Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pesan Keberagaman dari Tarutung
3 November 2023 20:59 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba saja mereka akrab. “Aku sekelas dengan adek Kakak,” ujar Ibu di Kawasan Komplek Masjid Tarutung saat bertemu dengan anak rantau yang sedang pulang kampung. Mereka kemudian saling menimpali. Tamu itu tinggal di Belanda dan dia seorang Kristen. Masa kecilnya dihabiskan di Komplek Masjid. Selepas menamatkan kuliah dia merantau ke Belanda dan berdomisili di sana. Ibu yang menyapanya adalah adek kelas kakaknya. Ia seorang muslim. Anak rantau yang sedang pulang kampung itu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menentukan panggilan Batak mana yang harus mereka gunakan untuk bertegur sapa.
ADVERTISEMENT
Masih di kawasan yang sama, seorang Ibu bersuku Minang memanggil eda kepada tetangganya yang Batak. Eda adalah panggilan kepada perempuan orang Batak kepada saudara perempuan suaminya. Namun, di Komplek Masjid Tarutung, panggilan itu sudah mencair melampaui Batas etnis. Warga Minangkabau yang sudah lama bermukim di sana menggunakan panggilan itu dalam keseharian.
Pada 3 Agustus 2023 lalu, Komplek Masjid Tarutung diresmikan sebagai Huta (Desa) Moderasi Beragama IAKN Tarutung. Desa moderasi beragama adalah program Kementerian Agama. IAKN Tarutung adalah satuan kerja Kementerian Agama yang dipercayakan mendirikan desa moderasi beragama tersebut. Peresmian Huta Moderasi Beragama tersebut adalah perayaan untuk praktek keberagaman yang sudah berakar sangat dalam di daerah tersebut. Begitu dalamnya sehingga warga di sana tidak bisa mengingat kapan sejatinya praktek keberagaman itu bermula. Yang mereka pahami adalah praktek hidup toleran tersebut tidak akan pernah mereka pikirkan untuk berakhir. Mereka memiliki banyak kisah tentang perjumpaan-perjumpaan keseharian dalam penghormatan terhadap keberagaman.
ADVERTISEMENT
Ita Hasibuan membongkar rumahnya untuk dibangun yang baru. Kayu-kayu yang tak bisa digunakan lagi tidaklah dibuang. Ia memanggil Labora Tampubolon, tetangganya yang Kristen, mengambil kayu itu. “Ini kayu untuk masak B2 (sebutan untuk babi)-mu,”ujar Ita. Ita tahu Labora membutuhkan kayu bakar untuk memasak makanan khas Batak itu. Ita juga punya cerita menarik. “Saya berteman dengan Netti. Agamanya Kristen. Bila hari Natal atau Paskah, kami sering pergi jalan-jalan. Saya bilang ke Netti, ‘Udah, bergereja dulu kau baru kita jalan-jalan.’ Sebaliknya, Netti pun demikian. Dia juga selalu mengingatkan saya untuk sholat.”
Demikian juga cerita Sari Tanjung. “Ibu saya berjualan makanan,” ujarnya. Terkadang mereka kehabisan nasi untuk dijual. “On indahan. Alap tu son (Ini ada nasi, ambillah),” ujar tetangganya yang Kristen. Tetangga juga memberikan airnya secara gratis untuk digunakan warung Tanjung tersebut. “Dari sini saja air ambil. Belilah selang,” ujar tetangganya. Nasi sisa para pembeli lalu dikumpulkan. Setiap mau tutup, sisa nasi itu akan diberikan ke tetangga. “Untuk makanan babi,” ujar Sari Tanjung.
ADVERTISEMENT
Kita pun harus memperhatikan dengan saksama cerita Ibu Tobing berikut. Ibu Tobing memiliki kos-kosan. Ia tidak pernah mempermasalahkan agama penghuni kos-kosan-nya. “Malah, sampai sekarang aku itu bingung. Ada saudaraku di Medan. Dia punya kos-kosan. Kalau kulihat di situ, bingung aku. Dibuat di situ, “Khusus untuk Muslim”. Wow… Kenapa musti ada di situ “Khusus untuk Muslim”? Saya bingung sampai sekarang. Tapi di sini, nggak pernah kami buat “Khusus untuk Kristen”,” ujarnya.
Cerita keberagaman di Komplek Masjid Tarutung dan kisah persahabatan antariman di sana adalah praktek hidup yang sudah dilakoni cukup lama dan hubungan antariman yang terpelihara sangat baik.
