar
source : Canva Diana Ayu
ADVERTISEMENT
Pelantikan sejumlah artis sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029 menuai polemik. Banyak yang menilai mereka terjun ke politik secara instan tanpa pemahaman mendalam tentang politik dan kebijakan publik, sehingga diragukan apakah popularitas cukup untuk mewakili rakyat secara efektif. Hal ini kemudian memunculkan beberapa pertanyaan: Apakah popularitas cukup untuk mengemban tugas sebagai wakil rakyat? Sejauh mana kompetensi penting dalam dunia politik?
ADVERTISEMENT
Pergeseran Fungsi Parlemen Dari Kompetensi ke Popularitas
Data menunjukkan bahwa jumlah artis di DPR RI meningkat dari 14 orang pada 2019-2024 menjadi 23 orang pada 2024-2029. Angka ini menunjukkan tren peningkatan jumlah artis di lembaga legislatif dibandingkan periode sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan perubahan signifikan dalam keterlibatan tokoh publik dari dunia hiburan ke dunia politik, sehingga menimbulkan pertanyaan: Apa motivasi dibalik itu?
Parlemen sebagai lembaga legislatif di negara demokrasi memiliki fungsi penting dalam mengawasi pemerintahan dan membentuk undang-undang yang berpihak pada kepentingan rakyat. Idealnya, posisi anggota parlemen diisi oleh individu yang kompeten, memiliki pemahaman mendalam tentang politik, dan mampu menyusun serta mengimplementasikan kebijakan yang efektif. Namun, dengan semakin banyaknya artis yang terpilih, muncul kekhawatiran bahwa kualifikasi dan kompetensi politik terpinggirkan oleh popularitas. Andrew Heywood, seorang akademisi asal Inggris, dalam bukunya Politics (2013) menekankan bahwa "Demokrasi hanya akan efektif jika warga negara yang berpartisipasi, dan para pemimpin yang dipilih, memiliki kompetensi dan akuntabilitas." Ini berarti, tanpa pemimpin yang kompeten, demokrasi berisiko menjadi alat populis.
ADVERTISEMENT
Sering kali, selebritas direkrut tanpa melalui proses kaderisasi partai yang panjang, berbeda dengan tokoh-tokoh politik yang muncul dari penggemblengan internal partai. Proses kaderisasi partai biasanya melibatkan pelatihan kemampuan politik, pemahaman tentang isu-isu nasional, serta keterlibatan aktif di tingkat akar rumput. Kader yang dihasilkan dari proses ini diharapkan memahami tantangan politik dan pemerintahan secara mendalam serta mampu memperjuangkan kepentingan rakyat dengan lebih efektif.
Sebaliknya, selebritas yang masuk ke dunia politik sering kali melompat langsung ke posisi strategis tanpa menjalani proses kaderisasi, menimbulkan kekhawatiran apakah mereka memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup untuk menjalankan peran sebagai wakil rakyat. Popularitas mereka bisa dengan mudah menggeser calon yang lebih kompeten melalui faktor seperti tingkat pengenalan di kalangan masyarakat. Banyak pemilih merasa dekat secara emosional dengan artis karena sering melihat mereka di media, menciptakan ilusi bahwa artis tersebut memahami aspirasi mereka, meskipun kedekatan ini hanya sebatas layar kaca.
ADVERTISEMENT
Selain itu, artis memiliki akses lebih besar ke sumber daya kampanye, seperti jaringan industri hiburan, penggemar, dan koneksi media untuk mempromosikan diri. Dengan faktor-faktor tersebut, artis dapat meraih banyak suara pada pemilu legislatif. Namun, hal ini tidak menjamin mereka memiliki kompetensi yang diperlukan untuk memahami dan menangani masalah-masalah mendasar yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, hal ini bisa berdampak negatif pada kualitas kebijakan yang dihasilkan, mengingat peran legislatif sangat penting dalam pembentukan undang-undang dan pengawasan pemerintahan. Dampak jangka panjang yang dikhawatirkan adalah berkurangnya kesempatan bagi individu yang lebih kompeten untuk muncul karena kalah oleh popularitas.
