Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
“Jangan menangis. Ibumu bukan lagi manusia; dia terkena kusta.”
29 Oktober 2022 23:36 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu hari di tahun 1899, misionaris Rheinische Missionsgesellschaft (RMG), Steinsiek, sedang dalam perjalanannya ke beberapa daerah di Tanah Batak. Saat Ia sedang berada di satu daerah Karo, dia melihat asap mengepul dari semak-semak. Rasa penasarannya membuatnya menyambangi tempat itu. Di sana dia melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun menangis tersedu-sedu. Steinsiek lalu bertanya, “Di mana Ibumu?” Anak kecil itu lalu menunjuk ke arah semak-semak. Ternyata di semak-semak itu terdapat sebuah gubuk tempat Ibunya dikarantina. Semak yang terbakar itu berasal dari gubuk yang sudah terbakar. Di dalam api yang membara itulah Ibunya sedang terbakar. Ayah si anak kecil yang berdiri di samping anaknya kemudian berkata, “Jangan menangis. Ibumu bukan lagi manusia; dia terkena kusta.”
ADVERTISEMENT
Desa Lau Si Momo adalah daerah karantina yang dikhususkan bagi penderita kusta di Tanah Karo. Di daerah Karo tercatat sebanyak 70.000 orang yang menderita kusta. Namun, hanya sekitar 600 orang yang bisa ditampung di Lau Si Momo. Mereka yang berada di tempat karantina tidak semenderita yang berada di luar karantina. Penduduk membangun gubuk sederhana, biasanya terbuat dari bambu, di luar desa untuk mereka yang menderita kusta. Terkadang penderita kusta itu dibiarkan begitu saja di gubuk hingga meninggal dunia. Penduduk desa kerap membakar penderita kusta yang sudah meninggal. Tidak hanya membakar jasadnya melainkan semua yang pernah disentuhnya juga ikut dibakar, seperti tempat tidur dan juga gubuknya. Penduduk desa menganggap kusta penyakit yang menakutkan. Metode penyembuhan kusta orang Batak disebut misionaris sebagai tindakan “bodoh yang dipraktekkan selama bertahun-tahun”. Selain mengasingkan penderita kusta ke tempat terkucil di luar desa, penduduk menggunakan sinar matahari untuk menyembuhkan kusta. Penderita kusta dijemur dengan bertelanjang.
ADVERTISEMENT
Huta Salem
Masyarakat Batak abad ke-19 memiliki pandangan yang salah tentang mereka yang menderita penyakit kusta (lepra). Orang Batak mengenal penyakit ini sebagai na huliton. Para penderita kusta dikucilkan dari komunitas masyarakat. Jika mereka berasal dari keluarga biasa, maka akan diusir dari desa. Apabila keluarganya berada, akan dibiarkan tetap tinggal di desa, tetapi setiap orang selalu menghindar karena takut tertular. Penderita kusta yang dikucilkan mencari tempat tinggal di perladangan atau diusir dan ditempatkan di dalam jurang yang dalam.
Penderita kusta yang sudah tersingkir itu tidak bisa lagi mengerjakan ladang mereka sehingga mereka harus meminta-minta atau mencuri apa saja untuk dimakan dari kebun-kebun penduduk. Mereka yang berani menerobos masuk ke suatu desa, mereka meminta garam atau beras. Penduduk takut menolaknya sehingga segera diberikan supaya mereka cepat pergi. Namun, tidak sedikit penderita kusta yang diasingkan itu pergi ke ladang dan membangun gubuk di sana. Ketakutan penduduk akan penyakit itu kerap membuat gubuk penderita kusta dibakar bersama dengan pemilik gubuknya.
ADVERTISEMENT
***
Steinsiek terguncang dengan pengalamannya di Tanah Karo. Setelah kembali dari Tanah Karo, dia menginisiasi pendirian tempat khusus bagi penderita kusta di Tanah Batak. Pada 5 September 1900, di tempat yang sepi, sekitar satu jam dari Laguboti, sebuah koloni kecil penderita kusta didirikan, yang diberi nama "Huta-Salem", artinya desa damai.
