Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kemenyan di Ujung Tanduk
18 Januari 2022 21:50 WIB
·
waktu baca 14 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanah Batak tanah kemenyan. Tanaman ini dianggap sakral. Konon kayu ini dilekatkan dengan cerita mitos.
ADVERTISEMENT
“Pada suatu hari seorang gadis yang miskin papa memasuki hutan sambil menangis karena putus asa atas kesengsaraannya. Ayahnya meminta supaya dia pulang ke kampung, tetapi tidak berhasil. Gadis itu ingin tetap tinggal di hutan dan menangis. Dia menangis begitu lama, sehingga semua air matanya habis keluar.
Tiga hari kemudian, ketika ayahnya kembali untuk menjemputnya pulang, dia sudah menjadi pohon kemenyan. Pada malam yang sama, gadis itu muncul dalam mimpi ayahnya dan menjelaskan cara menoreh pohon kemenyan dan mendapat getahnya yang tidak lain dari air matanya sendiri.”
Cerita ini masih sering diceritakan oleh para petani dan pedagang kemenyan. Diduga dulu petani banyak diselamatkan dari kemiskinan berkat kemenyan.
Kemenyan adalah getah dari berbagai jenis pohon dari Asia golongan Styrax. Terdapat dua kelompok jenis, kemenyan dari Sumatera dan Siam. Kemenyan Sumatera berasal dari pohon Sytrax benzoin, Styrax paralleloneurum dan Styrax subpaniculatum.
ADVERTISEMENT
Jenis-jenis ini juga terdapat di Semenanjung Melayu dan sebagian di Jawa Barat, tetapi rupanya orang tidak memanfaatkannya. Getah Styrax paralleloneum lebih baik dari getah Sytrax benzoin. Namun Sytrax benzoin lebih sering tercantum dalam buku botani atau pengobatan dibandingkan dengan Styrax paralleloneum.
Kemenyan Siam terutama berasal dari pohon Styrax tonkinensis dan mungkin juga dari Styrax benzoides. Kemenyan ini diolah, khususnya di bagian utara Laos, yang hasilnya mencapai 50 ton setahun dan juga di bagian utara Vietnam dalam jumlah sedikit.
Di Laut Tengah terdapat jenis Styrax officinale yang juga ditoreh dan hasilnya digunakan sebagai dupa sejak zaman dahulu. Kemenyan dalam bahasa Batak disebut haminjon. Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai menyan. Istilah ini diperkirakan berasal dari bahasa Melayu kemenyan.
ADVERTISEMENT
“Gadis miskin papa” itu kini kembali menangis. Bukan karena penderitaan hidup yang semakin bertambah, tetapi air matanya keluar lantaran setelah dia berubah menjadi pohon dan memberi berkah bagi orang Batak kemudian hendak dimusnahkan oleh pemerintah. Tangisan ini adalah tangisan ke berapa kalinya.
Dia masih ingat betul ketika satu perusahaan bubur kertas besar milik para pemodal dari pusat didirikan di tempat dia hidup. Dia ditebang habis-habisan tanpa mempertimbangkan apa pun selain hitung-hitungan untung.
Ternyata hari dia sadar bahwa saat itu adalah saat-saat di mana pembangunan sedang gencar-gencarnya dilakukan, industrialisasi dimaknai sebagai kemajuan, dan tentu saja: Siapa saja yang menghalangi semua itu akan berakhir di ketiadaan mahakelam. Namun, kini, wajarkah dia kembali menangis ketika zaman sudah berubah ke arah yang lebih baik?
ADVERTISEMENT
Dolok Sanggul, 2 Juni 2009. Beberapa warga yang sedang bekerja di hutan kemenyan pulang ke desa dan melaporkan kemenyan mereka ditebang oleh PT. TPL (Toba Pulp Lestari). Penebangan itu telah sampai ke lahan hutan kemenyan milik warga desa. Keesokan harinya ratusan warga desa Pandumaan dan Sipituhuta berjalan kaki ke hutan dan memutuskan melakukan aksi menghentikan penebangan kemenyan. Warga mengetahui bahwa pohon kemenyan milik dua desa tersebut sudah dirambah dan ditebangi PT.TPL. Aksi ini adalah aksi spontan petani.
Setibanya di hutan, mereka menanyakan pekerja TPL dengan baik-baik dan meminta para pekerja untuk menghentikan penebangan. Kemudian warga meminta sinsaw yang digunakan pekerja menebang pohon kemenyan dan mengatakan, “Jangan menebang pohon kemenyan karena ini milik warga, dan kami akan membawa sinsaw ini ke desa, silakan diberitahukan kepada pimpinan (TPL) dan menjemputnya ke desa”.
