Alam, Tuhan, dan Fatalisasi Bencana

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2022 12:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kerusakan yang diakibatkan banjir bandang di Waiwerang, Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (2021). Foto: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Kerusakan yang diakibatkan banjir bandang di Waiwerang, Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (2021). Foto: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah Tuhan merancang satu bencana sehingga manusia memerlukan pertobatan kemudian bencana yang lain tidak terjadi lagi? Apakah Tuhan pencipta alam menghendaki satu petaka untuk membuat makluk ciptaanNya yang tertinggi itu sadar lalu menyandarkan semua alasan bahwa kehendak Tuhanlah solusi untuk segala solusi menanggulangi bencana itu? Bila demikian halnya, apakah Tuhan sudah berlaku begitu kejam karena keputusanNya mengakibatkan kerugian luar biasa besar? Atau kalau tidak, lantas bagaimana?
ADVERTISEMENT
Tapanuli Utara diguncang gempa. Bulan September baru saja berlalu dua setengah jam, tiba-tiba rumah bergoncang keras. Warga berhamburan. Listrik padam. Dan beberapa saat kemudian hujan deras turun. Setelah hari terang, tampaklah dampak guncanagan itu: ratusan rumah rusak, korban nyawa jatuh, puluhan orang terluka, gereja-gereja rusak. Beredar kabar air belerang di Sipoholon, Tarutung, tiba-tiba berhenti mengalir. Namun, ada hal tersisa yang mungeruak begitu rupa: trauma.
Penduduk Tapanuli Utara, terutama Tarutung dan sekitarnya, tahu semata kawasan yang mereka diami adalah jalur gempa “wara-wiri”. Akan tetapi, gempa tidaklah sebatas gempa. Gempa menyimpan memori, menyimpan ingatan. Ingatan itu segera melesat ke masa silam, tahun 1987 dan 2005. Betapa dahsyat kedua gempa itu sehingga hingga semingga pascagempa, warga masih takut tidur di dalam rumah. Mereka memilih menggelar tikar di teras dan menyalakan api. Anak-anak kecil tidur sementara para orangtua dan orang dewasa berjaga sepanjang malam.
ADVERTISEMENT
Melihat ke Jawa
Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk memperbaiki dirinya. Saat itu terjadi, kita melihatnya sebagai bencana. Namun, di sisi lain, alam sedang membantu memperkaya penghuni bumi. Letusan gunung api, misalnya. Nusantara takkan pernah subur tanpa letusan gunung: tanpa Sinabung meletus tahun 800, tidak akan ada Jeruk Medan yang terkenal; Beras Cianjur yang sangat terkenal itu takkan dikenal andai Gunung Gede tidak meletus; pula sayuran bermutu dari Lembang takkan kita temui andai Tangkuban Perahu tidak ada.
Mari kita belajar dari Pulau Jawa dengan limpahan gunung apinya. Luas pulau Jawa hanyalah sepertiga dari Pulau Sumatera sehingga membuat tak ada satu tempat pun di Jawa yang terletak lebih dari 100 kilometer dari laut. Namun, kecilnya pulau itu berbanding terbalik dengan kepadatan penduduknya. Data statistik tahun 2010 menunjukkan Jawa dihuni 136.000.000 orang. Artinya 60 persen penduduk Indonesia (237.000.000 orang tahun 2010) tinggal di Jawa. Apa yang dimiliki pulau ini sehingga membuat pulau-pulau lain menjadi sangat sepi penghuninya?
ADVERTISEMENT
Studi Denys Lombard akan membantu kita menjawab pertanyaan itu. Dibandingkan dengan Sumatera, Jawa secara sepintas tidak ada perbedaan dari segi struktur, relief, dan cuacanya. Namun ada beberapa hal yang membuat dua pulau ini berbeda jauh. Seperti sudah disebutkan di atas, di Jawa tak ada satu tempat pun yang terletak lebih dari 100 kilometer dari laut, sehingga memudahkan penetrasi melalui pantai-pantainya. Kedua pulau ini sama-sama terkenal dengan aktifitas gunung berapinya, namun kerucut gunung di Jawa pada umumnya langsung muncul di atas dataran, tidak di atas landasan tanah yang tinggi dan sulit dicapai. Gunung-gunung api itu tidak membentuk barisan pegunungan yang sambung-menyambung seperti halnya Bukit Barisan di Sumatera. Gunung api yang satu dengan gunung api yang lain dipisahkan oleh lembah-lembah yang luas sehingga menciptakan pintu-pintu masuk yang mempermudah pertukaran dan lebih memungkinkan homogenisasi kebudayaan-kebudayaan. Inilah kemudian yang menjelaskan mengapa tidak memungkinkan membangun jalur kereta api lintas Sumatera, sementara Jawa dari ujung yang satu hingga ujung lainnya dialiri rel kereta api.