Dampaknya Terhadap Masyarakat dan Demokrasi
Artis yang dilantik secara instan menjadi anggota legislatif kemungkinan besar tidak memiliki latar belakang atau pemahaman mendalam tentang politik, hukum, dan kebijakan publik. Akibatnya, kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan mungkin tidak mampu menyelesaikan permasalahan masyarakat. Kurangnya pemahaman tentang politik dan hukum dapat menyebabkan kebijakan yang tidak efektif atau berpotensi merugikan rakyat. Tanpa wawasan mendalam mengenai dinamika politik, pembuat kebijakan bisa salah dalam membaca kebutuhan dan tuntutan masyarakat, yang akhirnya menghasilkan kebijakan yang tidak relevan secara sosial, ekonomi, atau budaya, serta sulit diimplementasikan atau justru menimbulkan resistensi dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kurangnya pemahaman politik juga sering terkait dengan lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas dalam pemerintahan yang dapat membuka peluang bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini jelas merugikan rakyat, karena sumber daya negara tidak dikelola secara efisien dan tidak diarahkan untuk kepentingan publik.
Ketika publik melihat bahwa individu yang kurang kompeten duduk di lembaga tinggi negara, hal ini dapat memicu kekecewaan dan krisis kepercayaan terhadap sistem politik demokrasi. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan apatisme di kalangan masyarakat terhadap proses demokrasi. Masyarakat mungkin berpikir, "Untuk apa memilih?" jika pada akhirnya mereka yang duduk di kursi kekuasaan tidak memiliki kapabilitas yang memadai untuk menjalankan amanah rakyat. Ini adalah salah satu fenomena yang paling mengkhawatirkan dalam demokrasi modern, yaitu ketika individu terpilih bukan karena kompetensi, rekam jejak, atau kualitas, tetapi karena popularitas dan koneksi politik. Dalam situasi seperti ini, kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi mulai terkikis, partisipasi politik menurun, dan masyarakat menjadi apatis karena merasa suara mereka tidak akan mengubah keadaan.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Literasi Demokrasi
Dalam demokrasi, masyarakat berperan sebagai pemegang kedaulatan yang memberikan mandat kepada pemimpin atau wakil rakyat untuk mengelola pemerintahan. Pemilu memberi masyarakat kekuasaan untuk memilih pemimpin yang akan mewakili dan menjalankan kebijakan sesuai aspirasi publik. Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat, dalam pidatonya di Gettysburg pada tahun 1863, menyatakan bahwa demokrasi adalah "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Lincoln menekankan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat dan pemerintah bekerja untuk kepentingan mereka.
Masyarakat dapat diibaratkan sebagai juri yang menentukan siapa yang layak memegang kekuasaan, berdasarkan penilaian terhadap visi, misi, dan program kerja kandidat. Sebagai juri, pemahaman yang baik tentang praktik demokrasi yang akuntabel sangatlah penting.
Oleh karena itu, masyarakat perlu memilih calon wakil rakyat, baik legislatif maupun eksekutif, yang memiliki visi, misi, dan program kerja yang relevan dan realistis. Rekam jejak yang bersih juga harus menjadi pertimbangan penting, karena hal ini dapat meminimalkan kebijakan yang buruk atau penyalahgunaan kekuasaan. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk melakukan riset mendalam mengenai profil para kandidat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat juga perlu menjadikan diskusi politik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dalam komunitas dan keluarga. Sayangnya, banyak yang masih menganggap diskusi politik terlalu rumit, bahkan bisa merusak hubungan antar-kerabat atau teman. Perlu ada perubahan pemikiran bahwa perbedaan pandangan politik adalah hal yang wajar.
Upaya-upaya ini dapat meningkatkan literasi demokrasi, sehingga masyarakat menjadi lebih selektif dalam memilih. Dengan demikian, kualitas demokrasi akan meningkat, mendorong partai politik untuk tidak lagi mengandalkan pendekatan instan, melainkan fokus pada penyediaan kandidat kompeten dengan program-program yang solutif dan inovatif.