ADVERTISEMENT
Lalu mereka memberikan surat tanda terima (pengambilan sinsaw) kepada pekerja dan Humas TPL dan ditandatangani. Warga juga meminta agar pekerja TPL meninggalkan areal tersebut. Warga mengingatkan jangan sampai warga marah dan terjadi hal yang tidak diinginkan. Warga pun membawa 14 unit sinsaw pekerja TPL ke desa mereka.
Begitulah awal mulanya. Dan awal mulanya ini tak akan terjadi kalau Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara tidak mengeluarkan Surat Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari Tahun 2009, yang merujuk kepada SK Menteri Kehutanan, MS. Kaban, Nomor 44/Menhut-II/2005, tentang tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas + 3.742.120 Ha. Kedua surat ini dipakai sebagai alas hukum untuk membabat tombak haminjon (hutan kemenyan) yang sudah diusahai dan dimiliki secara turun temurun oleh warga desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kec Pollung, Humbahas.
ADVERTISEMENT
Hutan kemenyan terancam punah. PT TPL sudah menebang pohon di hutan kemenyan lebih kurang 500 ha dan diganti dengan tanaman ekaliptus sebagai bahan dasar industri bubur kertas. Hutan tersebut masuk Blok Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2013 seluas 1.900 ha di kawasan hutan Tele dalam izin PT TPL. PT TPL juga menebangi hutam alam. Hutan kemenyan seluas 4.100 hektar yang terletak di Desa Pandumaan dan Sipituhuta terancam keberadaannya. Kemenyan tidak bisa hidup sendiri. Ia harus berdampingan dengan hutan kayu alam di sekelilingnya. Hutan kemenyan itu masuk dalam kawasan adat.
Sebelum berubah menjadi TPL, perusahaan bubur kertas dan kertas ini didirikan dengan nama PT Inti Indorayon Utama (IIU) pada 26 April 1983. Pabrik ini berada di Kampung Sosor Ladang, Porsea, sekarang Kabupaten Toba Samosir. Sekitar 269.000 ha hak tanaman industri di Provinsi Sumatera Utara diberikan kepada IIU oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada 1999, Presiden BJ Habibie memutuskan untuk menghentikan sementara waktu semua kegiatan perusahaan tersebut yang memengaruhi mutu udara dan air Sungai Asahan. Perusahaan ini juga melepaskan gas klorin yang beracun selama terjadi ledakan ketel uap pada 1993. Presiden Megawati Soekarnoputri pada November 2002 mengeluarkan izin untuk PT Inti Indorayon Utama kembali beroperasi dengan mengganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari.
Pemegang saham mayoritas TPL adalah Asia Pacific Resources International Holdings (APRIL). Pemegang saham lainnya adalah Salim Group, Tirtamas Group, dan Marisan Nusantara Group. Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) menilai bahwa aparatur negara cenderung membela PT TPL.
Terbukti pada 26 Januari 2013, Brimob (satuan khusus polisi) menangkap 31 penduduk desa yang berusaha melarang para pekerja perusahaan yang menebang pohon, menanam pohon kayu putih, dan menebar pupuk di kawasan tombak hamijon.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2003, dan beribu kota di Dolok Sanggul, memiliki hutan kemenyan seluas 5.235 ha. Paling luas terletak di Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, seluas lebih kurang 4.100 ha.
Tanaman yang baru bisa diambil hasilnya dengan disadap setelah di atas usia 10 tahun masa tanam ini merupakan tanaman yang bisa disebut pemalu. Kemenyan tidak bisa hidup sendiri dan harus berdampingan dengan hutan kayu alam di sekelilingnya.
Ketika kayu alam habis ditebang maka habitat pohon kemenyan akan semakin punah. Karena kemenyan tidak bisa hidup berdampingan dengan hutan tanaman industri seperti akasia, ekaliptus, pinus, dan berbagai tanaman industri lain. Kemenyan saat ini tengah dibudi daya di beberapa kabupaten, di antaranya Dairi, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
ADVERTISEMENT
Namun penghasil terbesar adalah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Sejak masuknya PT TPL tahun 2009, penghasilan para petani di Pandumaan dan Sipituhuta semakin menurun. Jika para petani sebelumnya menghasilkan 300-500 kg per tahun, saat ini untuk mendapatkan 50 kg saja per tahun sangat sulit.
