Sujiwo Tejo Mendalang Sastro Jendro: Benarkah Kita Manusia Merdeka?

Dian Pramitha Utami
Mahasiswi Semester 3, Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Airlangga.
Konten dari Pengguna
15 Desember 2020 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Pramitha Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sujiwo Tejo, budayawan Jawa.
zoom-in-whitePerbesar
Sujiwo Tejo, budayawan Jawa.
ADVERTISEMENT
Manusia dan kemerdekaan adalah dua hal yang saling bertaut dan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Berabad yang lalu, bangsa kita telah merasakan kesengsaraan fisik dan batin ketika kemerdekaannya sebagai manusia direnggut secara paksa. Jika dulu kemerdekaan adalah sesuatu yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa, tampaknya saat ini makna kemerdekaan hanya sebatas peringatan seremonial yang terkesan dikomersialisasi oleh sebagian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Komersialisasi ini tidak sepenuhnya buruk, karena dari sana bermunculan penjual aksesoris bertema kemerdekaan musiman serta terbangunnya suasana guyub dalam gang-gang perumahan Indonesia yang biasanya sepi dan hambar. Para tua dan muda dari segala kelas sosial berlomba mengisi kemerdekaan dengan caranya masing-masing. Bahkan, para petinggi dari berbagai instansi negara tak henti memberikan tutorial mengisi kemerdekaan dalam pidato upacara bendera. Hal ini menyiratkan bahwa kemerdekaan yang kita miliki selama 75 tahun ini adalah sesuatu yang harus dijaga agar selalu hidup dan tidak melempem. Akan tetapi, komersialisasi kemerdekaan ini juga membawa dampak negatif bagi Indonesia. Masyarakat hanya menganggap kemerdekaan sebagai sebuah simbol kebebasan bangsa Indonesia dari penjajah, bukan merdeka secara lahir dan batin. Dengan kata lain, kemerdekaan yang digaungkan saat ini terkesan sebagai kemerdekaan semu.
ADVERTISEMENT
Kegelisahan inilah yang telah mendorong Sujiwo Tejo untuk menulis buku Talijiwo. Dalam buku ini, Sujiwo Tejo mengajak para pembacanya untuk menggali kembali hakikat kemerdekaan manusia melalui potongan-potongan cerita pendek dengan perspektif seorang budayawan Jawa. Seperti biasanya, Sujiwo Tejo berani mendobrak pakem tentang kemerdekaan melalui alur pemikiran yang nyeleneh, serta tak segan untuk menggunakan bahasa yang vulgar dan nyelekit. Identitas Sujiwo Tejo sebagai seorang budayawan Jawa sangat tampak pada penamaan dua tokoh utama yang muncul di setiap cerita, yaitu Sastro dan Jendro. Meskipun kedua tokoh ini memiliki gender yang berbeda di tiap cerita, namun keduanya selalu berdampingan, baik sebagai teman maupun sebagai pasangan.
Pemilihan nama Sastro dan Jendro dalam buku Talijiwo sangat penting karena gagasan kemerdekaan hasil pemikiran Sujiwo Tejo dilandasi oleh ajaran Jawa dengan nama yang sama. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah ilmu yang mengajarkan manusia untuk lepas dari kekuasaan hawa nafsu. Manusia diajarkan untuk memiliki kemerdekaan dalam maknanya yang sejati. Penamaan kedua tokoh ini didasari oleh logika budayawan milik Sujiwo Tejo, yakni sosok terbaik yang dapat menjelaskan tentang hakikat kemerdekaan adalah ilmu tentang kemerdekaan itu sendiri. Penamaan ini sekali lagi menunjukkan bahwa akar perspektif kebudayaan yang digunakan oleh Sujiwo Tejo telah tertanam dalam setiap kritiknya atas sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal yang menarik untuk disimak dari pemikiran Sujiwo Tejo dalam penuturan kisahnya adalah bagaimana penokohan dan alur cerita itu disampaikan sebagai sebuah konsepsi berfikir yang berdasarkan pada kekayaan pengalaman rasa dari seorang budayawan, yaitu tentang bagaimana ia memahami kemerdekaan yang diartikan sebagai rintik hujan dan selanya. Saat bagi sebagian orang hujan dimaknai sebagai sebuah fenomena alam biasa, namun tidak bagi Sujiwo Tejo. Baginya, berapapun deras hujan yang turun dan sederas apapun air tercurah, ternyata itu hanyalah bagian kecil bila dibandingkan dengan sela atau ruang yang tercipta di antara rintik hujan. Hal ini menandai bahwa makna kemerdekaan yang sesungguhya jauh lebih luas dari apa yang bisa diberikan atau dilakukan seseorang untuk mengisi kemerdekaan. Oleh karenanya, setiap manusia memiliki keharusan untuk mengeksplorasi, menemukan, dan mengenali ruang-ruang kemerdekaan yang ada dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
Kemampuan diri dalam menemukan dan mengenali ruang kemerdekaan bisa menjadi pembeda pada sikap yang dihasilkan dari tiap individu dalam beraktivitas, berfikir, berpendapat, dan bertingkah laku. Banyak ditemui orang-orang yang mengaku memiliki kemerdekaan finansial ternyata terpenjara dalam ruang waktu dan aktivitas yang tiada henti di bawah kekuasaan belenggu keserakahan. Jiwanya tak lagi merdeka. Ia tak lagi memiliki ruang dan waktu untuk menikmati tawa, kebersamaan, dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Di sisi lain, kita juga melihat banyak yang memiliki waktu luang, bisa bersenda gurau, dan bebas berekspresi, namun terpenjara dalam ruang kenyamanan, yang mana hal itu menjauhkannya dari kemerdekaan untuk melakukan banyak hal lainnya.
