Dekonstruksi Sejarah Penginjilan di Tanah Batak

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
21 Juni 2022 0:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Utusan Damai di Kemelut Perang; Peran Zending dalam Perang Toba. Foto: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
zoom-in-whitePerbesar
Utusan Damai di Kemelut Perang; Peran Zending dalam Perang Toba. Foto: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apa jadinya jika seorang tokoh yang dianggap sakral didekonstruksi sehingga mengubah citra yang sudah melekat pada tokoh tersebut?
ADVERTISEMENT
Data Buku
Judul: Utusan Damai di Kemelut Perang; Peran Zending dalam Perang Toba
Penulis: Uli Kozok
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun terbit: 2010
Halaman: 219 halaman
ISBN: 978-979-461-776-2
Apa jadinya jika seorang tokoh yang dianggap sakral didekonstruksi sehingga mengubah citra yang sudah melekat pada tokoh tersebut?
Buku Utusan Damai di Kemelut Perang; Peran Zending dalam Perang Toba ini dapat dianggap kontroversial karena mendekonstruksi tokoh Ludwig Ingwer Nommensen, tokoh yang erat kaitannya dengan penyebaran agama Kristen di tanah Batak. Anggapan kontroversial tersebut, seperti diungkapkan Uli Kozok, akan muncul pada sebagian orang karena mengubah pandangan dan citra peran Nommensen yang seakan-akan tak bercela (hal. 14).
Ungkapan TB Silalahi ketika melepas seratusan orang peserta napak tilas di Balige pada 2007 untuk memperingati perjalanan sekaligus penyebaran agama Kristen yang dilakukan Nommensen di Tanah Batak ini dapat disebut satu contoh untuk menjelaskan kontroversi tersebut: “Kalau dulu Apostel Nommensen tidak datang ke sini, mungkin kita orang Batak masih memakai cawat sampai sekarang.”
ADVERTISEMENT
Namun, tambah Kozok, kontroversi itu terjadi karena selama ini penulisan sejarah penginjilan di tanah Batak didominasi oleh para penulis yang dekat dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai penerus Rheinische Missiongesellschaft (RMG). Penulisan sejarah yang berat sebelah dan tidak kritis terhadap seorang tokoh tentunya dapat membuat kritik dan koreksi pihak lain menjadi kontroversial.
Buku ini tidak hanya mengungkap catatan perjalanan Ludwig Ingwer Nommensen. Selain Nommensen, ada pula Wilhelm Metzler serta para penginjil lain yang berkarya dalam kurun waktu berlangsungnya Perang Toba. Perang Toba tersebut berlangsung pada 1878 dan 1883, perang perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap pemerintah kolonial.
Pertanyaan yang menarik adalah apakah Nommensen dan Si Singamangaraja XII bermusuhan atau justru bekerja sama menentang kolonialisme Belanda seperti yang diakui selama ini? Uli Kozok menilai buku yang sering dijadikan rujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, Ahu Si Singamangaraja (1982), yang ditulis W. B. Sidjabat, tidak memberikan jawaban. Kozok menilai buku itu harus dikritik karena menghilangkan keterlibatan Nommensen dalam Perang Toba (hal. 102).
ADVERTISEMENT
Dalam buku ini Kozok memberikan fakta baru yang justru bersumber dari surat-surat Nommensen sendiri yang menjelaskan keterlibatannya dalam Perang Toba. Adanya kerjasama antara pihak zending dan pemerintah tersebut diketahui dari pilihan kata yang digunakan Nommensen dalam laporannya. Sebagai seorang filolog, Kozok mengacu pada kata ‘wir’ (‘kami’) yang menunjukkan identifikasi Nommensen dengan tentara dan ‘die feinde’ (‘musuh’) untuk pihak Si Singamangaraja (hal. 106). Hal tersebut menunjukkan bahwa Nommensen tidak menentang kolonialisme, melainkan mendukungnya.