Masyarakat Pandumaan dan Sipituhuta mengelola hutan kemenyan secara turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Setidaknya sudah 13 generasi yang telah mengusahai hutan adat yang disebut Tombak Haminjon, atau tanah leluhur yang mereka garap. Tombak Haminjon terletak di tiga kawasan yang dikenal sebagai Tombak Sipiturura, Dolok Ginjang, dan Lombang Nabagas.
Tanah dalam penguasaan masyarakat dilakukan secara komunal. Siapa pun tidak boleh menjualnya. Tanah hanya diperbolehkan untuk digarap. Bagi yang ingin menggarap kawasan hutan, mereka harus mendapatkan persetujuan ketua adat yang tentunya adalah masuk dalam adat mereka, baik keturunan laki-laki, maupun perempuan yang sudah berkeluarga, serta tinggal di desa tersebut.
ADVERTISEMENT
Rakyat dari dua desa Pandumaan dan Sipituhuta berpenduduk 3.715 jiwa hidup dari menyadap kemenyan. Diperkirakan 80-90 persen kemenyan dari Sumatera Utara dikirim ke Jawa Tengah. Hasil kemenyan yang mereka hasilkan: tahun 1993-1994, 5000 ton dan 1000 ton diekspor dan 4000 ton digunakan untuk konsumsi nasional.
Masyarakat adat pemilik hutan kemenyan tak mencukupkan aksinya hanya menyita alat pemotong kayu yang digunakan perusahaan. Pada 29 Juni 2009, ribuan warga melakukan aksi protes ke Pemerintah Kabupaten dan DPRD Humbahas atas penebangan hutan kemenyan rakyat Desa Sipitu Huta dan Pandumaan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, yakni di areal hutan Lombang Nabagas, Dolog Ginjang, dan Sipitu Rura.
Hanya dalam hitungan hari, PT TPL sudah menebang pohon sekitar 200 hektar). Pada hari yang sama, Bupati (No. 180/497/HH/2009) dan DPRD mengeluarkan surat agar TPL menghentikan penebangan di areal milik dua desa tersebut.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada 14 Juli 2009 saat mentari masih rendah, ratusan warga dari dua desa ke hutan, sepanjang jalan mereka menanami kembali areal yang sudah sempat ditebang TPL dengan berbagai tanaman yang mereka bawa dari kampung, membuat plakat-plakat yang isinya menyatakan bahwa hutan tersebut milik warga Sipituhuta dan Pandumaan, melarang TPL memasuki areal dan menebangi pohon di areal tersebut.
Kemarahan warga tak terbendung lagi melihat tumpukan kayu yang ditebangi TPL, bukan hanya kayu alam tetapi juga pohon kemenyan. Sehingga mereka membakar tumpukan kayu tersebut. Menurut mereka, tumpukan kayu tersebut adalah milik mereka, dan bisa saja menjadi alasan TPL untuk memasuki areal tersebut kembali dengan dalih mengangkut kayu yang sudah sempat ditebang.
ADVERTISEMENT
Aksi kemudian berlanjut hingga polisi menculik beberapa orang warga. Dari 31 yang ditangkap, 16 di antaranya ditahan di kantor polisi. Selain Pastor Haposan Sinambela yang dituduh melanggar Pasal 160 KUHP mengenai penghasutan, para penduduk dituduh melanggar Pasal 170 tentang Kekerasan Massa. Para tahanan dibebaskan pada 11 Maret 2013 dengan wajib lapor.
Mengapa negara tampak seperti monster bagi warganya? Apa yang menyebabkan negara mengeluarkan peraturan yang nyata-nyatanya hasilnya menciptakan kesengsaraan bagi warganya? Ketika satu produk hukum dihasilkan, apa yang menjadi latar produk tersebut dihasilkan? Lalu, bagaimana negara memandang warga negara?
Menggunakan konsep Tania Murray Li (2012) “kehendak untuk memperbaiki”, kita bisa memulai pembahasan ini dari pandangan bahwa program pembangunan yang dirancang pemerintah untuk mengubah keadaan lebih baik telah turut membentuk wajah lingkungan, tata penghidupan, bahkan identitas masyrakat Indonesia selama dua abad terakhir.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, tulis Tania, program-program tersebut—dalam kaitannya dengan berbagai proses dan tata hubungan lain—justru ikut bertanggungjawab memunculkan persoalan-persoalan baru yang berkembang sekarang. Program-program pemerintah—program penataan lahan guna merasionalisasi pemanfaatan tanah dan memisahkan lahan pertanian dengan kawasan hutan, program-program pendidikan dan modernisasi—semuanya ikut berperan dalam menciptakan kesenjangan dan pertikaian sosial dewasa ini.
