Konten dari Pengguna

Sekolah Kartini: Tempat Meraih Asa bagi Perempuan Pribumi

Diana May Nur Khasanah
Mahasiswi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Semarang
17 Maret 2022 13:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diana May Nur Khasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
 Sekolah Menengah Atas  dan Akademi Kesejahteraan Sosial Ibu Kartini (Van Deventer School). Sumber: Cagar Budaya Kemendikbud.
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah Menengah Atas dan Akademi Kesejahteraan Sosial Ibu Kartini (Van Deventer School). Sumber: Cagar Budaya Kemendikbud.
Raden Ajeng Kartini merupakan pahlawan perempuan yang tangguh dan hebat yang memperjuangkan kesetaraan gender pada masa penjajahan kolonial Hindia-Belanda. Perjuangannya bukan hal kecil untuk perempuan pribumi. Ia berjuang mengangkat derajat perempuan pribumi melalui pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, perempuan pada masa itu dianggap tidak setara dengan laki-laki sehingga tidak memiliki kebebasan seperti yang didapatkan oleh seorang laki-laki terutama dalam hal menempuh pendidikan. Pada masa itu, kaum perempuan yang menempuh pendidikan masih sedikit sekali. Para perempuan dianggap tidak layak mendapatkan pendidikan karena terdapat tradisi budaya yang sudah melekat lama yaitu perempuan hanya bekerja di dalam rumah, di dapur, dan melayani suami dengan baik. Oleh karena itu, perempuan tidak penting mendapatkan sebuah pendidikan.
Berbeda dengan pendidikan saat ini. Saat ini baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan. Dan hal ini tidak terlepas dari perjuangan panjang Raden Ajeng Kartini untuk memberdayakan perempuan dan meningkatkan derajat perempuan.
ADVERTISEMENT
Mari simak perjuangan Raden Ajeng Kartini mengangkat derajat perempuan pribumi hingga peran sahabatnya untuk meneruskan perjuangannya.

Tertindasnya Kaum Perempuan

Foto Raden Ajeng Kartini. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Kartini sangat gigih dan bertekad bulat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan pribumi pada masa kolonial Hindia-Belanda disebabkan oleh diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan serta adanya tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat bahwa perempuan hanya bertugas di dalam rumah tangga.
Diskriminasi gender pada masa itu adalah kaum laki-laki lebih memiliki kedudukan lebih tinggi serta memiliki kebebasan. Kaum laki-laki lebih dominan daripada perempuan dalam hal berpendapat dan bersekolah. Sedangkan, kaum perempuan pendapatnya saja dianggap angin lalu pada masa itu apalagi hal yang lebih krusial seperti pendidikan. Menjadi seorang perempuan seperti tidak ada nilainya karena derajat mereka dipandang sebelah mata. Mirisnya keadaan perempuan ini menyentuh hati nurani Kartini untuk mengubah kehidupan kaum perempuan di bumi pertiwi.
ADVERTISEMENT

Perjuangan Emas Kartini

Untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengangkat derajat perempuan, Kartini mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kartini didukung oleh ayahnya, suaminya, dan sahabatnya yang bernama Abendanon serta Stella Zehandenlaar.
Mengutip penelitian Ira Pramuda Wardhani dan Eni Estiana dalam jurnal yang berjudul “Perjuangan dan Pemikiran R.A. Kartini tentang Pendidikan Perempuan” adanya politik etis menjadi sarana Kartini untuk mengobarkan cita-cita dan menggantung asanya setinggi langit untuk perempuan pribumi. Pada Juni 1903 Kartini membuka sekolah perempuan untuk pertama kalinya di Jepara. Kurikulum pada sekolah tersebut berbeda dengan kebanyakan kurikulum yang terdapat di sekolahh Belanda karena kurikulum ini merupakan kurikulum gagasan Kartini sendiri. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga mengajarkan keterampilan lain seperti memasak dan keterampilan yang identik dengan perempuan.
ADVERTISEMENT

Abendanon dan Van Deventer Penerus Perjuangan Kartini

Kartini yang wafat pada tahun 1904 tidak menurunkan semangat bagi orang-orang yang berkenalan baik dengannya untuk meneruskan perjuangan dan cita-cita Kartini. Salah satunya adalah sahabat Kartini yang bernama Abendanon. Ia sering melakukan surat-menyurat bersama Kartini. Setelah Kartini wafat, ia menerbitkan buku yang berisi surat-surat yang dikirimkan oleh Kartini kepadanya yang berjudul Door Duisternist Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku tersebut sangat booming di Belanda dan mampu menarik simpati Ratu Belanda sehingga memerintahkan Abendanon untuk membuka yayasan khusus untuk memperhatikan pendidikan perempuan pribumi.
Pada 22 Agustus 1912 Abendanon dan Deventer resmi membuka Kartini Vereeniging atau Yayasan Kartini. Yayasan Kartini pertama kali membuka sekolah pada 1913 di Semarang yang dinamakan “Sekolah Kartini”. Sekolah tersebut khusus untuk perempuan pribumi menuntut ilmu. Kemudian, pada 1917 berdirilah “Sekolah Van Deventer”. Sekolah tersebut didirikan untuk menghargai dan memberi penghormatan kepada Deventer selaku pimpinan Yayasan Kartini yang meninggal pada 1915. Sekolah tersebut merupakan sekolah khusus perempuan untuk mereka yang ingin berprofesi menjadi guru. Namun, sekolah tersebut lebih memprioritaskan mantan lulusan dari Sekolah Kartini.
ADVERTISEMENT