Konten dari Pengguna

Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Kontekstual (Bagian II)

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
22 Agustus 2021 18:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pramoedya Ananta Toer. Foto: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Pramoedya Ananta Toer. Foto: kumparan.com
ADVERTISEMENT
Sastra menjadi panggung paling tepat bagi Pramoedya mengekspresikan perlawanannya kepada segala sesuatu yang dianggapnya menghalangi kedaulatan kemanusiaan, termasuk di dalamnya budaya Jawa yang mengelilinginya semenjak kecil. Penggambarannya tentang budaya Jawa yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan tampak betul di roman Gadis Pantai. Kisah ini adalah hasil perpaduan imajinasi Pramoedya tentang neneknya dan penggambaran apik salah satu produk budaya Jawa: priyayi.
ADVERTISEMENT
Walaupun fiksi dan imajinasi, kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkaitan atau diangkat dari kenyataan dan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia Indonesia. A. Teeuw menyebut roman ini sebagai roaman sosial-kritis tentang nasib gadis rakyat biasa yang di-‘hadiah’-i untung baik menjadi teman ranjang seorang priyayi dan melahirkan anak serta tentang kesewenang-wenangan yang terakhir dan ketakberdayaan yang pertama. Kita kemudian tahu, setelah Gadis Pantai melahirkan anak perempuan, dia diusir dari istana suaminya sendiri yang seorang priyayi tanpa membawa serta anak yang baru dilahirkannya itu.
Dengan demikian, kita kemudian bisa mengajukan pertanyaan: Apa manfaat sastra bagi Pramoedya Ananta Toer? Pertanyaan ini mengingatkan kita ke peristiwa di tahun 1984-1985. Di saat itu dua kubu sedang “berperang” untuk menjawab pertanyaan yang sama: apa manfaat sastra? Kubu yang satu menyebut sastra itu bersifat universal, sementara kubu yang satu lagi menyebut sastra itu mestilah kontekstual.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu kemudian dipilah menjadi tiga permasalahan pokok dalam kesusastraan: karya sastra, hakikat sastra, dan manusia bersastra. Karya-karya sastra tentu saja bersifat material. Artinya dapat diamati, dipegang tangan, dimakan rayap, atau dibakar penguasa. Hakikat sastra bersifat non-material. Ia ada dalam pikiran kita sebagai kategori yang membedakan apa yang “sastra” dan apa yang “bukan sastra”.
Hakikat sastra ini, bagi kedua pihak, menjadi perdebatan yang tidak menemukan titik temu. Bahkan bisa dikatakan kedua kubu berdiri di arah yang saling berlawanan. Paham yang mengatakan sastra itu universal berkeyakinan adanya suatu hakikat sastra yang berlaku universal. Yakni suatu hakikat tunggal yang seragam untuk segala masyarakat dari segala zaman. Menurut paham ini juga, hakikat sastra dianggap lebih penting dari karya-karya sastra. Bagi mereka hakikat sastra yang non-material itu diangankan sebagai sesuatu yang universal, kekal, atau abadi, steril dari perubahan zaman dan masyrakat. Mereka berkesimpulan bahwa dunia ini seakan-akan seperti tong besar tempat jatuhnya karya-karya sastra dari sumber hakikat sastra di awing-awang “atas” sana lewat perantara sastrawan. Karena itulah kemudian mereka beranggapan terbentuknya hakikat sastra itu adalah sebuah misteri.
ADVERTISEMENT
Sementara penganut paham sastra kontekstual memandang hakikat sastra itu bukanlah sesuatu yang abadi, bukan bersifat universal. Bagi mereka persoalan kesusastraan diakui bersumber dari rangkaian peristiwa konkrit dan tingkah manusia nyata di bumi ini. Atau: sastra itu tidak pernah lepas dari konteks sosial. Sastra kontekstual tidak menganggap hakikat sastra itu sebagai misteri. Hakikat sastra itu tidak saja dapat, tapi mutlak perlu dipahami bagaimana terbentuknya. Hakikat sastra dibentuk dan diubah-ubah oleh tingkah manusia. Bersastra bagi penganut paham ini adalah usaha untuk memahami terbentuknya karya-karya sastra di suatu tempat dan masa tertentu senantiasa membutuhkan pemahaman hakikat sastra yang berlaku di situ waktu itu.
Persoalan pokok terakhir dalam sastra, manusia bersastra, paham sastra universal memandang manusia hanya bisa berusaha menggapai-gapai pemahaman tentang hakikat di awing-awang itu. Manusia tidak ikut membentuk dan tidak dapat menawar-nawar atau mengubahnya. Karena itu, di kubu ini kita mengenal berbagai semboyan yang muncul yang mengagungkan hakikat sastra dan juga seni dan budaya. Misalnya: “Jika dunia dikotorkan manusia yang berpolitik, puisi yang akan menyucikannya.” Atau, “Oleh seni manusia dimanusiawikan.” Atau, “Seni membuat manusia menjadi manusia seutuhnya.” Karena pengagung-agungan terhadap seni dan budaya itu, paham universal menganggap manusia-manusia nyata sebagai “hamba-hamba” budaya/seni/sastra.
