Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sejak Kapan “Willem” menjadi Nama Orang Batak?
25 Agustus 2022 22:07 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tarpudi ma Si Willem sahali ro tu porguruan ni anaksikola angka na umbalga, dung salpu hos ari. Djadi didok guruna ma tuibana: “Boasa umpudi ho, Willem, sian angka donganmu sahali on?”
ADVERTISEMENT
Dung i ninna Si Willem ma mangalusi: ‘Tibu do ahu borhat nian sian huta. Alai huida nangkin di topi ni dalan balobung sada halak natuatua, naung lodja morsiboanon. Djadi dung sahat tu ahu djolona, dipangido ma aek inumon tu ahu, ai namauas situtu do ibana huhut. Dung i mulak ma ahu muse tu huta mangalap aek, djadi hupainum ma natuatua i. Dung minum ibana, gabe sumuang ma gogona, djadi tarbahensa ma mordalan muse. I ma alana, umbahen so libu sahat ahu, ale gurunami.”
Dung i ninna guru i ma mandok Si Willem: “Antong na denggan do na binahenmi. Mortua ma angka na morasiniroha, ai siasian do nasida sogot.”
Satu pagi, Willem datang terlambat ke sekolah. “Kenapa datang terlambat, Willem?” tanya gurunya. Willem pun menjelaskan. “Saya tadi cepat berangkat dari rumah. Namun, di tengah jalan, saya melihat seorang orang tua terjatuh karena jalan berlobang. Dia tampak sangat kelelahan. Saya mendatanginya dan dia meminta air minum. Dia sangat haus. Saya lalu pulang ke rumah mengambil air minum. Setelah dia meminumnya, tenaganya kembali pulih untuk berjalan. Karena itulah, gurunami, yang membuat saya datang terlambat.”
ADVERTISEMENT
Gurunya kemudian menimpali, “Betapa baik yang kamu lakukan itu, Willem. Berbahagialah mereka yang berbelas kasih karena mereka akan menjadi anak kesayangan.”
Kisah ini ditulis di buku bacaan anak-anak orang Batak zaman dulu, tahun 1910-an. Buku itu dicetak tahun 1916, berjudul “Bungabunga na angur: Buku sidjahaon ni anaksikola metmet, angka na di rongkanan panonga.” Selain kisah-kisah tentang dunia sekolah anak-anak Batak, buku ini membersitkan tulisan ini ke pembahasan tentang: nama. Dengan demikian, pertanyaannya: Sejak kapan nama-nama orang Batak bersalin menjadi nama Barat?
Bungabunga na angur ditulis oleh misionaris Eropa, Rheinische Missionsgesellschaft (RMG), dan pendeta Batak. Mari kita lihat nama-nama pendeta Batak tersebut: Theophilus Harahap, Kassianus Lumbantobing, Wilhelm Hutabarat, Cyrillus Lumbantobing, Arsenius Lumbantobing. Tokoh cerita yang mereka rakit dalam buku itu pun mencamtumkan nama yang bukan nama Batak: Martin, Elkana, Maria, Johanna, Peter, Johannes, Karel, Justin, Gerrit, Heini, Hektor, Joab, Lukas, Hendrik, Hermanus, Immanuel, Nero, Wili, Herman, Willem, Bello, Abel, Emelia, Jakob, Gajus, Julia, dan Luisa.
ADVERTISEMENT
Buku cerita boleh jadi dirakit dengan mendapuk begitu saja nama-nama Barat. Tujuannya, barangkali, memperkenalkan nama-nama itu ke telinga orang Batak. Barangkali juga memasukkan nama-nama Barat tidak bisa dilepaskan dari perasaan keunggulan ras orang-orang Eropa yang ada di tanah Batak. Karena penginjilan hampir-hampir tidak bisa dilepaskan dari bagian pemberadaban “orang-orang tak beradab”. Nama dan penamaan, dengan demikian, menjadi teramat penting.
Bagaimana dengan nama orang Batak yang tidak berada di dalam buku cerita?
