Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ndang Ditanda Hamu Ahu?
10 Oktober 2021 5:44 WIB
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
11 Juni 1933. Malam sudah larut. Lolongan anjing sesekali terdengar di Dolok Na Godang, desa dekat Sipahutar, Tapanuli. Martin Silitonga, seorang guru misi, sudah terlelap ketika pintu rumahnya diketuk. Hermanus, yang mengetuk pintu itu, mengulanginya lagi karena belum ada jawaban dari dalam rumah. Martin terbangun mendengar suara di pintu. “Siapa itu?” tanya Martin. “Ndang ditanda hamu ahu (Apakah Guru tidak mengenal saya)?” tanya Hermanus.
ADVERTISEMENT
Martin sepertinya menaruh curiga. “Kenapa kamu datang larut malam dan apa yang mendesak?” tanyanya. “Ada sesuatu yang mendesak untuk didiskusikan,” jawab Hermanus.
Martin kemudian membuka pintu. Dalam sekelebatan saja, senjata Saman, teman Hermanus, menghantam dada Sang Guru. Martin terkejut lalu berteriak, “Amang oi…, amang oi…, na mangago do hamu hape di ahu (Aduh…, aduh…, kenapa kalian ingin membunuhku?)”
Sang Guru mencoba membela diri. Saman didorongnya hingga terjatuh ke tanah. Namun, Saman segera bangkit lalu menusuk Sang Guru. Tiga orang temannya yang sedari tadi berdiri di belakang segera ikut menyerang Sang Guru. Tidak butuh waktu lama Martin pun meninggal.
Mendengar kejadian itu, istrinya yang sedang mengandung, bangun. Dia melihat suaminya sudah tidak bernyawa. Dia berteriak ketakutan.”Jangan bunuh aku. Kami tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku sedang hamil.” Teriakan itu tidak berpengaruh apa-apa selain nyawanya dan anak yang dikandungnya pun melayang di tangan tamu di tengah malam itu. Perut istri Martin ditikam hingga dia terjatuh terjerembab.
ADVERTISEMENT
Para pembunuh itu kemudian mengobrak-abrik rumah. Mereka mengambil uang dan pakaian. Gonggongan anjing yang semakin kuat dan ramai mempercepat mereka meninggalkan rumah Sang Guru. Di satu tempat yang mereka anggap sudah aman, hasil jarahan itu dibagi. Saman mendapatkan lima gulden, sementara yang lainnya mendapat masing-masing tiga gulden.
Tidak butuh waktu lama bagi polisi menangkap kelima pelaku. Bulan berikutnya mereka ditangkap di Tarutung. Pengadilan pun digelar di Tarutung. Mereka terbukti melakukan pembunuhan berencana. Empat orang dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara Hermanus dijatuhi hukuman mati. Hermanus meminta pengurangan hukuman ke Gubernur Jenderal, namun permintaan itu tidak dikabulkan.
Di tempat lain, tidak jauh dari Tarutung, di Pagaran Batu, seorang guru dibunuh oleh enam orang perampok di rumahnya. Guru tersebut ditikam di perut dan kemudian mengambil uang dari rumahnya. Keenam pelaku dihukum sangat berat. Satu orang dihukum mati, satu orang 20 tahun penjara, dan empat orang 15 tahun penjara. Seorang kaki tangan membantu mereka dan dia dihukum empat tahun penjara.
ADVERTISEMENT
***
Guru misi, atau guru sending, kerap mengerjakan dua pekerjaan pokok yang satu dengan lainnya hampir tidak bisa dipisahkan, yakni guru sekolah dan guru injili. Tidak mudah menjadi guru misi. Guru misi adalah tangga terakhir yang harus ditempuh sebelum menjadi pendeta. Sementara untuk menjadi seorang guru, inilah tahapan yang harus dilalui: harus tamat dari sekolah dasar lima tahun, dan setelah dua tahun di sekolah pendidikan guru lalu menempuh ujian negara untuk mendapat ijazah guru.
Guru misi dilengkapi dengan wewenang rangkap, yakni menjalankan tugas dari gereja dan dari Departemen Pendidikan Pemerintah. Bila hendak melanjutkan menjadi pendeta, guru misi harus bekerja dengan baik kurang lebih sepuluh tahun dalam sebuah jemaat dan kemudian kembali mengikuti pendidikan teologia selama dua tahun lagi.
ADVERTISEMENT
Tugas guru misi dari gereja mengemban tanggung jawab yang besar. Mereka bekerja dari pagi hingga malam. Seorang pembantu yang digaji akan menemani guru misi mengerjakan pekerjaannya. Pukul tujuh pagi hingga pukul satu siang, enam hari dalam seminggu, ia mengajar kelas-kelas sidi. Pukul dua petang, ia melatih penatua-penatuanya berkotbah. Selepas itu ia berkumpul dengan penatua-penatuanya untuk menerima laporan-laporan dan membicarakan persoalan-persoalan mereka dalam melayani jemaat. Selain itu, sebanyak tiga kali dalam seminggu, pada sore hari, ia mengunjungi orang-orang sakit dan keluarga-keluarga yang sangat miskin. Ia juga harus melatih para remaja gereja bernyanyi dan mendalami Alkitab. Setelah selesai berkotbah di ibadah Minggu, ia melatih paduan suara gereja.
***
Tidak sedikit dari misionaris yang menganggap orang Batak harus diperbaiki akal dan budayanya. Mendidik orang Batak menjadi guru adalah salah satu cara yang dilakukan. Namun, para misionaris kerap kecewa. Ternyata, orang Batak menghendaki lebih banyak dari hanya bertobat dan menjadi seorang Kristen. Seorang misionaris mengeluhkan hal itu: “Hal-hal yang mendapat perhatian mereka dalam kontak pertama dengan Injil hanyalah kekayaan, kehormatan dan kekuasaan yang bertambah. Jika Injil dapat mendatangkan hal-hal ini kepada mereka, maka mereka bersedia mendengarkan. Jika tidak, mereka tidak bersedia”
ADVERTISEMENT
Boleh jadi Hermanus dan kawanan perampok yang membunuh itu adalah murid Martin Silitonga. Boleh pula tidak. Martin Silitonga meninggal di rumahnya. Apakah Hermanus dan kawanan perampok yang membunuh itu bagian dari “mereka yang tidak mendengarkan Injil”? Apakah Hermanus dan kawanan perampok yang membunuh itu “mereka yang tidak bersedia menjalankan Injil” karena kehormatan, kekayaan, dan kekuasaan tidak kunjung mereka miliki? Hermanus, Saman, dan kawanan perampok yang membunuh itu: apakah mereka Kristen?
Seorang pendeta Jerman yang bertugas di Tanah Batak mengatakan, “Dalam agama Kristen itu, mereka (orang Batak) menemukan suatu rasa solidaritas sebagai suku bangsa, suatu perasaan kebersamaan yang sebelum itu belum mereka kenal.”
Malam itu, diiringi gonggongan anjing, Hermanus bertanya sebelum membunuh Sang Guru, “Ndang ditanda hamu ahu?”
ADVERTISEMENT
Sumber bacaan:
Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Paul Bodholdt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja2 Batak di Sumatera Utara. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975.
De Locomotief, 12 Maart 1934
Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 12 maart 1934
Deli Courant, 12 Maart 1934
Nieuwe Vlaardingsche Courant, 3 Juli 1935