ADVERTISEMENT
Bagi paham sastra kontekstual, manusia dipandang sebagai pusat dari seluruh kegiatan dan peristiwa budaya/seni/sastra. Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai makhluk sosial, individu-individu yang tidak terpisah satu sama lain. Mereka menganggap manusia sebagai pencipta budaya/seni/sastra. Jika suatu budaya/seni/sastra berwatak lalim dan menindas, manusialah yang dipandang sebagai dalangnya. Manusialah yang bertanggung jawab memperbaikinya. Manusia tidak diperhambakan untuk budaya/seni/sastra itu. Paham kontekstual sesuai dengan keyakinan agama-agama yang mengajarkan bahwa manusia diciptakan Tuhan sederajat.
Hal ini dibenarkan oleh Sapardi Djoko Damono. Menurut Sapardi, sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Sapardi mengajukan beberapa pertanyaan yang jadi pertanda hubungan di antara ketiganya: sastrawan, sastra dan sastrawan. “Apakah latar belakang sosial pengarang menentukan isi karangannya?” “Apakah dalam karya-karyanya si pengarang mewakili golongannya?” “Apakah karya sastra yang digemari masyarakat itu sudah dengan sendirinya tinggi mutunya?” “Sampai berapa jauhkah karya sastra mencerminkan keadaan zamannya?” “Apakah pengaruh masyarakat yang semakin rumit organisasinya ini terhadap penulisan karya sastra?” “Apakah perkembangan bentuk dan isi karya sastra membuktikan bahwa sastrawan mengabdi kepada selera pembacanya?”
ADVERTISEMENT
Bagi Sapardi, sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Lebih lanjut Sapardi: “Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.”
Dengan demikian, saya menggolongkan Pramoedya Ananta Toer kepada sastrawan yang menganut paham sastra kontekstual. Sesungguhnya, tulis Pramoedya, pandangan hidup dan sejarah seorang seniman adalah motor, sumber, yang menggerakkan penciptaan. Mempelajari hasil seni seseorang pada hakikatnya mempelajari sejarah kepribadian dan pandangan hidup yang memaksanya mencipta. Karena, akhir-akhirnya, sesuatu ciptaan adalah suatu keharusan yang dilahirkan oleh sejarah kepribadian dan pandangan hidup seseorang.
ADVERTISEMENT
Bagi Pramoedya, sastra itu berfungsi sebagai alat untuk mengembangkan cita. Kesusastraan yang berfungsi sebagai pancaran dari kegiatan jiwa, bahkan perjuangan jiwa, dan juga sebagai dokumentasi manusia. Kesusastraan sesungguhnya bukanlah permainan kata kosong belaka seperti disangkakan oleh mereka yang baru belajar bahasa. Kesusastraan diperuntukkan bukan hanya untuk meladeni nafsu pembaca semata. Ia harus kuasa membawakan gambaran tegas dari cita pengarangnya. Dan seorang pengarang akan dianggap benar-benar menghasilkan karya bila dengan tulisannya ia memperjuangkan kepercayaannya dan kebenarannya.
Inilah kemudian yang membuat Pramoedya tidak memandang penciptaan karya sastra demi pengejaran nilai-nilai keindahan saja. Dalam hidup ini begitu banyak yang harus diberi perhatian, bukan keindahan saja. Tanya Pramoedya: Apakah keindahan? Baginya, arti keindahan itu sendiri adalah sesuatu yang meragukan. Sesuatu yang meragukan karena keindahan takkan bisa diyakinkan pada seorang dengan kata-kata saja, karena ia soal perseorangan. Keindahan adalah wujud dari subjektivitas.
ADVERTISEMENT
Ketika kesusastraan diciptakan hanya untuk mengejar keindahan saja, itu hanya membuat karya sastra itu sendiri menjadi sempit. Menurut Pramoedya: “Dengan keindahan saja orang akan terkatung-katung antara segala-galanya. Ia jadi kurban pancaindra yang tak luput dari kesalahan kerja. Dan keindahan-keindahan itu adalah negative, tak berjiwa, bila tidak dialirkan ke sesuatu tujuan dalam sesuatu wujud-wujud yang tertentu. Dalam kesusastraan ia hanya merupakan bahan, tiada berbeda dengan bahan-bahan seorang pengarang yang lain-lain lagi. Keindahan tak punya hak untuk memaksa kesusastraan untuk meluluskan segala permintaannya.”