Perlukah Definisi Hukum Siaran 'Live' Streaming Disamakan dengan Siaran Televisi

Diani Citra PhD
Dr. Citra obtained her Ph.D. at Columbia Journalism School. Through her company SINTESA, she research and consults on matters related telecommunication and digital industry in Indonesia. She lives in New York with her husband and a dog.
Konten dari Pengguna
10 September 2020 9:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diani Citra PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi streaming. pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi streaming. pixabay.com
ADVERTISEMENT
Tanggal 27 Agustus lalu saya dibangunkan oleh sederetan pesan online dari rekan-rekan di Indonesia mengenai permohonan uji materi yang diajukan RCTI dan INews terhadap Undang Undang Penyiaran. Substansi permohonan tersebut jelas, mereka ingin agar status siaran “Live” streaming disamakan dengan siaran televisi Free-to-Air (FTA).
ADVERTISEMENT
Masyarakat langsung bereaksi keras. Pasalnya, jika permohonan tersebut dikabulkan, industri konten via internet, terutama oleh individu dan perusahaan kecil-menengah bisa terjegal masalah hukum bila dianggap “bersiaran” tanpa izin.
Perwakilan RCTI dan INews menyatakan bahwa tujuan uji materi ini adalah demi kesetaraan hak dan kewajiban sebagai sesama lembaga penyiaran.
Namun asumsi tersebut perlu ditelaah. Apakah benar secara teori, teknis, dan sosial politik, siaran melalui media sosial memang memiliki preseden untuk disamakan dengan siaran FTA.

Perbedaan Penting antara Penyiaran FTA dengan Internet

Faktor teknis utama yang membedakan hak dan kewajiban FTA dengan siaran lewat internet adalah karakteristik dan “lokasi” pita frekuensi radio yang digunakan untuk bersiaran.
Kanal FTA yang terletak di antara 52 dan 600 MHz dalam pita VHF dan UHF ini sering kali disebut sebagai “kavling cantik” frekuensi radio. Frekuensi FTA memiliki karakteristik teknis intrinsik yang memudahkan transmisi siaran nasional secara luas, massal, dan murah. Transmisi bisa diterima oleh pemirsa hanya dengan kepemilikan pesawat televisi dan antena. Oleh karena itu, kanal frekuensi FTA dianggap sebagai alat demokrasi yang sangat penting karena menjamin kemampuan masyarakat dari berbagai kelas untuk bisa menikmati siaran televisi. Siaran FTA tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial politik dalam bernegara.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, frekuensi FTA ini sangat langka. Satu kanal sebenarnya hanya boleh digunakan oleh satu channel. Kanal yang bertetangga dengan channel tersebut harus dikosongkan demi menghindari gangguan transmisi. Karena kelangkaan ini pula, idealnya, izin siaran FTA hanya diberikan oleh negara kepada 5-8 stasiun dalam satu wilayah siaran.
Kewajiban sebuah stasiun FTA diatur dengan sangat ketat karena pada dasarnya negara wajib memberikan intervensi hukum demi menjamin agar siaran sebuah stasiun tidak menderita gangguan transmisi dari channel “liar.” Kalau tiba-tiba besok ada sebuah channel yang bersiaran di kanal RCTI, negara wajib turun tangan untuk mematikan siaran liar tersebut dan diproses secara hukum. Pada prinsipnya izin siaran FTA adalah privilege yang diberikan oleh negara kepada segelintir perusahaan agar bisa dengan nyaman berbisnis FTA.
ADVERTISEMENT
Faktor inilah yang menyebabkan FTA tidak mungkin disamakan dengan internet, di mana kemampuan sebuah channel untuk bersiaran tidak serta merta mengurangi akses siaran channel lain. Lewat internet, ketika Rafi Ahmad “bersiaran”, Ria Ricis tetap bisa “bersiaran”pada saat yang bersamaan. Otonomi diberikan sepenuhnya kepada pemirsa untuk memilih channel yang mereka ingin tonton. Publik Indonesia tidak menderita keterbatasan akses tontonan dan informasi yang memerlukan intervensi negara.
com-Ilustrasi streaming film dan series favorit Foto: Shutterstock