Bagiamana menggambarkan Huta Salem dari sisi misionaris?
Misionaris Steinsiek mengisahkan pengalamannya di sebuah majalah tentang suasana awal ketika Huta Salem baru dibangun :
Saya akan segera kembali dari Huta Salem, tempat saya menguburkan penderita kusta yang pertama. Sebelum meninggal, dia hanya berada di Huta Salem selama empat minggu. Si malang itu sebelumnya tinggal di semacam gua dengan penderita kusta yang lain. Ia dibawa ke sini oleh beberapa orang delapan hari sebelumnya. Namun, dia tidak menyebutkan bahwa masih ada seorang pria di dalam gua; hal ini kemudian diberitahunya ketika saya berbicara dengannya keesokan harinya sedikit lebih lama. Kemudian dia mengatakan bahwa pria itu tidak bisa berjalan; tikus sudah menggerogoti kakinya; selain itu, dia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Saya segera menyadari bahwa pria itu akan dibakar atau mati kelaparan, dan saya mengambil tindakan untuk membawanya ke misi saya. Tetapi kondisi apa yang membuat dia sampai seperti itu?
ADVERTISEMENT
Beberapa kain tergantung dari tubuhnya yang benar-benar telanjang; kakinya, yang telah digerogoti tikus, sangat mengerikan untuk dilihat. Setelah diselimuti, dia dibawa ke sana oleh beberapa penderita kusta dari Huta Salem, yang masih bisa berjalan, dan dirawat oleh orang sakit lainnya. Dalam dua minggu pertama kondisinya tampak agak membaik, tetapi segera diketahui bahwa ajalnya sudah dekat. Luka yang mengerikan terlalu lama dibiarkan: semuanya dipenuhi belatung dan tidak mungkin untuk membersihkannya, karena seseorang tidak diperbolehkan menyentuh apa pun karena kutu. Ya, sangat menyedihkan ketika seseorang melihat bahwa seseorang dapat membawa bantuan atau kelegaan, jika seseorang diizinkan untuk memulainya sendiri, tetapi ini tidak mungkin. Hampir tidak mungkin untuk berdiri di dekat pria itu. Sedikit melegakan mengetahui bahwa penderita kusta itu sendiri hampir tidak merasakan luka; dia seakan-akan tidak merasakan sakitnya lagi. Saya berbicara dengan pria malang ini beberapa hari sebelum kematiannya; tentu saja dia hampir tidak tahu apa-apa, tetapi bersedia untuk percaya kepada Yesus bahwa dia akan membawanya ke surga.
ADVERTISEMENT
Tuhan melihat ke dalam hati, jadi mungkin dia masih selamat. Dia sangat berterima kasih atas semua yang diberikan kepadanya dan hampir tidak bisa memahami apa yang terjadi padanya; dia tidak tahu harus berkata apa karena sekarang dia sangat diperhatikan.
Secara umum, setelah berada di Huta Salem, orang sakit kusta itu bersyukur dan menjadi lemah lembut; baru-baru ini mereka bermain kartu, hadiahnya berupa ayam dan beberapa pakaian Batak yang mereka bawa. Ketika saya menegur mereka, mereka semua sangat takut bila saya harus mengusir mereka. Untuk kali ini saya memaafkan kejahatan mereka dan harta benda yang dijadikan taruhan akan dikembalikan kepada pemiliknya.
Sebagai hukuman, mereka tidak diberi minyak tanah untuk sementara waktu; selain itu, selama dua minggu mereka tidak diberi sayuran atau ikan. Mereka hanya boleh memakan nasi saja. Bahkan tembakau dan kartu remi harus diserahkan. Sejak saat itu semua berjalan dengan baik. Sejak awal hukum yang ketat harus dibuat supaya hal demikian tidak terjadi kembali.
