Konten dari Pengguna

Huta Salem dan Penyakit Kusta di Tanah Batak

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
23 Desember 2024 15:48 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penderita kusta sedang bermain catur. Foto: Piet Telder, 1938.
zoom-in-whitePerbesar
Penderita kusta sedang bermain catur. Foto: Piet Telder, 1938.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Batak pada abad ke-19 memiliki pandangan yang salah tentang mereka yang menderita penyakit kusta (lepra). Orang Batak mengenal penyakit ini sebagai na huliton. Para penderita kusta dikucilkan dari komunitas masyarakat. Jika mereka berasal dari keluarga biasa, maka akan diusir dari desa. Apabila keluarganya berada, akan dibiarkan tetap tinggal di desa, tetapi setiap orang selalu menghindar karena takut tertular. Penderita kusta yang dikucilkan mencari tempat tinggal di perladangan atau diusir dan ditempatkan di dalam jurang yang dalam.
ADVERTISEMENT
Penderita kusta yang sudah tersingkir itu tidak bisa lagi mengerjakan ladang mereka sehingga mereka harus meminta-minta atau mencuri apa saja untuk dimakan dari kebun-kebun penduduk. Mereka yang berani menerobos masuk ke suatu desa, mereka meminta garam atau beras. Penduduk takut menolaknya sehingga segera diberikan supaya mereka cepat pergi. Namun, tidak sedikit penderita kusta yang diasingkan itu pergi ke ladang dan membangun gubuk di sana. Ketakutan penduduk akan penyakit itu kerap membuat gubuk penderita kusta dibakar bersama dengan pemilik gubuknya.
Pada 5 September 1900, di tempat yang sepi, sekitar satu jam dari Laguboti, sebuah koloni kecil penderita kusta didirikan, yang diberi nama "Huta-Salem", artinya desa damai. Tuan Jansen, pengusaha dari Pantai Timur, Senembah Maatschppij, tergerak menyumbang setelah mendengar kengerian yang dialami para penderita kusta di Huta Salem. Ia menyumbang sebesar 5009 gulden untuk membangun tempat yang lebih layak bagi penderita kusta.
ADVERTISEMENT
Misionaris Steinsiek mengisahkan di sebuah majalah suasana awal ketika Huta Salem baru dibangun:
“Saya akan segera kembali dari Huta Salem, tempat saya menguburkan penderita kusta yang pertama. Sebelum meninggal, dia hanya berada di Huta Salem selama empat minggu. Si malang itu sebelumnya tinggal di gua dengan penderita kusta yang lain. Ia dibawa ke sini oleh beberapa orang delapan hari sebelumnya. Namun, dia tidak menyebutkan bahwa masih ada seorang pria di dalam gua. Hal Baru kemudian diberitahunya ketika saya berbicara dengannya keesokan harinya. Kemudian dia mengatakan bahwa pria itu tidak bisa berjalan; tikus sudah menggerogoti kakinya. Selain itu, dia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Saya segera menyadari bahwa pria itu akan dibakar atau mati kelaparan, dan saya mengambil tindakan untuk membawanya ke misi saya. Tetapi, kenapa dia bisa sampai seperti itu?”
ADVERTISEMENT
Steinsiek memutuskan pergi ke gua itu. Dia menemukan semua yang didengarnya dari penderita kusta yang mendatanginya benar adanya. “Sangat mengerikan melihatnya,” ujar Steinsiek. Setelah dua minggu di Huta Salem, kondisinya tampak agak membaik. Namun, kata Steinsiek, “ajalnya sudah dekat.” Sekujur tubuhnya telah dipenuhi belatung karena luka itu terlalu lama dibiarkan. Begitu mengerikannya luka itu sehingga “dia seakan-akan tidak lagi merasakan sakit.” Steinsiek berbicara dengannya meski dia hampir tidak lagi mampu membalasnya dengan kata. Namun, kata Steinsiek, ia bersedia percaya kepada Yesus dan akan membawanya ke surga.
Huta Salem pertama sekali dihuni oleh 17 orang. Mereka datang dari masyarakat yang menstigma kusta sebagai penyakit yang sangat berbahaya sehingga penderinya harus dimusnahkan lewat membakarnya. Pada tahun 1900, jumlah penderita kusta di Huta Salem sebanyak 100 orang. Selama tahun-tahun pertama biaya perawatan ditanggung oleh English Leper Society di Edinburgh. Jumlah pasien terus meningkat. Dari tahun 1902 hingga 1909 ini berjumlah: 62, 82, 109, 118, 150, 163, 207 dan 235. Pada tahun 1904 orang bisa mengatakan; Huta Salem telah berkembang sedemikian rupa sehingga sedang dalam perjalanan untuk menjadi salah satu rumah sakit jiwa terbesar di dunia. Huta Salem diawasi oleh Misionaris Steinsiek; seorang pengawas guru Batak yang tinggal di dekat Huta Salem. Dua Penginjil juga berada di sana membantu mereka.
