Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Perenungan Kembali Food Estate: Pendekatan Ekosistem Lahan Gambut Berkelanjutan
23 September 2024 8:12 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dian Charity Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di jantung Kalimantan, eksperimen dalam rangka meningkatkan produksi komoditas pangan dalam skala besar yang dikenal dengan food estate terus berlangsung. Proyek pertanian yang dilakukan dengan pembuatan kanal dan saluran irigasi dan pembukaan lahan skala luas untuk cetak sawah. Lahan garapan pun diintervensi melalui penyesuian pH tanah, pemupukan, dan ameliorasi untuk budidaya tanaman pangan semusim secara monokultur seperti padi, singkong dan jagung. Lanskap garapan yang terbentang disekitar hutan gambut menyebabkan tingginya hama dan penyakit tanaman. Biaya pemeliharaan pun semakin meningkat, namun tidak diiringi dengan peningkatan produksinya. Pada tahap pemasaran, harga jual komoditas cenderung turun pada masa panen. Secara keseluruhan, biaya modal untuk mencetak lahan gambut menjadi lahan pertanian dibandingkan dengan hasil produksi yang diharapkan tidak menguntungkan dan tidak layak diusahakan
ADVERTISEMENT
Mengeringkan lahan gambut ibarat mencabut sumbat bak mandi - semua air mengalir keluar. Ini menyebabkan berbagai masalah:
1. Kerusakan lingkungan: tahan gambut kering rentan terhadap kebakaran, melepaskan karbon tersimpan ke atmosfer.
2. Banjir: tanpa kapasitas penyimpanan air alaminya, daerah sekitarnya menjadi rentan terhadap banjir.
3. Biaya pemeliharaan tinggi: tanah lahan gambut secara alami bersifat asam dan miskin nutrisi, membutuhkan intervensi konstan untuk membuatnya cocok untuk tanaman.
4. Konflik sosial: di beberapa daerah, akuisisi lahan untuk proyek-proyek ini telah menimbulkan perselisihan dengan masyarakat setempat.
Akibatnya, apa yang tampak sebagai solusi untuk ketahanan pangan berubah menjadi tantangan ekonomi dan ekologis.
Teka-teki Lahan Gambut
Bayangkan sebuah lanskap luas yang tampaknya datar namun sebenarnya merupakan spons kompleks yang dipenuhi air. Itulah gambaran ekosistem lahan gambut. Area ini, yang terbentuk selama ribuan tahun, memainkan peran penting dalam lingkungan kita. Mereka menyimpan karbon dalam jumlah besar, mencegah banjir, dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati yang unik. Namun, mereka juga merupakan medan yang menantang untuk pertanian.
ADVERTISEMENT
Fungsi ‘spons” ini akan berkurang ketika dibangun kanal primer, sekunder, dan tersier tanpa memperhatikan relief gambut di dalamnya. Saluran air tersebut menjadi “jalan” keluar air dari penyimpannya yaitu kubah gambut dan gambut dalam. Kondisi ini mengakibatkan gambut tidak dapat menyerap air pada musim penghujan, sehingga timbul banjir pada daerah yang lebih rendah. Gambut akan menjadi kering pada musim kemarau dan ketika kemarau panjang, gambut dapat dengan mudahnya terbakar. Oleh karena itu, pembangunan kanal atau saluran air buatan yang terbentang antar tipologi lahan gambut perlu untuk diminimalisir untuk mencegah kerusakan dan bencana lingkungan.
Pendekatan food estate saat ini mengandalkan apa yang oleh para ekonom disebut "skala ekonomi" (economies of scale). Dalam istilah sederhana, ini adalah filosofi "semakin besar semakin baik". Area lahan gambut yang luas dikeringkan dan diubah menjadi lahan pertanian, terutama untuk tanaman pokok seperti padi, singkong, dan jagung. Meskipun ini mungkin terdengar efisien, namun ternyata menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi.
ADVERTISEMENT
Alternatif Berbasis Masyarakat
Namun masih ada harapan. Penelitian di ekosistem gambut Belayan Kutai Kartanegara, yang belum pernah dilakukan program food estate sebelumnya, mengungkapkan pendekatan berbeda yang telah bekerja dengan tenang selama beberapa generasi. Masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang tepi sungai dan danau telah mengembangkan mata pencaharian penghasil komoditas pangan yang beragam.
Kegiatan-kegiatan ini meliputi:
ADVERTISEMENT
Berdasarkan perhitungan dari kombinasi diversifikasi matapencaharian dalam jangka pendek dan menengah seperti mata pencaharian mencari ikan, membuat ikan asin, memetik kratom, dan memelihara walet, dapat terlihat bahwa cakupan ekonominya mencapai 128%. Dengan demikian terbukti bahwa skala produksi komoditas pangan dapat ditingkatkan pada level rumah tangga melalui diversifikasi mata pencaharian. Portfolio kegiatan yang beragam ini, yang dalam istilah ekonomi dikenal sebagai "cakupan ekonomi" (economies of scope), memiliki beberapa keuntungan:
ADVERTISEMENT
1. Keberlanjutan: Bekerja dengan ekosistem alami, bukan melawannya.
2. Ketahanan: Sumber pendapatan yang beragam memberikan jaring pengaman bagi keluarga.
3. Pelestarian budaya: Pengetahuan dan praktik tradisional tetap terjaga.
4. Manfaat ekologis: Kegiatan seperti pemanenan kratom dan peternakan walet mendorong konservasi hutan.
Meningkatkan Skala Keberlanjutan
Tantangan sekarang adalah bagaimana agar mata pencaharian masyarakat tersebut dapat berkelanjutan. Keberlanjutan mata pencaharian masyarakat penghasil pangan tersebut dapat ditingkatkan melalui faktor daya ungkit pada aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Faktor daya ungkit untuk tiap wilayah tentu beragam.
Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah pembentukan lembaga kemasyarakatan seperti koperasi serba usaha. Organisasi-organisasi ini dapat menyediakan apa yang paling dibutuhkan oleh petani individu: akses ke modal, benih berkualitas, peralatan, dukungan pemasaran, dan dukungan pelatihan keahlian.
ADVERTISEMENT
Pembelajaran dari salah satu desa, terdapat koperasi kelapa sawit yang berhasil menarik lebih banyak anggota masyarakat untuk turut mengusahakan kelapa sawit. Koperasi ini mmampu memenuhi kebutuhan masyarakat, yaitu kepastian dalam berusaha. Model ini bisa diperluas untuk mendukung berbagai mata pencaharian lokal, menciptakan sistem pangan yang kuat dan berpusat pada masyarakat.
Masa Depan Food Estate
Sementara Indonesia terus mengejar ketahanan pangan, pelajaran dari lahan gambut Kalimantan menawarkan alternatif yang berharga. Dengan merangkul keragaman ekosistem lokal dan praktik tradisional, dimungkinkan untuk menciptakan sistem produksi pangan yang tidak hanya produktif tetapi juga berkelanjutan dan tangguh.
Jalan ke depan bukan tentang memilih antara produksi skala besar dan pertanian skala kecil. Sebaliknya, ini tentang menemukan solusi cerdas dan adaptif yang bekerja dengan alam, bukan melawannya. Saat kita menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, pendekatan inovatif terhadap pertanian seperti ini bisa menjadi model bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia.
ADVERTISEMENT