ADVERTISEMENT
Saya sangat senang dengan dua pengawas, mereka adalah orang Kristen yang setia dan mereka mencintai pekerjaan mereka. Mereka mencintai orang sakit itu. Yang termuda di antara pengawas itu ikut menemani Dr. Schreiber ke Pearadja untuk memperoleh beberapa pengetahuan yang diperlukan. Minggu lalu kami juga mulai membangun kapel, yang kami harap akan siap pada Natal berikutnya. Siapakah yang berkontribusi membangun gedung itu? Para penderita kusta itulah yang mengerjakannya. Jumlah mereka 30 orang; 22 laki-laki dan 8 perempuan.
K.R. Rittich, administrator Huta-Salem di akhir tahun 1920-an, memandang Huta Salem sebagai: “Sebuah tempat di mana mereka masuk diabaikan, tercemar dan kotor dan tidak lagi dianggap sebagai manusia, cemas dan takut akan apa yang mungkin terjadi pada mereka. Di sini hidup mereka benar-benar bebas, aman, sampai kematian mengakhiri penderitaan mereka, yang sayangnya hanya bisa diringankan.”
ADVERTISEMENT
Huta Salem pertama sekali dihuni oleh 17 orang penderita kusta. Mereka datang dari masyarakat yang menstigma kusta sebagai penyakit yang sangat berbahaya sehingga penderinya harus dimusnahkan lewat membakarnya. Pada tahun 1900, jumlah penderita husta di Huta Salem sebanyak 100 orang. Di tahun-tahun pertama setelah berdiri, biaya perawatan ditanggung oleh English Leper Society di Edinburgh. Jumlah pasien terus meningkat. Dari tahun 1902 hingga 1909 ini berjumlah: 62, 82, 109, 118, 150, 163, 207 dan 235. Pada tahun 1904 orang bisa mengatakan; Huta Salem telah berkembang sedemikian rupa sehingga sedang dalam perjalanan untuk menjadi salah satu rumah sakit jiwa terbesar di dunia. Huta Salem dikepalai oleh Steinsiek dan seorang guru Batak, yang tinggal dekat Huta Salem, membantunya sebagai pengawas. Dua penginjil juga berada di sana membantu mereka.
ADVERTISEMENT
Misionaris J. H. Meerwaldt menceritakan kesannya selama berada beberapa saat di Huta Salem, Laguboti, tahun 1903. Meerwaldt merasakan bekerja di antara “orang-orang malang” (penderita kusta) itu adalah pekerjaan yang paling menyenangkan. Meerwaldt melihat para penderita kusta menjalani hidup dengan senang. Mereka bersama-sama bekerja dan saling menolong. Namun, yang membuat Meerwaldt tidak bisa menyembunyikan kesenangannya adalah mengetahui bahwa salah seorang perawat orang kusta di Huta Salem adalah orang Batak bernama Saul. Saul meninggalkan rumahnya di desa dekat Huta Salem di pagi hari untuk bekerja membantu penderita kusta. Ia membutuhkan setengah jam untuk tiba di tempat itu. Saul kembali ke rumahnya di malam hari. Pada awalnya tidak mudah bagi Saul bekerja di Huta Salem, namun seiring waktu dia sudah beradaptasi.
ADVERTISEMENT
Huta Salem terdiri dari dua bangsal besar, masing-masing bangsal untuk laki-laki dan perempuan. Bangsal perempuan diberi warna cat putih. Huta Salem dibangun jauh dari perkampungan penduduk. Di bagian depan dibangun gedung penjaga. Di sana juga didirikan sebuah gereja. Sementara itu, dibangun satu dapur untuk memasak untuk dua bangsal. Para penderita kusta memasak makanan mereka sendiri. Mereka menanam sayur-sayuran di sekitar bangsal. Begitu juga dengan buah-buahan. Kebutuhan sayuran dan buahan mereka terpenuhi dari kebun tersebut. Meerwaldt mengatakan, “Saya sangat senang melihat orang-orang ini, mereka yang tidak lagi memiliki harapan untuk hidup. Mereka menjalani hidup tanpa hambatan, benar-benar buah Injil dan meninggalkan kesan yang mendalam.”