Kozok menjelaskan pula alasan keberpihakan Nommensen serta para penginjil lainnya. Hal tersebut diulas pada bagian Teologi dan Ideologi RMG (hal. 47-72). Pada bagian ini dibahas latar belakang teologi di RMG pada pertengahan abad ke-19, serta ideologi yang sedang berkembang di Eropa, dan khususnya di Jerman yang sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial. Selain itu, Kozok juga membandingkan aktivitas para penginjil di tanah Batak dengan aktivitas penginjil di Afrika.
ADVERTISEMENT
Proses penggunaan sumber primer berupa tulisan tangan Nommensen asli dalam buku ini sangat menarik. Sebenarnya buku ini pernah diterbitkan pada 2009 oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan. Ketika buku ini didiskusikan oleh para pakar terjadi perdebatan mengenai kebenaran dokumen Nommensen yang menjadi dasar buku edisi pertama. Bungaran Antonius Simanjuntak, profesor antropologi Universitas Negeri Medan, yang hadir dalam diskusi itu meragukan otensitas dokumen Nommensen yang dirujuk oleh Uli Kozok. Alasannya, Kozok tidak menggunakan teks asli Nommensen melainkan tulisan Nommensen yang diterbitkan (sumber sekunder) sehingga tidak tertutup kemungkinan pernyataan Nommensen itu telah diedit oleh pihak RMG (hal. 9).
Diskusi buku itu lantas membuat Kozok berupaya menjawab keraguan itu dengan cara menyurati pusat arsip RMG dan menanyakan apakah tulisan asli Nommensen masih disimpan oleh pusat arsip RMG yang berpusat di Barmen (sekarang menjadi bagian kota Wuppertal), Jerman. Ternyata tulisan tangan Nommensen yang asli masih tersimpan.
ADVERTISEMENT
Dalam edisi kedua, bukti-bukti tulisan tangan Nommensen tersebut dimuat sehingga masalah otensitas sumber yang diragukan oleh Bungaran Simanjuntak telah terjawab. Dalam studi sejarah masalah otentisitas memegang peranan penting. Apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan sejarah yang sifatnya kontroversial. Dilampirkannya bukti-bukti tulisan tangan Nommensen yang merupakan sumber primer memperkuat analisis Kozok tentang hubungan antara Nommensen dan Si Singamangaraja XII dalam Perang Toba.
Hal lain yang menarik dari buku ini adalah dimuatnya terjemahan laporan dalam bentuk artikel yang dimuat Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) dari bahasa Jerman serta teks aslinya sebagai lampiran. Artikel-artikel terjemahan tersebut dapat dibandingkan dengan teks aslinya dan mungkin kelak mendapat interpretasi baru.
Dalam sejarah bukanlah hal yang mustahil jika ada interpretasi baru terhadap suatu pokok bahasan dari sumber (baru) yang ditemukan. Apalagi jika metode yang digunakan juga tepat. Dalam kasus surat Nommensen ini, menurut hemat saya, perlu didukung dengan bukti-bukti tambahan lain yang kuat baik itu berupa sumber primer maupun sekunder.
ADVERTISEMENT
Ada baiknya jika kita juga memeriksa arsip-arsip pemerintah Hindia-Belanda yang berkaitan dengan masalah ini, misalnya arsip atau surat resmi yang dikeluarkan baik oleh pemerintah setempat maupun pusat karena segala sesuatu yang dianggap penting oleh pemerintah kolonial biasanya dicatat dengan rapi.
Walau buku ini dilengkapi dengan ilustrasi menarik, baik foto maupun peta, sayangnya tidak semua sumber ilustrasi dicantumkan. Hanya satu ilustrasi yang dilengkapi dengan sumber yaitu Poliklinik RMG di Pearaja, 1910 yang merupakan koleksi KITLV (hal.78) Terlepas dari kekurangan kecil tersebut buku ini menarik dan penting bagi para pengamat, pencinta sejarah khususnya sejarah misionaris di Indonesia.