Pemerintah mengatasnamakan pembangunan melalui janji-janji kosong dalam bahasa demi hak azasi manusia dan dibungkus dalam kemasan kodifikasi hukum nasional maupun internasional. Apa yang digugat oleh Tania dengan konsep “kehendak untuk memperbaiki” adalah adanya kesenjangan yang muncul antara rencana dengan apa yang nyata-nyata dihasilkan.
Akibat dari ketidaksinambungan antara rencana dan implementasi di lapangan ini kemudian menghasilkan “manusia-manusia rewel” yang notabene sangat memahami hubungan antara keresahan yang mereka alami dengan buruknya rencana pembangunan yang digelar atas nama mereka.
ADVERTISEMENT
Alhasil yang timbul kemudian adalah manusia-manusia yang dipaksa bertindak, secara perorangan maupun kolektif, oleh penderitaan yang dirasakan sebagai serangan langsung dan pribadi terhadap kemampuan mereka melangsungkan hidup. Di titik inilah, tulis Tania, penggalangan massa jadi tak terelakkan karena proses pembentukan kelas, dampak merusak program pembangunan, dan kegagalan para ahli untuk memenuhi janjinya bertemu di satu simpul.
Kenapa “kehendak untuk memperbaiki” berujung pada “kehendak yang tidak diinginkan” oleh masyarakat?
“Kehedak untuk memperbaiki” diperankan oleh banyak pihak: para pejabat, misionaris, politisi dan birokrat, lembaga-lembaga donor internasional, para ahli pertanian, lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tujuan mereka sangat baik, namun cenderung utopis karena mereka mengklaim bahwa merekalah pihak yang tahu tentang bagaimana masyarakat harus hidup, apa yang terbaik bagi masyarakat, dan apa yang dibutuhkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tania menjelaskan lebih lanjut, “kehendak untuk memperbaiki” ini cenderung gagal karena kehendak itu berlangsung di gelanggang “kepengaturan”. Kepengaturan artinya pengarahan perilaku; upaya untuk mengarahkan perilaku manusia dengan serangkaian cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa.
Ke pengaturan ini membutuhkan sarana khusus dan yang menjadi sasaran pengaturannya tentu saja masyarakat. Namun, pengaturan itu takkan mungkin mencapai hingga ke hal-hal kecil, atau ke individu-individu. Kepengaturan bekerja dengan mengarahkan minat dan membentuk kebiasaan, cita-cita dan kepercayaan.
Kepengaturan melalui persuasi adalah alat penguasa untuk mendapatkan persetujuan masyarakat. Namun, persuasi tidak akan berhasil karena kekuasaan dioperasikan dari jarak jauh yang tidak perlu mendapat persetujuan dari masyarakat karena masyarakat tidak selalu sadar bahwa sebenarnya perilaku mereka diatur.
ADVERTISEMENT
Beginilah pemerintah memperlakukan warganya. Dari penjelasan inilah kemudian kita tahu bahwa petani kemenyan di Humbang Hasundutan dimasukkan ke gelanggang “kehendak untuk memperbaiki” oleh pemerintah. Namun ternyata, karena pemerintah mengharapkan masyarakat yang “teratur” melalui “kepengaturan” lewat produk hukum, tanpa merasa perlu meminta persetujuan masyarakat dengan produk tersebut, “kepengaturan” menghasilkan mobilisasi massa.
Masyarakat bukanlah seperti yang dibayangkan pemerintah: mereka adalah kumpulan individu-individu yang saling terikat dalam komunitas; mereka adalah warga yang sangat tahu tentang “pengarahan perilaku” pemerintah; mereka mengenal motif para pelaku “kehendak untuk memperbaiki” itu; dan tentu saja rencana pemerintah dengan rencana masyarakat tidak berlangsung seiring sejalan karena nyata-nyatanya kekuasaan itu dijalankan dari tempat yang sangat berjarak dari mereka.
Lalu bagaimana negara memandang warga negaranya, dalam hal ini petani kemenyan di Humbang Hasundutan? James Scott (1998) memperkenalkan konsep “ideologi hipermodernitas”. Negara modern, tulis James Scott, menciptakan peraturan untuk mengerti dan mengontrol warganya.