Meerwaldt juga mendapatkan kesan mendalam ketika dia berkotbah di satu acara kebaktian gereja. Meerwaldt menulis, “Kami berkumpul di gereja yang lapang. Tentu saja kami mulai dengan menyanyikan sebuah lagu. Nyanyian itu mengerikan untuk didengar, karena serangan laring pada penderita kusta ini. Mereka juga semua memiliki suara yang parau dan membosankan, tetapi antusiasme mereka bernyanyi sangat membangkitkan semangat, dan betapa mereka penuh perhatiannya mendengarkan kotbah.”
ADVERTISEMENT
Jumlah penderita kusta di Huta Salem pada tahun itu sebanyak 62 orang. Pada tahun itu dua orang meninggal dunia. Tidak semua penderita kusta di Huta Salem beragama Kristen. Dari 62 orang yang menghuni tempat itu, 41 orang di antaranya adalah Kristen. Salah satu lembaga kusta di Inggris memberikan bantuan 1000 gulden setahun. Uang itu, ditambah subsidi dari pemerintah, sudah cukup membiayai Huta Salem selama setahun.
Penyebaran penyakit kusta tersebar luas di daerah Danau Toba. Diberitakan hampir seluruh desa di kawasan itu sudah terinfeksi. Sama seperti di daerah Karo, orang Batak juga memperlakukan penderita kusta dengan sangat mengerikan. Mereka mendobrak gubuk tempat orang sakit kusta itu berbaring dan kemudian membakarnya. Lain waktu, seorang laki-laki penderita kusta yang masih kuat hendak melarikan diri dari rumahnya yang terbakar. Ia kemudian dihentikan oleh orang-orang yang membakar rumahnya dan dilemparkan kembali ke dalam api.
ADVERTISEMENT
Menjelang akhir 1920-an, misionaris Steinsiek melakukan gebrakan kecil di Huta Salem. Ia menerima usulan dari para penderita kusta yang sudah lama mereka kemukakan, yakni membangun gubuk mereka sendiri. Steinsiek dan pemerintah menganggap gagasan tersebut sebagai wujud peningkatan tanggung jawab penderita kusta, dan layak mendapat dorongan. Setidaknya bila penderita kusta mendirikan gubuk mereka sendiri menjadi pertanda bahwa semangat yang lebih tinggi mulai muncul di antara mereka. Selain itu setiap orang merasa bertanggung jawab atas harta benda, kebersihan, dan pemeliharaan gubuk sendiri. Para penderita kusta pun bekerja keras membangun rumah mereka sendiri. Kini, Huta Salem terlihat seperti desa-desa lainnya. Gubuk-gubuk mereka yang berjajar terlihat rapi, dipadu dengan jalan yang membelah di tengah. Bahkan perkampungan kusta ini sudah memiliki balai pertemuan, melengkapi gereja yang sudah lebih dulu dibangun. Di satu sudut kampung, berdiri sebuah penjara karena desa ini juga memiliki polisi sendiri.
ADVERTISEMENT
Akibat berikutnya yang ditimbulkan atas inisiatif ini adalah Tuan Rittich lebih leluasa mengurus perkara administrasi. Bila di awal pendirian Huta Salem dihuni 17 orang penderita kusta, tahun 1910 sudah berjumlah 261 orang. Jumlah ini meningkat menjadi 498 orang di tahun 1920, 491 orang di tahun 1925. Terhitung sejak didirikan tahun 1899 hingga tahun 1925, total penderita kusta yang dirawat di Huta Salem sebanyak 1518 orang; 850 orang di antaranya meninggal dan 177 melarikan diri atau meninggalkan Huta Salem karena alasan lain.
Tahun 1925 adalah tahun yang sulit bagi Huta Salem. Rittich menyebut penghuni Huta Salem saat itu berjumlah 500 orang. Rittich menulis, “Tanpa dukungan pemerintah, kejatuhan Huta Salem pasti sudah diputuskan.” Setelah 25 tahun berjalan, Huta Salem menyatakan dengan terus terang membutuhkan uluran tangan pemerintah dalam menutupi biaya operasional sehari-hari. Salah satu alasan yang membuat Huta Salem membutuhkan uluran tangan pemerintah adalah melambungnya harga beras. ittich mengatakan tidak banyak yang bisa diperbuatnya.
