Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Babi Panggang, Wisata Halal, dan Kemajemukan
1 September 2021 18:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
BPK itu sudah seperti “merek permanen” untuk setiap daging babi yang dipanggang. Sebegitu menusuknya BPK hingga bila kita di satu rumah makan di satu tempat yang sama sekali bukan orang Karo yang memanggangnya, panggangnya tetap disebut BPK, Babi Panggang Karo. Ini seperti saat kita membeli deterjen: “Ada Rinso?” padahal yang dibeli: Daia.
ADVERTISEMENT
Babi, dan produk turunannya dalam bentuk kuliner—babi panggang, saksang, babi guling—sangat terdiskriminasi. Bila merujuk ke satu program wisata unggulan pemerintah—wisata halal—maka dipastikan Danau Toba yang kecantikannya berlipat-lipat kali dari Bali, takkan pernah menjadi objek wisata halal. Babi pastilah salah satu penyebab utama untuk itu. Begitu juga babi tidak pernah disiarkan di televisi dan media lain sebagai kuliner nikmat. Bukankah ada sesuatu yang salah dengan perlakuan demikian itu?
Objek wisata yang sajian kulinernya terdapat (banyak) babi, entahlah, akan dianggap sebagai satu noda hitam yang harus dibersihkan, dengan demikian menjadi putih, menjadi halal. Bila pun tak dibersihkan paling tidak dihindari.
Kita memiliki beberapa kisah tentang organisasi kemasyarakatan yang ngotot lalu berdemonstrasi meminta rumah makan babi panggang ditutup. Saya terbayang dan sedikit berspekulasi tentang babi dan kekristenan di Tanah Batak. Orang Batak sebelum menjadi Kristen bukanlah penikmat babi. Bahkan, babi jadi perwujudan salah satu dewa yang sangat dihormati. Ketika para misionaris tiba pertama kali lewat Barus lalu naik ke bukit dan menyebarkan agama Kristen, mereka mendapati banyak kaum “berhala” yang berbuat “bidah”. Dengan (perasaan) keunggulan ras, mereka kemudian membuat banyak hal untuk mengkristenkan orang Batak. Selain melarang beberapa praktik kebudayaan Batak, kemungkinan besar mereka menjadikan kuliner (babi) salah satu alat pembantu pengkristenan. Bila pun tidak pengkristenan, babi akan mencegah Islam mendekat ke Tanah Batak dari dua penjuru: dari Aceh dan dari Pantai Timur Sumatra.
ADVERTISEMENT
Tentu saja perkara ini tak sesederhana itu. Para misionaris harus bekerja sama dengan penjajah memudahkan langkah pengkristenan. Orang Batak yang sangat menghormati babi tentu tak semudah membalikkan tangan beralih menjadi penikmat babi. Mereka pastilah protes. Tentulah ada perlawanan. Yang terjadi kemudian adalah kebalikannya: Batak menjadi identik dengan kuliner babi.
Bagaimana dengan wisata halal? Term ini, saya pikir, sudah bermasalah di dalam dirinya sendiri. Bila ada wisata halal demikian juga terdapat wisata haram. Halal untuk siapa dan haram karena apa? Halal dan haram boleh jadi akan membantu kita menjerumuskan kemajemukan kepada ketunggalan. Pengkategorian dan pengkhususan itu, dengan sendirinya, akan mengkategorikan dan mengkhususkan pula wisatawan yang akan berkunjung. Lombok, misalnya, menjadi lokasi wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan “halal”. Lalu, para wisatawan halal ini dengan sendirinya pula tidak akan memilih daerah-daerah tertentu hanya karena tempatnya tidak halal. Apakah pemerintah menginginkan yang seperti ini?
ADVERTISEMENT
Saya memandang sesuatu yang lebih besar sedang terjadi: kita sedang krisis kemajemukan. Hal ini sangat kentara terjadi di berita-berita media massa. Juga di brosur-brosur wisata dan siaran televisi. Guratan tentang kuliner babi sangat jarang, untuk tidak mengatakan tidak pernah, terbaca di sana. Bila Anda berkunjung ke Medan mencari kuliner babi jauh lebih mudah ketimbang menemukan lokasi Ucok Durian, misalnya. Bukankah tidak semua pembaca/pendengar mereka beragama Muslim? Apakah menuliskan dan menyiarkannya sudah termasuk haram?
Pariwisata Danau Toba, yang dalam banyak hal sangat identik dengan ke-Batak-an, berjalan dan dijalankan hampir-hampir seperti autopilot. Masyarakat menempuh jalan berlawanan dengan pemerintah. Pemerintah daerah, paling tidak di beberapa daerah sekitaran Danau Toba, tampak akrab dengan perusahaan perusak alam. Dengan demikian, wisata kuliner berbahan babi tidak akan pernah kita harapkan dinaikkan levelnya oleh pihak mana pun kecuali pemilik peternak babi dan pemilik rumah makan panggang, dan tentu juga oleh para penikmat babi.
ADVERTISEMENT
Babi panggang menjadi representasi betapa praktik berwisata kita seakan-akan diarahkan menjauh dari kemajemukan. Kabar baiknya: rumah makan babi panggang tetap berjaya tanpa embel-embel ini dan itu.