Rumah bagi para penderita kusta di Hutasalem, 1910-194. Foto: Nationaal Archief.
Misionaris J. H. Meerwaldt menceritakan kesannya selama berada beberapa saat di Huta Salem, Laguboti, tahun 1903. Meerwaldt merasakan bekerja di antara “orang-orang malang” (penderita kusta) itu adalah pekerjaan yang paling menyenangkan. Meerwaldt melihat para penderita kusta menjalani hidup dengan senang. Mereka bersama-sama bekerja dan saling menolong. Namun, yang membuat Meerwaldt tidak bisa menyembunyikan kesenangannya adalah mengetahui bahwa salah seorang perawat orang kusta di Huta Salem adalah orang Batak bernama Saul. Saul meninggalkan rumahnya di desa dekat Huta Salem di pagi hari untuk bekerja membantu penderita kusta. Ia membutuhkan setengah jam untuk tiba di tempat itu. Saul kembali ke rumahnya di malam hari. Pada awalnya tidak mudah bagi Saul bekerja di Huta Salem, namun seiring waktu dia sudah beradaptasi.
ADVERTISEMENT
Huta Salem terdiri dari dua bangsal besar, masing-masing bangsal untuk laki-laki dan perempuan. Bangsal perempuan diberi warna cat putih. Huta Salem dibangun jauh dari perkampungan penduduk. Di bagian depan dibangun gedung penjaga. Di sana juga didirikan gereja kecil. Sementara itu, dibangun satu dapur untuk memasak untuk dua bangsal. Para penderita kusta memasak makanan mereka sendiri. Mereka menanam sayur-sayuran di sekitar bangsal. Begitu juga dengan buah-buahan. Kebutuhan sayuran dan buahan mereka terpenuhi dari kebun tersebut. Meerwaldt mengatakan, “Saya sangat senang melihat orang-orang ini, mereka yang tidak lagi memiliki harapan untuk hidup. Mereka menjalani hidup tanpa hambatan, benar-benar buah Injil dan meninggalkan kesan yang mendalam.”
Meerwaldt juga mendapatkan kesan mendalam ketika dia berkotbah di satu acara kebaktian gereja. Meerwaldt menulis, “Kami berkumpul di gereja yang lapang. Tentu saja kami mulai dengan menyanyikan sebuah lagu. Nyanyian itu mengerikan untuk didengar, karena serangan laring pada penderita kusta ini. Mereka juga semua memiliki suara yang parau dan membosankan, tetapi antusiasme mereka bernyanyi sangat membangkitkan semangat, dan betapa mereka penuh perhatiannya mendengarkan kotbah.”
ADVERTISEMENT
Jumlah penderita kusta di Huta Salem pada tahun itu sebanyak 62 orang. Pada tahun itu dua orang meninggal dunia. Tidak semua penderita kusta di Huta Salem memeluk Kristen. Dari 62 orang yang menghuni tempat itu, 41 orang di antaranya adalah Kristen. Salah satu lembaga kusta di Inggris memberikan bantuan 1000 gulden setahun. Uang itu, ditambah subsidi dari pemerintah, sudah cukup membiayai Huta Salem selama setahun.
Penyebaran penyakit kusta tersebar luas di daerah Danau Toba. Diberitakan hampir seluruh desa di kawasan itu sudah terinfeksi. Sama seperti di daerah Karo, orang Batak juga memperlakukan penderita kusta dengan sangat mengerikan. Mereka mendobrak gubuk tempat orang sakit kusta itu berbaring dan kemudian membakarnya. Lain wakut, seorang laki-laki penderita kusta yang masih kuat hendak melarikan diri dari rumahnya yang terbakar. Ia kemudian dihentikan oleh orang-orang yang membakar rumahnya dan dilemparkan kembali ke dalam api.
ADVERTISEMENT
Di Huta Salem diadakan sekolah malam. Ada dua suster misionaris yang mengajar khusus untuk kelas perempuan, yaitu Suster Lisette dan Suster Thora Wedel Jarlsberg. Kelas diadakan dua kali seminggu.
Paruh kedua tahun 1925, misionaris Steinsiek melakukan gebrakan kecil di Huta Salem. Ia menerima usulan dari para penderita kusta yang sudah lama mereka kemukakan, yakni membangun gubuk mereka sendiri. Steinsieck dan pemerintah menganggap gagasan tersebut sebagai wujud peningkatan tanggung jawab penderita kusta, dan layak mendapat dorongan. Setidaknya bila penderita kusta mendirikan gubuk mereka sendiri menjadi pertanda bahwa semangat yang lebih tinggi mulai muncul di antara mereka. Selain itu setiap orang merasa bertanggung jawab atas harta benda, kebersihan, dan pemeliharaan gubuk sendiri. Para penderita kusta pun bekerja keras membangun rumah mereka sendiri. Kini, Huta Salem terlihat seperti desa-desa lainnya. Gubuk-gubuk mereka yang berjajar terlihat rapi, dipadu dengan jalan yang membelah di tengah. Bahkan perkampungan kusta ini sudah memiliki balai pertemuan, melengkapi gereja yang sudah lebih dulu dibangun. Di satu sudut kampung, berdiri sebuah penjara karena desa ini juga memiliki polisi sendiri.