ADVERTISEMENT
Scott berargumen bahwa episode paling tragis dari rekayasa sosial yang diinisiasi oleh negara yang paling berpengaruh adalah gabungan dari empat hal: pengaturan administrasi atas alam dan masyarakat; kepercayaan bahwa kemajuan ilmu dan teknik akan menciptakan pengetahuan yang komprehensif dengan demikian akan meningkatkan produktivitas; negara otoriter berkeinginan menggunakan semua kekuatan pemaksa; dan melumpuhkan masyarakat yang tidak punya kapasitas untuk melawan.
Hipermodernitas, atau juga otoritarian hipermodernitas, menghendaki penyapuan visi tentang bagaimana penggunaan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik akan mendatangkan keuntungan dalam setiap aktivitas pekerjaan manusia. Proses perolehan keuntungan maksimal bagi setiap orang ini dimulai dengan mengumpulkan data yang akan membantu menjelaskan masyarakat.
Data ini kemudian akan jadi penjelasan yang kemudian menjadi norma, dan norma itu dipandang sebagai standar yang lebih tinggi. Negara menganggap kemampuan masyarakat dapat ditingkatkan jika aturan kemajuan dipaksakan ke mereka tanpa perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Dan tentu saja pemaksaan ini akan menghilangkan sumber inovasi, kemajuan, dan perubahan yang selama ini melekat pada masyarakat lokal. Pemerintah menganggap mereka sebagai pemilik pengetahuan keilmuan. Mereka memandang diri mereka sebagai intelektual yang memimpin seluruh masyarakat terhadap perbaikan setiap individu dan juga hasil yang diharapkan dari setiap individu tersebut.
Pandangan negara yang demikianlah yang berlaku di Humbang Hasundutan. Pemerintah memperlakukan mereka sebagai warga yang harus diperkenalkan dengan ilmu pengetahuan modern, yakni industrialisasi hutan.
Negara menggunakan apa yang disebut oleh James Scott di atas, yakni pengaturan administrasi atas alam dan masyarakat; kepercayaan bahwa kemajuan ilmu dan teknik akan menciptakan pengetahuan yang komprehensif dengan demikian akan meningkatkan produktifitas; negara otoriter berkeinginan menggunakan semua kekuatan pemaksa; dan melumpuhkan masyarakat yang tidak punya kapasitas untuk melawan.
ADVERTISEMENT
Dan lagi-lagi, “kehendak untuk memperbaiki” yang dibalut dengan “hipermodernitas” itu bukanlah jalan yang tepat untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Penerapan kedua konsep tersebut menghasilkan kantong-kantong resistensi.
Tampakna do tajom na, rim ni tahi do gogona. Kebersamaan adalah kekuatan. Perumpamaan Batak ini dihidupi oleh warga Pandumaan dan Sipituhuta. Hingga jauh di kemudian hari, setelah tahun-tahun panjang penuh derita, perjuangan kedua desa itu menuntut pemerintah mengembalikan tombak haminjon dari penguasaan PT TPL membuahkan hasil.
Pada 3 Juli 2018, “DPRD Humbang Hasundutan di Rapat Paripurna Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta” menghasilkan Perda Nomor 03 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta. Namun, awan tebal masih menggantung. Beberapa orang saudara mereka masih mendekam di penjara. Pun, dari sekian banyak masyarakat adat di Sumatera Utara, baru masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta yang mendapat SK Pelepasan Hutan Adat dari presiden.
ADVERTISEMENT
Bahan bacaan:
Esther Katz, ‘Pengolahan Kemenyan di Dataran Tinggi Batak: Keadaan Sekarang’ dalam Claude Guillot (penyunting), Lobu Tua: Sejarah Awal Barus. Jakarta: YOI, 2002.
Kronologis Konflik Petani Kemenyan Humbahas vs PT. TPL, Tbk, http://pulp-dan-kertas-indonesia.blogspot.com/2009/10/kronologis-konflik-petani-kemenyan.html.
Sinar Harapan, Hutan Kemenyan Terancam Punah, 4 September 2013. http://www.shnews.co/detile-24361-hutan-kemenyan-terancam-punah.html.
Kronologis Konflik Petani Kemenyan Humbahas vs PT. Toba Pulp Lestari, http://tobapulp.wordpress.com/2009/10/22/kronologis-konflik-petani-kemenyan-humbahas-vs-toba-pulp-lestari/.
Tania Murray Li, The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Tangerang: Marjin Kiri, 2012.
James C. Scott, Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New York: Yale University Press, 1998.
Delima Silalahi, Tombak Haminjon Do Ngolu Nami: Masyarakat Adat Batak Pandumaan dan Sipituhuta Merebut Kembali Ruang Hidupnya. Yogyakarta: Insist Press, 2020.
ADVERTISEMENT
Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press-Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), 2009.