Dampak Buruk Penyamarataan Definisi Bersiaran

Pemohon uji materi ini perlu mengingat bahwa sejak awal revisi UU Penyiaran bertujuan untuk mengakomodasi migrasi penyiaran digital dan konvergensi media, bukan untuk memperlebar definisi penyiaran FTA ke ranah internet. UU Penyiaran perlu direvisi karena versi yang ada saat ini tidak mengizinkan pemerintah untuk mengganti mekanisme pengadaan infrastruktur penyiaran dari analog ke digital. Jika siaran analog dimatikan, “kavling cantik” frekuensi radio ini bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk penyiaran FTA, tetapi juga menyediakan akses internet selular yang cepat dan murah bagi masyarakat. Sayangnya, permohonan uji materi ini justru berpotensi menunda proses migrasi lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Kalau permohonan uji materi ini sampai dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, perkembangan industri kreatif dan informasi indonesia bisa terhambat. Pasalnya, kewajiban untuk mengurus izin siaran bisa menjadi faktor peredam aspirasi anak muda Indonesia untuk berkreasi.
Belum lagi jika kita melihat bagaimana UU ITE kerap disalahgunakan sebagai pasal karet untuk mengkriminalisasi berbagai aktivitas online. Bukan tidak mungkin perluasan definisi penyiaran ini bisa berdampak pada kriminalisasi kreasi positif masyarakat, hanya karena tidak memiliki “surat izin.”
Kita semua tahu bahwa kebebasan berekspresi berpotensi mendorong inovasi dalam berkarya. Di saat seluruh dunia sedang berlomba-lomba untuk bersaing dalam persaingan pasar digital yang semakin ketat, Indonesia justru seperti mundur sebelum bertempur. Masih banyak isu penyiaran dan telekomunikasi lain yang jauh lebih penting untuk diselesaikan daripada melebarkan definisi aktivitas penyiaran.
ADVERTISEMENT
UU Penyiaran perlu diperbaiki agar perangkat hukum Indonesia tidak hanya mendorong Indonesia menjadi negara produsen konten global, tapi juga melindungi hak pemirsa sebagai konsumen. Sebagai contoh, Indonesia memerlukan UU yang akan memastikan agar platform global seperti YouTube atau Google membayar pajak penghasilan dengan sebenar-benarnya kepada negara. Regulasi juga diperlukan agar hak cipta konten online terlindungi demi menjamin insentif berkarya bagi para kreator.
Jika terdapat konten yang berbahaya bagi masyarakat, maka negara perlu mengatur mekanisme hukum yang bisa memaksa platform global untuk memberikan pertanggungjawaban, baik itu berupa denda, take-down dan/atau suspensi channel. Di Jerman, undang-Undang NetzDG mewajibkan agar platform global menghapus konten berbahaya dalam waktu 48 jam. Jika tidak, mereka dapat dikenakan denda jutaan dolar.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia juga perlu mengetahui bahwa tidak ada negara maju lainnya yang menyetarakan kewajiban perizinan lembaga penyiaran FTA dengan penyelenggara konten internet, bahkan di negara-negara konservatif sekalipun.
Sebagai contoh, di Saudi Arabia, konten streaming internet memang tetap perlu mengacu pada kaidah kesopanan Islam, namun kewajiban tersebut tidak dicerminkan dalam penyamaan perizinan lembaga penyiaran FTA dengan internet. Saudi Arabia, sebagaimana dengan Amerika Serikat atau Jepang membedakan kewajiban perizinan layanan satelit, kabel, IPTV, FTA, radio, serta belasan kategori lainnya. Perbedaan perizinan ini justru semakin dikukuhkan dalam regulasi mereka dengan semakin meluasnya akses internet di masyarakat serta lahirnya beragam bentuk baru konten streaming.
Jika kekhawatiran pemohon uji materi ini adalah moral bangsa, maka contoh-contoh regulasi di berbagai negara lain cukup menunjukkan bahwa kewajiban ekonomi, norma sosial dan adab bersiaran internet tetap bisa diatur oleh negara, namun harus tetap dalam ranah teknis medium itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Tapi, jika kekhawatiran pemohon adalah tergerusnya jumlah pemirsa televisi dan keuntungan FTA oleh tayangan streaming, maka satu-satunya jalan keluar adalah dengan memperbaiki kualitas tayangan FTA agar bisa bersaing dengan tayangan online.
Diani Citra, PhD.
Peneliti Industri Penyiaran dan Telekomunikasi
Founder of Sintesa