ADVERTISEMENT
Akibat berikutnya yang ditimbulkan atas inisiatif ini adalah Tuan Rittich, administrator Eropa yang bertugas di sana, lebih leluasa mengurus perkara administrasi. Dari pendirian awal Huta Salem berjumlah 17 orang, tahun 1910 sudah berjumlah 261 orang. Jumlah ini meningkat menjadi 498 orang di tahun 1920, 491 orang di tahun 1925. Terhitung sejak didirikan tahun 1899 hingga tahun 1925, total penderita kusta yang dirawat di Huta Salem sebanyak 1518 orang; 850 orang di antaranya meninggal dan 177 melarikan diri atau meninggalkan Huta Salem karena alasan lain.
Tahun 1925 adalah tahun yang sulit bagi Huta Salem. Rittich menyebut total penghuni Huta Salem saat itu berjumlah 500 orang. Rittich menulis, “Tanpa dukungan pemerintah, meski tidak cukup, kejatuhan Huta-Salem pasti sudah diputuskan.” Setelah 25 tahun berjalan, Huta Salem menyatakan dengan terus terang membutuhkan uluran tangan pemerintah dalam menutupi biaya operasional. Salah satu alasan mereka membutuhkan bantuan adalah meningkatnya harga beras. Rittich mengatakan tidak banyak hal yang bisa diperbuatnya. Di tahun itu juga Huta Salem tetap memutuskan menyelenggarakan Festival Perak Huta Salem. Rittich tidak ingin menjadikan alasan kesulitan dana untuk menunda pesta itu. “Pesta ini harus menjadi hari kegembiraan bagi mereka (penderita kusta), hari kegembiraan, bersinar dalam garis kesedihan yang tak ada habisnya yang menjadi bagian mereka.”
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Rittich ingin mengetuk hati pengusaha-pengusaha Deli. Dengan nada sinis dia menulis, “Tapi… Oh, kamu sudah mengerti.... Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Kemudian... kami memiliki kepercayaan diri untuk mengakui hal ini kepada Anda, karena kami tahu bahwa saat ini Deli masih berpikir Huta Salem masih sebesar dan seluas 25 tahun yang lalu. Dua puluh lima tahun lalu, Deli memberikan dorongan untuk berdirinya Huta Salem. Sekarang Deli tidak mau tetap di belakang dan membantu kami merayakan ulang tahun ke-25 kami. Anda memberikan kesedihan kepada 500 penderita kusta di hari bahagia ini...” Ia sadar para pengusaha itu sangat sulit memberikan sumbangan. Di akhir suratnya Rittich menulis, “Terima kasih sebelumnya, atas nama penderita kusta Huta-Salem, yang dengan senang hati menunggu hadiah Anda.”
Para penderita kusta yang dikucilkan dari masyarakat. Foto: Bisuk Siahaan, 2011.
Tahun 1930-an, penyakit kusta berada pada perdebatan tentang kaitan penyakit ini dengan hewan. Beberapa ilmuwan menyebut kusta bisa menular ke hewan, seperti tikus dan ikan. Ikan mendapat perhatian karena di beberapa perkampungan nelayan, penularan penyakit ini cukup tinggi. Di sana basil kusta ditemukan pada ikan, juga tikus. Dikuatirkan kontak yang sangat dekat dengan manusia akan menularkan penyakit itu ke hewan. Ditemukan juga kemiripan yang sangat kuat antara kusta dengan penyakit yang diderita oleh kerbau di beberapa tempat di Jawa.
ADVERTISEMENT
Pada akhir tahun 1935, Lembaga Kusta didirikan di Batavia didirikan dengan Dr. Lampe sebagai kepala. Tugasnya adalah mencari cara penyebaran penyakit kusta di Hindia Belanda. Hasil pengamatan Lembaga Kusta mengkonfirmasi kecurigaan di atas. Untuk daerah Batak, jumlah populasi anjing dan babi yang sangat banyak mendapat perhatian. Dikuatirkan penyakit kusta akan menyebar melalui dua hewan ternak ini. Kegemaran orang Batak mengonsumsi anjing dan babi membuat siklus perkembangan cacing pita tidak bisa dihentikan. Hal ini dianggap menjadi masalah oleh pemerintah karena orang Batak menolak memeriksakan peliharaan mereka. Karena itu pemerintah menerapkan larangan ekspor babi dari daerah Batak ke daerah sekitarnya.