news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Lalu, Kenapa ke Tarutung?

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
30 April 2022 11:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tarutung. Foto: NMVW-collectie
zoom-in-whitePerbesar
Tarutung. Foto: NMVW-collectie
ADVERTISEMENT
Bagi Sitor Situmorang, Tarutung adalah jalan pental, jalan singgah, sekaligus jalan antara.
ADVERTISEMENT
Sitor adalah anak zamannya, zaman kemajuan yang mengharu biru orang Batak di awal abad ke-20. Ayahnya yang sudah bergeraja namun tetap berpegang pada “agama adatnya”, agama yang dibawanya serta ketika kebaktian Minggu di gereja, karena gereja bagi ayahnya, “hanyalah” penyesuaian diri dengan aliran baru yang membawa pendidikan melek huruf dan ilmu berhitung bagi anggota marganya. Untuk pertemuan dua budaya itu, dua agama itu, dan untuk masa depan anaknya, dia mengatakan, “Biarlah anak-anak mencari ilmu “orang kulit putih”.” Dengan ilmu itu nantinya anak-anaknya akan “berpangkat” dalam birokrasi pemerintahan Belanda. Sementara menjadi pedagang atau profesi bebas belum terpikir.
Tanah dan orang Batak sedang berubah ketika dia diantar ayahnya melanjutkan sekolah di kota ini tahun 1938. Dia menempuh jalan baru. Dia merantau.
ADVERTISEMENT
Yang mendorong orang Batak merantau, selain kemiskinan, adalah hasrat untuk maju. Setelah kedatangan zending (dan pemerintah kolonial) mereka semakin menyadari bahwa sekolah merupakan wahana yang paling efektif untuk meraih kemajuan. Sekolah akan mendatangkan kedudukan (pangkat) dan kekayaan. Ketika arus kultur modern menerobos pesat ke Tanah Batak sejak awal abad ke-20, hasrat mereka untuk meraih kemajuan itu semakin berkobar, sementara sekolah-sekolah Batakmission tidak cukup dan tidak mampu menyalurkan hasrat ini. Itulah salah satu alasan yang mendorong mereka merantau dan manuhor hamajuon (membeli kemajuan) di sekolah-sekolah pemerintah dan swasta di luar Tanah Batak.
Lalu, kenapa ke Tarutung?
Boleh jadi Tarutung menjadi tempat Sitor melanjutkan pendidikan karena orang Batak di Medan, misalnya, mendapatkan perlakuan yang tidak seperti perlakuan yang diterima orang Batak di Tarutung, yang notabene adalah Tanah Batak. Di Medan, selama bagian pertama abad ke-20, hidup di kota ini bagi orang Bataklah tidaklah mudah. Mereka berada di bawah pengawasan otoriter seorang Sultan Islam dan dianggap sebagai orang-orang kafir dan najis, pemakan-pemakan babi dan manusia, diasingkan ke daerah-daerah terbatas di kota, dan dibatasi dalam kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Edward Bruner menulis, “Jika doa Kristen dipanjatkan dalam restoran umum, maka orang-orang Batak diminta meninggalkan tempat itu. Batu-batu dan kotoran dilemparkan ke atas atap rumah-rumah partikelir, tempat mereka mengadakan kebaktian-kebaktian gereja.” Sebagai reaksi atas tekanan ini maka banyak dari orang-orang Batak sepanjang pesisir yang masuk agama Islam; yang lain lagi menghapus nama marga Bataknya, belajar berbahasa Melayu dan menyamakan dirinya dengan orang-orang Melayu pesisir. Bagian yang lebih besar lebih suka menyamar daripada menyangkal identitas Bataknya, bersikap seperti orang-orang Melayu tetapi menjalankan agamanya secara diam-diam, dan pulang ke kampung kalau hendak mengadakan upacara-upacara adat.
ADVERTISEMENT
Sitor menempatkan dirinya sebagai anggota masyarakat di titik “tahap”: era yang bergerak dari zaman puak, kemudian diorbitkan oleh arus modernisasi sekaligus internasionalisasi yang menjagad.
Sitor sewaktu kecil bernama Raja Usu. Dia tidak pernah mengingat kapan nama itu berganti menjadi Sitor selain sewaktu sekolah dasar namanya tercatat di sekolah sebagai Raja Usu alias Sitor Situmorang.
Bersekolah membuat Sitor berkenalan dengan zaman baru. Zaman itulah yang membuat Sitor menyesuaikan diri, kemudian banyak hal bertanggalan dengan sendirinya, dengan menerima segala sesuatu yang baru. Sebelum ke Tarutung, dia berkenalan dengan Balige. Di kota kecil ini dia bersentuhan dengan kehidupan yang sudah dilalui orang-orang dari negeri dan benua jauh.