Bagi sebagian perempuan, kemerdekaan dimaknai sebagai sebuah eksklusifitas yang hanya dapat didapat oleh kalangan tertentu. Di masyarakat yang masih menjalankan budaya patriarki dalam setiap denyut aktivitasnya, perempuan tidak memiliki kemerdekaan hidup. Pemikirannya terbelenggu, pendapatnya dibungkam, dan aktivitasnya dibatasi konstruksi yang dibangun oleh laki-laki. Kondisi ini tidak hanya terjadi di pedesaan saja, namun juga di perkotaan. Banyak perempuan yang tidak dapat atau tidak berani berekspresi karena dapat dianggap sebagai pembangkangan. Mereka berusaha bertahan dalam sebuah rumah tangga demi keutuhan keluarga. Pun masih dijumpai para perempuan yang hanya mengenyam pendidikan dasar, itu pun tidak semuanya mencapai masa wajib belajar 12 tahun. Alasan terbesar adalah adanya belenggu ekonomi dalam konstruksi pemikiran perempuan.
ADVERTISEMENT
Untuk dapat terlepas dari belenggu ekonomi, perempuan biasanya dihadapkan pada dua pilihan yakni menikah atau bekerja di usia dini, yang keduanya mempertaruhkan pendidikan. Mengenyam bangku sekolah hingga tamat maupun akses terhadap pendidikan tinggi hanya dimiliki oleh keluarga yang merdeka secara ekonomi. Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan, karena perempuan seharusnya memiliki kemerdekaan dalam berpikir, berpendapat, dan berperilaku. Namun, kemerdekaan diri perempuan yang dimaksud bukanlah kebebasan liar seperti yang saat ini digembar-gemborkan di media sosial. Memiliki kuasa terhadap tubuh dan pikiran haruslah diimbangi dengan kesadaran diri untuk menjaga nilai diri. Bukan untuk siapapun, melainkan sebagai penghargaan diri. Kampanye “My body is my choice” haruslah sejalan dengan “Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, yang berarti perempuan sebaiknya melandasi setiap tindakannya berdasarkan kearifan budaya Indonesia. Karena sesungguhnya, kemerdekaan justru membangun bukan merusak.
ADVERTISEMENT
Talijiwo karya Sujiwo Tejo sejatinya bukan hanya dimaknai sebagai sebuah karya sastra, namun juga sebagai hasil berfilsafat Sujiwo Tejo dalam merespon fenomena sosial. Untuk itu, Sujiwo Tejo tidak hanya memaparkan permasalahan yang ada, namun juga menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dari kacamata beliau, solusi untuk memerdekakan diri adalah dengan mengetahui cara melepas rantai belenggu yang ada, yakni dengan berani untuk memiliki waktu luang dan mengalokasikannya untuk membangun hubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan self-talk sebagai upaya sinkronisasi citra diri dengan alam semesta, berkumpul bersama keluarga dan teman untuk membangun harmoni dalam kehidupan sosial, serta menyediakan waktu untuk Tuhan. Dengan melakukan hal tersebut, seseorang sudah berhasil mendapatkan kemerdekaan dalam hidup dan waktu.
ADVERTISEMENT
Jadi, mari merenungkan kembali, apakah kamu manusia yang merdeka ataukah masih terjebak dalam konsep kemerdekaan semu?