Warga Komplek Masjid Tarutung sangat memahami konsep dasar hubungan sosial orang Batak. Dasar fundamental hubungan sosial orang Batak Toba ialah marga. Dalam hubungan sosial, marga adalah unsur dasar yang menentukan bentuk hubungan sosial partuturon (term of reference). Setelah saling memberitahukan marga, masing-masing mengingat latar belakang silsilah dan analogi internal dan eksternal. Latar belakang silsilah dan analogi itu antara lain tingkatan kedudukan dalam silsilah. Dengan cara ini mereka dapat menentukan referensi panggilan (term of address), adik atau abang, bapak tua atau bapak muda, saudara perempuan, ito atau bibi, namboru (dianggap saudara perempuan ayah) atau anak perempuan yang dipanggil boru. Hubungan melalui analogi dilakukan dengan cara mengingat marga ibu, marga istri semua saudara laki-laki ayah, marga nenek kandung dan semua istri saudara laki-laki kakek. Demikian seterusnya sampai marga ibu moyang sebagai marga itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kemudian analogi eksternal dilakukan dengan mengingat marga semua suami saudara perempuan ego, saudara perempuan ayah, saudara perempuan kakek dan seterusnya sampai tingkat silsilah lebih tinggi. Demikian jiga perlakuan analogik terhadap semua marga istri saudara laki-laki dan marga suami saudara perempuan ibu.
Moderasi Beragama, bukan Moderasi Agama
Demikian juga hubungan antaragama di kawasan tersebut. Ruang dialog yang dibangun adalah ruang penerimaan perbedaan. Kita tahu hambatan terbesar membangun ruang dialog antaragama adalah kekeliruan asumsi bahwa suatu agama dalam segi ajaran pasti tidak akan sesuai atau cocok dengan agama lain. Namun, asumsi yang keliru ini bukan untuk dipertentangkan dengan kekeliruan asumsi yang lain yang menganggap bahwa semjua agama sama saja. Namun, di Komplek Masjid Tarutung, mereka menemukan jalan keluar. Jalan keluar yang mereka pilih berpangkal pada asumsi bahwa banyak hal-hal yang tidak sama dalam agama-agama, tetapi ada juga hal-hal yang sama, yang dapat menjadi titik temu dalam kemajemukan yang ada. Dalam setiap agama ada hal-hal yang khas, yang partikular. Tetapi sekaligus ada juga hal-hal yang umum, yang universal. Maka, idealnya pertemuan agama yang satu dengan agama lainnya di ruang publik adalah menyeimbangakan yang partikular dengan yang universal.
ADVERTISEMENT
Moderasi beragama bukanlah moderasi agama. Moderasi agama yang dimoderasi adalah ajaran agamanya, sementara moderasi beragama yang dimoderasi adalah sikap kita beragama. Moderasi beragama bukan bertujuan memoderasi ajarannya. Ajaran itu adalah forum internum: ada dalam diri kita; tidak boleh siapa pun mengganggu itu. Tidak ada yang boleh menyalahkan itu. Karena itu tidak boleh mengkafirkan ajaran karena itu hak setiap orang untuk mempercayai ajaran yang dipercayainya.
Tak mudah mengartikan moderasi beragama. Namun, tak sulit menemukan praktiknya di lapangan. Moderasi beragama bertulangpunggungkan toleransi. Toleransi yang dipraktekkan akan tampak, meminta istilah Mohammad Hata, seperti garam. Garam itu terasa tapi tak terlihat. Mohammad Hatta mengkontraskannya dengan gincu. Gincu itu terlihat tapi jelas tak ada rasa. Dengan demikian, yang terasa tapi tak tampak itu menggambarkan betapa praktek-praktek yang sudah dilakukan di dalam masyarakat sudah membaur sedemikian rupa sehingga menjadi bagian yang tak perlu ditampakkan. Ketampakan toleransi itu terwujud dalam praktek alamiah keberagamaan. Itulah rasa toleransi.
ADVERTISEMENT
Moderasi beragama harus dengan sangat tegas diartikan sebagai praktek yang menganggap agama-agama pada dasarnya tidak sama. Karena itu moderasi beragama adalah sarana untuk menjawab realitas masyarakat kita yang plural. Moderasi beragama dan toleransi pun terikat sempurna dengan pluralisme. Atau boleh dikata, ketiga-tiganya saling bertukar, atau bahkan satu-kesatuan yang hanya beda dalam penyebutan saja. Benang merah di antara ketiganya terletak pada paham bahwa pluralisme-moderasi beragama-toleransi bertitik tolak dari perbedaan itu sendiri. Insan toleran adalah mereka yang mengakui perbedaan. Dengan kata lain, tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan.
Pada akhirnya, moderasi beragama yang menghasilkan orang-orang moderat bermuara pada hal pokok ini, yakni siapa pun yang berhubungan baik dengan Tuhan haruslah berhubungan baik dengan sesama.
ADVERTISEMENT