Kisah Keriangan dalam Menghabisi Nyawa

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
9 Juni 2022 10:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer
zoom-in-whitePerbesar
Cover Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer
ADVERTISEMENT
Resensi Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer
ADVERTISEMENT
Tidak semua orang Medan dengan cepat mengkaitkan tempat itu dengan tahun 1965. Bahkan sangat jarang yang kenal dan tahu lokasi itu. Gedung tua yang dari luar tampak biasa-biasa saja ternyata menciptakan satu lagu yang beraroma sadis: Kalau abang ke Jalan Hindu/Tangan digari badan dipukuli/Pulang-pulang tinggal holi-holi (tulang-belulang). Lagu itu menjadi semacam lelucon di Medan.
Di sanalah Anwar Congo melampiaskan dendamnya. Dendam yang bersambut gayung lantaran saat itu adalah saat di mana seseorang yang bukan “kita” segera akan menemui ajal di ujung senjata tajam. Bukan “kita” itu adalah komunis. Pelarangan film Amerika begitu gencarnya dilakukan oleh mereka. Anwar Congo saban hari berdiri di depan bioskop yang menayangkan film Amerika itu sebagai pencatut karcis. Begitulah. Film Amerika tak tayang, perut Anwar dan teman-temannya pun mengecil. Begitu saja. Dan sesederhana itu.
ADVERTISEMENT
Joshua Oppenheimer datang dengan idealismenya. Setelah membuat film tentang buruh petani di satu perkebunan di Sumatera Utara, ternyata dia mendengar satu kesaksian yang membuatnya kemudian berkenalan dengan Anwar. Anwar yang tidak pernah menyesal dengan ratusan orang yang dibunuhnya. Anwar yang kebal dari persidangan. Anwar yang bahkan dielu-elukan sebagai tokoh panutan. Joshua selalu bertanya-tanya dalam keheranan: bagaimana masyarakat seperti ini berkembang sampai ke satu titik ketika para pemimpinnya bisa—dan biasa—membiacarakan kejahatannya terhadap kemanusiaan dengan diiringi oleh sorak yang segera saja terasa sebagai sambutan hangat tetapi juga dimaksudkan sebagai sebuah ancaman?
Orde Baru adalah negara propaganda berbalut teror. Karena itu pelaku teror mendapat tempat di mahatinggi. Teror itu berlaku di bermacam-macam bentuk. Teror Anwar adalah teror kematian. Teror dendam yang sangat sukar dijelaskan akal pikir. Tapi begitulah. Akal pikir bukanlah sesuatu yang dibutuhkan. Akal pikir, juga akal sehat, sudah lama penghuni kotak sampah.
ADVERTISEMENT
Pendek cerita: pertemuan Joshua dengan Anwar berakhir pada kesimpulan bahwa Anwar merasa perlu kisah sadisnya disaksikan banyak orang. Anwar cinta pada film. Kecintaan itulah yang membuat dia jadi tukang catut karcis di depan bioskop. Tentu mereka adalah “preman”. Dan itu tadi, larangan komunis dengan film Amerika membuat mereka menjadi pembenci paling wahid komunis. Joshua menangkap betul hasrat Anwar. Kemudian, Anwar dan teman-temannya bersepakat menyampaikan cerita pembunuhan itu kepada Joshua. Tetapi, kata Joshua, idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter. Mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Bagi Joshua ini kesempatan emas untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggungjawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
ADVERTISEMENT
Joshua pun menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka: gangster, koboi, musikal. Di dalam film itu mereka menulis sendiri naskahnya, pemerannya mereka sendiri, juga korban adalah mereka sendiri.
Kita lalu menonton kisah keriangan dalam menghabisi nyawa. Mereka menari setelah nafas terakhir sang korban terbang ke angsa. Bahkan tarian dan nyanyian adalah bagian tak terpisahkan saat mereka membunuh. Itu semakin melengkapi kebengisan cara mereka menggunakan alat membunuh yang sangat efektif: kawat. Kawat yang tidak menghasilkan erangan kesakitan sang korban saat sudah menemui ajalnya. Kawat yang tidak memuncratkan darah setetes pun dari tubuh korban. Sangat efisien. Sangat efektif.
Kekuatan film ini terletak di bagian akhir. Anwar mengalami semacam perasaan dramatis. Film itu menjadi ajang katalis bagi Anwar bagi perjalanan emosinya. Selama ini ia dielu-elukan sebagai pahlawan di kelompoknya. Dia jumawa. Namun, selama proses pembuatan film, rasa jumawa itu, rasa kepahlawanan itu, luntur berubah sesal. Dia menangis saat Joshua memutar ulang saat-saat Anwar berlaku sebagai korban yang dipaksa mengaku sebagai komunis lalu kemudian lehernya dijerat dengan kawat. Tulis Joshua, saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.
ADVERTISEMENT
Itulah Anwar. Bagaimana dengan pemerintah? Bagaimana dengan penduduk Indonesia? Anwar menangisi perbuatannya. Dia menyesal. Film ini menghadirkan kedahsyatan. Tidak salah kemudian ketika Ariel Heryanto mengatakan: Film ini berbicara banyak tentang titik terpenting dari seluruh sejarah Republik Indonesia. Hadirnya film ini sendiri merupakan sebuah peristiwa bersejarah yang sulit dicari duanya duanya. Lanjut Ariel, satu-satunya bandingan yang layak disebut adalah terbitnya empat jilid novel Pramoedya Ananta Toer. Novel Pram melacak awal terbentuknya bangsa-negara Indonesia, Jagal bersaksi tentang hancurnya sendi dasar bangsa-negara Indonesia di tangan pembantai Indonesia sendiri.
Pemerintah semestinya memberikan penghargaan kepada Joshua, bukan malah menuduh film itu sebagai pemecah belah kerukunan bangsa. Di tengah-tengah kemalasan anak bangsa berkeringat mengungkap tragedi bangsa paling kejam itu, Joshua membantu kita membuka jalan mahalebar untuk mengaku diri bahwa kita mempunyai masa kelam di masa silam. Bahwa kita “memelihara” para pembunuh bengis di sekitar kita.
ADVERTISEMENT