Begu Antuk, Penyakit Kolera di Tanah Batak

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2022 21:38 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampung di Tarutung, sekitar 1920-an. Foto (repro): H.F. Tillema, Zonder Tropen geen Europa, hal. 68.
zoom-in-whitePerbesar
Kampung di Tarutung, sekitar 1920-an. Foto (repro): H.F. Tillema, Zonder Tropen geen Europa, hal. 68.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak 1 Januari 1901, para misionaris yang tinggal di Balige di Danau Toba merasakan hidup semakin berat. Harga beras melambung tinggi karena itu banyak penduduk Balige yang miskin kelaparan. Namun, bagi misionaris, hal yang paling menakutkan bukanlah menyaksikan orang miskin yang kelaparan tersebut, melainkan menggilanya penyakit kolera.
ADVERTISEMENT
Dalam nada membeda-bedakan, misionaris itu mengatakan orang yang belum menjadi Kristen lebih banyak yang meninggal dunia. Mereka yang sudah memeluk Kristen juga mengalami kematian yang cukup tinggi, namun jumlah yang meninggal tetap lebih banyak “orang kafir”. Seorang misionaris bercerita, di sebuah desa di dekat tempat mereka tinggal, sekitar 20 perempuan meninggal dunia karena kolera. Misionaris itu merasa hal itu tidak perlu terjadi bila mereka sudah menjadi Kristen karena mereka akan mendapat pengobatan dari dokter di Lagoeboti. Selain itu, disebutkan juga banyak aktivitas orang Batak terhenti. Gondang (gendang Batak) tidak lagi pernah terdengar. Pencurian dan bermain judi juga berkurang. Bahkan perang dan pemberontakan juga berhenti.
Seorang misionaris bertanya, “Apakah kesalahan yang telah engkau perbuat sehingga engkau dihajar sedemikian rupa?” “Dihajar sedemikian rupa” adalah gambaran tentang dahsyatnya dampak yang ditimbulkan kolera. Ia kemudian bercerita tentang seorang wanita tetangga rumahnya yang membawa suaminya ke hadapannya. Wanita itu meminta suaminya didoakan agar sembuh dan juga supaya anggota keluarganya yang lain tidak terinfeksi kolera. “Ini menurut saya sifat yang baik,” tulis misionaris itu, “karena biasanya ketika seorang Batak akan mati, ia juga berharap banyak orang yang mati bersamanya.” Di atas itu semua, karena wanita yang datang kepadanya itu berdoa kepada Tuhan dalam kesusahannya, doanya didengar dan suaminya kemudian sembuh.
ADVERTISEMENT
Demikianlah, misionaris yang bertugas di Balige itu kerap melihat atau didatangi oleh keluarga yang salah satu anggota keluarganya menderita kolera. Lain hari dia berjumpa dengan wanita lain dari desa yang sama. Wanita itu hanya memiliki satu putera, dan ternyata punya tunggalnya tersebut menderita kolera. Semua kerabat sudah menyerah. Mereka sudah putus asa akan kesembuhan anaknya. Bahkan anggota keluarga yang lain mengatakan, “Jangan pegang anak itu, dia menderita kolera.” Jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Wanita itu berkata, “Ketika tidak ada lagi bantuan dari manusia, Tuhan masih dapat membantu.”
Begitu juga ketika misionaris itu bertemu dengan warga, Josua Siahaan. Josua mendatanginya untuk meminta obat untuk istrinya yang menderita kolera. Lalu Ia bertanya, “Apakah istrimu berdoa?” Jawab Josua, “Ya, dia banyak berdoa, dan saya juga, selama tiga bulan ini. Tuhan telah mengawasi saya dengan cermat, menarik saya kepada-Nya. Saya mengatakan kepada istri saya, “Percaya saja, Tuhan bisa menyembuhkanmu kembali.”” Misionaris itu kemudian mengajak Josua berdoa bersama. Josua kemudian pulang. Keesokan paginya istrinya meninggal dengan tenang.
ADVERTISEMENT
Kolera, atau begu antuk, bagi misionaris, adalah bentuk penghakiman Allah kepada umatnya. Kolera adalah cara Tuhan menarik manusia datang kepadaNya. Bagi “kaum pagan”, obat yang mereka gunakan untuk menangkal kolera adalah memakan daging kerbau, atau melakukan ritual pengusiran begu, atau hantu. Orang Batak yang belum menjadi Kristen meyakini kolera disebabkan oleh hantu. Dalam mengusir begu, mereka membekali diri dengan timah, tembaga, dan kapur barus. Beberapa orang Batak yang lain percaya begu antuk akan hilang bila mereka mengorbankan seekor sapi sebagai tumbal.
Penyebaran kolera yang sangat cepat di Balige dan sekitarnya berdampak terhadap aktifitas pendidikan. Sejak April 1901, sekolah-sekolah ditutup. Langkah ini diambil untuk mencegah agar kolera tidak menular kepada anak-anak sekolah.
ADVERTISEMENT
Selain di Balige, daerah lain yang cukup terdampak oleh penyakit kolera adalah Djanji Matogoe. Reitze, misionaris yang bertugas di sana, mengatakan kolera telah menyebabkan banyak kematian. Bila di Balige perang berhenti karena kolera, di Djanji Matogoe yang terjadi justru sebaliknya. Perang pecah antara marga Hasibuan dan Manurung. Perang itu semakin memperparah keadaan penduduk.