ADVERTISEMENT
Di tahun itu juga Huta Salem tetap memutuskan menyelenggarakan Festival Perak Huta Salem, perayaan 25 tahun Huta Salem. Rittich tidak ingin menjadikan alasan kesulitan dana untuk menunda pesta itu. “Pesta ini harus menjadi hari kegembiraan bagi mereka (penderita kusta), hari kegembiraan meski dirayakan dalam kesedihan yang tak ada habisnya yang sudah menjadi bagian mereka.”
Di sisi lain, Rittich ingin mengetuk hati pengusaha-pengusaha Deli. Dengan nada sinis dia menulis, “Tapi… Oh, kamu sudah mengerti.... Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Kemudian... kami memiliki kepercayaan diri untuk mengakui hal ini kepada Anda, karena kami tahu bahwa saat ini Deli masih berpikir Huta Salem masih sebesar dan seluas Huta Salem 25 tahun yang lalu. Dua puluh lima tahun yang lalu, Deli memberikan dorongan dan bantuan untuk berdirinya Huta Salem. Sekarang Deli memilih beridiri de belakang dan tidak bersedia membantu kami merayakan ulang tahun ke-25 kami. Anda memberi 500 gelandangan di hari bahagia ini...” Ia sadar para pengusaha itu sangat sulit memberikan sumbangan. Di akhir suratnya Rittich menulis, “Terima kasih sebelumnya, atas nama penderita kusta Huta Salem, yang dengan senang hati menunggu hadiah Anda.”
ADVERTISEMENT
Tahun 1930-an, penyakit kusta berada pada perdebatan tentang kaitan penyakit ini dengan hewan. Beberapa ilmuwan menyebut kusta bisa menular ke hewan, seperti tikus dan ikan. Ikan mendapat perhatian karena di beberapa perkampungan nelayan, penularan penyakit ini cukup tinggi. Di sana basil kusta ditemukan pada ikan, juga tikus. Dikuatirkan kontak yang sangat dekat dengan manusia akan menularkan penyakit itu ke hewan. Ditemukan juga kemiripan yang sangat kuat antara kusta dengan penyakit yang diderita oleh kerbau di beberapa tempat di Jawa.
Pada akhir tahun 1935, Lembaga Kusta didirikan di Batavia dengan Dr. Lampe sebagai kepala. Tugasnya adalah mencari cara penyebaran penyakit kusta di Hindia Belanda. Hasil pengamatan Lembaga Kusta mengkonfirmasi kecurigaan di atas. Untuk daerah Batak, jumlah populasi anjing dan babi yang sangat banyak mendapat perhatian. Dikuatirkan penyakit kusta akan menyebar melalui dua hewan ternak ini. Kegemaran orang Batak mengonsumsi anjing dan babi membuat siklus perkembangan cacing pita tidak bisa dihentikan. Hal ini dianggap menjadi masalah oleh pemerintah karena orang Batak menolak memeriksakan peliharaan mereka. Karena itu pemerintah menerapkan larangan ekspor babi dari daerah Batak ke daerah sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Peristiwa Perang Dunia Kedua yang mengakibatkan pelayanan RMG terpaksa harus meninggalkan Indonesia. Mereka meninggalkan aset yang tidak sedikit di Tanah Batak. Banyak aset di bidang pendidikan, sosial dan kesehatan diambil alih oleh pemerintah Belanda, kemudian oleh Jepang dan akhirnya oleh pemerintah Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sebagian aset itu kembali ke HKBP secara berangsur-angsur, kecuali beberapa lembaga pendidikan, industri, dan juga Huta Salem.
Sumber Koran:
De Rijnsche Zending Tijdschrift, 1901.
De Rijnsche Zending Tijdschrift, 1903.
De Rijnsche Zending Tijdschrift, 1912
Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 3 Mei 1919.
Deli Courant, 6 Augustus 1925.
De Sumatra Post, 7 Augustus 1925.
De Locomotief, 1 September 1925.
De Indische Courant, 21 Januari 1936.
ADVERTISEMENT