ADVERTISEMENT
Kemudian, perbedaan lain yang cukup besar adalah bahwa jumlah gunung api di Jawa lebih banyak dan lebih muda. Jawa yang luasnya hanya seperti Sumatera dihuni 121 gunung api sementara di Sumatera hanya ada 90. Dan sebagian besar gunung api di Jawa masih aktif. Tanah di Sumatera, yang berasal dari letusan-letusan yang lebih awal, sudah tidak subur lagi. Sementara di Jawa, bahan-bahan gunung api yang keluarnya lebih kemudian dan sebagian bersifat zat basa, menghasilkan tanah yang lebih subur; dan karena dataran rendah selalu dekat letaknya, pengaruhnya lebih terasa. Abu gunung yang subur tidak menetap di sekitar kawah tetapi sering terbawa sampai amat jauh. Hal yang perlu diperhatikan kemudian adalah faktor iklim. Curah hujan di Jawa sangat tinggi sehingga beriklim sangat lembab.
ADVERTISEMENT
Ciri-ciri fisik khas itulah yang memungkinkan terjadinya suatu evolusi historis yang sangat berbeda dengan Sumatera. Kerajaan-kerajaan Jawa berhasil memelihara keseimbangan ekologis dengan membangun sawah beririgasi yang sangat sistematis. Sementara sebagian besar tanah di Sumatera rusak akibat perladangan berpindah yang dilakukan kurang tepat waktunya dan dijadikan mangsa imperata (ilalang) yang tidak produktif. Sebaliknya, di Jawa, produksi beras yang teratur memungkinkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang besar.
Fatalisasi bencana
Bencana, bagi sebagian orang, adalah akibat langsung dari perbuatan manusia yang tidak mengindahkan perintah Tuhan. Setiap kali bencana melanda, media sosial bertabur doa permohonan perlindungan dan permohonan ampun. Bencana dipandang sebagai ganjaran Pencipta untuk setiap kelalaian manusia. Kelalaian itu, celakanya, kerap dihubungkan dengan hal-hal yang sesungguhnya satu sama lain tak saling terkait. Sebut saja: adakah hubungan lurus antara sedikitnya umat satu agama tertentu berdoa dengan bencana yang terjadi?
ADVERTISEMENT
Tidak semua bencana, alih-alih mengatakan tak satu pun, terjadi karena kehendak Tuhan. Saya justru berpikir sebaliknya. Saat saya berpikir bahwa bencana-bencana yang menimpa itu tak serta merta karena kehendak Tuhan, justru saya sedang mengagungkan Tuhan pada porsi yang seharusnya. Meski butuh kehati-hatian luar biasa tiba di pendapat itu, kita tentu saja boleh menyingkirkan keyakinan bahwa kita akan dikatakan umat paling beriman saat kita yakin bahwa bencana sangat dibutuhkan untuk menemukan jawaban tertepat atas semua pertanyaan penyebab terjadinya letusan gunung api, misalnya.
Dengan demikian kita tidak terjatuh kepada fatalisasi bencana yang menganggap semua bencana adalah kehendak Tuhan. Yang kerap absen dari fatalisasi bencana ini adalah praktek tersebut justru menghilangkan pertanyaan menelisik akan sumber bencana itu sendiri. Pertobatan ekologis dipahami semata sebatas memanjatkan doa, alih-alih bertanya: siapa yang diuntungkan dari bencana tersebut? Atau: kenapa bencana tersebut bisa terjadi? Adakah, dan oleh siapa, alam dieskploitasi sedemikian rupa sehingga penyanga-penyangga kehidupan menjadi begitu rapuh?
ADVERTISEMENT
Tuhan merancang alam sedemikian rupa sehingga dia mempunyai segalanya untuk bertindak kepada dirinya sendiri sesuai dengan hukumnya sendiri, hukum alam. Tuhan tidak menciptakan bencana. Tuhan menciptakan hukum alam. Dengan demikian, kita menyisakan satu pertanyaan: bagaimana kita menghadapai alam dan hukum alam itu sendiri? Mau tak mau: mempelajari alam dan hukum alam itu sendiri. Dengan begitu kita akan bencana alam sebagai anugerah, bukan malah menghakimi Tuhan sebagai perancang bencana.