Di satu desa di Djanji Matogoe, kolera mengakibatkan 78 anak meninggal dunia dalam waktu empat bulan. Misionaris memandang banyaknya jumlah kematian anak itu karena masih banyak orangtua salah memahami sumber penyakit tersebut. Tak jarang orangtua memandikan anaknya yang sakit kolera. Banyaknya jumlah anak-anak yang meninggal mendatangkan kengerian. Suara keceriaan anak-anak telah hilang sama sekali. Tingkat kematian untuk orang dewasa juga tidak sedikit. Seseorang bisa saja bertemu dengan seseorang di pagi hari, namun di sore harinya salah satu dari mereka sudah menjadi mayat. Misionaris Reitze menceritakan banyak orang telah meninggalkan desa mereka. Mereka meninggalkan kampung halaman untuk menghindari begu antuk. Mereka menganggap desa mereka adalah desa terkutuk. Namun, Reitze juga mengatakan beberapa “orang kafir” memutuskan tetap bertahan di desanya.
ADVERTISEMENT
Setelah wabah kolera berkurang, wabah rabies pun muncul di Djanji Matogoe yang juga mengakibatkan banyak kematian. Segera kemudian kekeringan panjang mendera. Kekeringan tersebut mengakibatkan lahan pertanian tidak bisa diolah. Orang-orang miskin hanya bisa makan sekali sehari, itu pun ubi jalar. Bahkan banyak di antara penduduk yang tidak bisa makan sama sekali. Kegiatan pendidikan juga terganggu akibat penyakit. Sekolah harus ditutup untuk beberapa waktu.
Cerita menggelitik di tengah wabah kolera terjadi pada Oktober 1910. Dua penjual jimat ditangkap oleh polisi. Salah seorang dari mereka berhasil melarikan diri dari penangkapan. Jimat yang dijual dikatakan mampu mengobati penyakit kolera dan beberapa penyakit lainnya. Simboras, nama jimatnya, sudah diedarkan yang bersangkutan di Ajibata, Hotung, Sibisa, dan Sionggang. Selain sebagai penangkal penyakit, menurut penjual jimat itu, jimat itu juga bisa mencegah penduduk dari kewajiban membayar pajak. Namun, bagi pemerintah alasan paling pokok yang dituduhkan kepadanya sehingga Ia ditangkap adalah pemerintah mencurigai penjual jimat itu ada kaitannya dengan desas-desus bahwa Sisingamangaraja masih hidup. Dua orang penjual jimat itu kemudian dibawa ke Balige. Sementara itu, satu orang yang berhasil melarikan diri dilaporkan telah menyeberang ke Samosir. Namun, ada juga desas-desus yang mengatakan Ia melarikan diri ke arah Simalungun. Untuk itu pencegatan dilakukan di beberapa daerah.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di Angkola kolera dilaporkan masih sporadis. Di Mandailing, timbul penyakit perut yang gejalanya mirip penyakit kolera. Akibatnya 41 orang meninggal dunia, sementara 10 orang berhasil sembuh. Di Padang Lawas, pada Oktober 1910 sudah dideklarasikan bebas wabah kolera. Namun, di bulan yang sama dilaporkan terjadi 26 kasus kolera, 12 orang di antaranya meninggal dunia. Beberapa huta (kampung) segera ditutup kembali untuk mencegah melokalisir kolera. Di Barus, terdapat 31 orang yang meninggal di satu desa.
Di tahun yang sama, beberapa wilayah di luar Tanah Batak dijangkiti wabah kolera. Penyebarannya boleh disebut cukup merata. Dari 19 hingga 23 Juli 1911, satu kasus ditemukan di Medan, satu kasus di Binjai, 22 kasus di Kwala Mencirim, satu kasus di Kampung Tengah, 3 kasus di Timbang Langkat, satu kasus di Padang Brahrang, satu kasus di Bandar Bejambu, satu kasus di Kampung Mabar, 17 kasus di Langkat Atas (13 orang di antara meninggal dunia), dan satu kasus di Polonia.
ADVERTISEMENT
Dampak wabah ini juga merembes kepada para pengusaha perkebunan di Sumatra Timur. Para pengusaha itu dibuat resah oleh wabah kolera di Tanah Batak. Hal ini terkait erat dengan banyaknya orang Batak yang bekerja di perkebunan mereka. Pengusaha kuatir jika tidak ada pengawasan medis yang ketat di kampung-kampung Batak, perkebunan akan terkena resiko terkontaminasi. Mereka mengusulkan agar dokter-dokter Jawa dikirim ke pedalaman, sementara kawasan Pantai Timur semakin diperketat pengawasan medisnya.
Sementara itu, pada Juli 1914, penyakit kolera berdampak terhadap pariwisata di Danau Toba. Haranggaol, salah satu kawasan wisata yang sering dikunjungi, dinyatakan terinfeksi kolera. Diberitakan kunjungan wisatawan menurun drastis, dan dipertimbangkan untuk menutup kawasan itu sembari menunggu vaksinasi selesai dilakukan. Beberapa perkampungan di sana juga sudah ditutup.
ADVERTISEMENT
Sumber Koran:
De Rijnsghe Zending, 1901.
Sumatra-Bode, 14 Januari 1911.
Het Vaderland, 11 Augustus 1911.
Het Vaderland, 21 Augustus 1911.
De Sumatra Post, 19 September 1911.
Het Vaderland, 20 Juli 1914.