Sitor yang remaja dan Sitor yang sedang ingin lepas dari kenangan masa lalu. Masa lalu apa? Sepertinya Ia hendak meninggalkan sempurna Harianboho, kampung halamannya. Namun, tidak dengan Ayahnya. Tarutung, ternyata, menampung sempurna hasrat itu. “Badan, hati dan otak berkembang subur dalam iklim yang sebaik-baiknya dan menurut waktunya,” ujar Sitor.
ADVERTISEMENT
Di masa remajanya yang bersekolah, Sitor mengagumi De Booy, kepala sekolahnya yang orang Belanda. Dia “adalah manusia teladan yang ingin saya contoh, tandingan dari tuan pendeta yang angkuh rohani.” Kenapa bisa demikian? Karena De Booy, dan semua gurunya, seolah-olah ingin menandaskan bahwa mereka mampu mencapai apa saja yang ingin mereka capai.
Adakah hal lain yang harus diceritakan tentang Tarutung? Ternyata Sitor jatuh cinta kepada seorang gadis Batak. Ayah gadis itu mengirimnya ke “negeri leluhur” dari Batavia karena di sana terlalu suka berpacaran. Tarutung, menurut orangtuanya, akan membuatnya kembali menapaki jalan sewajarnya yang harus ditempuh oleh gadis Batak. Sepertinya cinta selalu mencari kehendaknya sendiri. Mendengar latar gadis itu malah membuatnya semakin tak karu-karuan. Dia memuja gadis itu: “Gayanya, senyumnya, pandangnya, geraknya yang bebas.” Sitor mengharu biru meski cintanya bertepuk sebelah tangan. Dan memang, selama bersekolah di Tarutung, Sitor tidak pernah berhasil berpacaran, “kecuali berkencan dengan gadis sepupu jauh, sebagai jajagan bidang seks terbatas pada raba meraba, di waktu liburan.”
ADVERTISEMENT
Bahkan, hingga Jepang tiba di kota ini, Sitor hanyalah berhasil bercerita tentang gaya remaja Tarutung berpacaran: “Di kota seperti Tarutung pacaran di sekolah berarti jalan bersama ramai-ramai, gadis dan pemuda tanggung. Yang paling pemberani bertandang di malam Minggu, apalagi kalau purnama, bukan di tempat orangtua tapi di rumah orang di banjar agak di pinggir kota. Onani ramai di asrama. Nyai di balik pagar berduri juga tidak terjangkau.”
Tarutung itu kecil semata. Namun, salah satu sekolah menengah pertama terbaik di Hindia Belanda berada di kota ini: Sekolah Menengah Pertama Kristen (Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau Christelijke MULO) Dr. Nommensen. Di sanalah Sitor bersekolah. Demikian juga TB Simatupang.
TB Simatupang bercerita, bersekolah di MULO Tarutung berarti mengikuti disiplin yang cukup ketat, yang hampir menyerupai kehidupan dalam asrama militer yang dikombinasikan dengan kegiatan keagamaan. Jadwal setiap hari: bangun pagi, mandi, berdoa bersama, makan pagi bersama, kebaktian pagi di sekolah, pelajaran, makan siang, tidur di bawah pengawasan seorang guru, mandi, belajar siang di bawah pengawasan seorang guru, makan malam, belajar malam di bawah pengawasan seorang guru, ibadat malam dan tidur. Hari minggu mengikuti ibadat di Gereja Pearaja. Sepulang gereja, mereka berjalan-jalan mengelilingi kota. Pada malam Minggu banyak yang menonton bioskop. Di tempat yang sama, tentara penghuni tangsi juga menonton film. Dalam perjalanan pulang ke asramanya masing-masing, siswa-siswa MULO dan tentara melewati jalan yang sama menaiki bukit. Sepanjang tahun maka sering terjadi perkelahian antara siswa-siswa MULO dan anggota-anggota tentara di jalan yang menaiki bukit itu.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, TB Simatupang dipanggil ke kantor guru. Dia kedapatan berbahasa Batak di lingkungan sekolah. Guru-guru Belanda berusaha agar siswa-siswa MULO yang semuanya adalah orang-orang Batak menggunakan bahasa Belanda di antara mereka. Bahkan pernah hendak diadakan denda untuk siapa saja yang kepergok berbahasa Batak. “Saya dengar kamu berbahasa Batak,” kata gurunya. “Saya tidak berkata apa-apa, saya hanya ketawa,” jawab Simatupang. “Tetapi kamu tertawa secara Batak,” ujar gurunya. “Saya dapat belajar bahasa Belanda, tetapi saya tidak dapat belajar ketawa secara Belanda. Kalau mau didenda oleh karena itu, terserah,” jawab Simatupang.