Tahun 1904, generasi pendeta pertama Batak sudah dipercayakan zending berkotbah di gereja. Mereka disebut sitotas nambur; para perintis. Mereka sudah terdidik dan sudah terbiasa menulis buah pikiran. Sebelum berkotbah, mereka terlebih dahulu menuliskan isi kotbah mereka untuk kemudian dibacakan di altar gereja di hari Minggu. Tentu saja mereka berkotbah dalam bahasa Batak. Kita akan melihat tema-tema kotbah mereka. Sekaligus pula kita memperhatikan nama mereka yang bukan lagi nama Batak. Di Pearaja, tahun 1904, Guru Matheus Hutabarat berkotbah tentang “Roh kudus memenuhi murid Tuhan Yesus.” Guru Theodorus Panggabean, pada 16 Oktober 1908, membawa kotbah tentang “Kehidupan Lazarus”. Kita jejerkan nama-nama para sitotas nambur itu: Wilhelm Lumbantobing, Josua Hutapea, Hiskia Lumbantobing, Marianus Lumbantobing, Kornelius Lumbantobing, Matheus Manik, Amos Sihite, Markus Pohan, Josua Hutapea, Kenan Lumbantobing, Matheus Hutabarat, Melanthon Simanjuntak, Muda Lumbantobing, Philemon Hutagalung, Hermanus Hutagalung, Cornelius Lumbantobing, dan Markus Panggabean.
ADVERTISEMENT
Saya menduga mereka berkotbah ketika mereka berusia 30 sampai 40 tahun. Dengan demikian, mereka lahir antara tahun 1868-1874. Yang paling tua di antara mereka lahir setelah IL Nommensen, misionaris RMG yang paling berhasil menyebarkan Kristen di tanah Batak, sudah tujuh tahun berada di Tarutung. Apakah, misalnya, Matheus Hutabarat, lahir lalu diberi nama Matheus? Ataukah dia lahir dengan nama Batak lalu di masa dewasanya dia dibaptis menjadi Kristen lalu meninggalkan nama Bataknya?
Perjumpaan orang Batak dengan RMG menggelorakan ungkapan “tole” (ajakan bergegas) sebagai tagline “kemajuan”, hamajuon. Hamajuon dimaknai: menjadi sama atau setidaknya seperti Barat. Menjadi Barat artinya: bekerja kepada orang Barat; atau hidup seperti orang Barat; atau memadukan Batak dengan Barat; bahkan meninggalkan Batak menuju Barat. Kehendak maju itu bersemai dan disemaikan, salah satunya, di sekolah. RMG sadar betul hal ini. Sejak mereka tiba, tahun 1861, mereka mendirikan sekolah dasar. Tahun 1890, misi mendirikan Sekolah Dasar Puteri. Sepuluh tahun kemudian RMG mendirikan Sekolah Anak Raja. Hollands Bataksche School didirikan tahun 1910. Untuk mendidik orang Batak menjadi penginjil, tahun 1864, di Parausorat, berdiri Sekolah Kateket. Tahun 1877 didirikan Seminari Pansur Napitu. Tahun 1901, Seminari Sipoholon didirikan. Demikian juga dengan sekolah-sekolah sejenis lainnya didirikan di banyak tempat di tanah Batak. Bahkan sekolah menjahit, sekolah bertukang, sekolah tenun dan renda, sekolah pertanian, sekolah industri juga didirikan RMG.
ADVERTISEMENT
Untuk keperluan tulisan ini, sekolah Nommensen-MULO School harus dihadirkan. Sekolah ini berdiri pada 1927. Mari kita lihat siapa saja yang bersekolah di sana.
Tahun 1933, Nommensen-MULO School menerima nama-nama ini sebagai murid baru: Adriaan Hasiboean, Hadriaan Penggabean, Ampilas Loembentobing, Cassianus Hoetabarat, Darius Sihombing, Karel van Duetekom, Frederik Sioen Loembantobing, Hamonangan Hoetabarat, Hendrik Sillam Siroemahembar, Hoemala Siregar, Hoaria Loembantobinga Hutiban Tobing, Hijaban Tobing, Hijade Wallenstein, Amir Pasariboe, Richard Maroelam Goeltom, Idris Hoetabarat, Manahara Sipahoetar. Ada dua orang Eropa di antara mereka. Dan perhatikanlah nama-nama Batak di sana.
Demikian juga penerimaan tahun 1937. Inilah nama-nama mereka: Doriaman Loembanradja, Carolina Hirschman, Jan Pieter Simorangkir, Diapari Goeltom, Moela Tamboen, Tiopoel Hoetapea, Boentoe Sitompoel, Be Seng Hoat, Iskander Sibarani, Geba Hoetapea, Tarianoes Hoetaoeroek, Hoemala Hoetabarat, Jaksan Pakpahan, Pintor Moelia Loembantobing, Jansen Manoeroeng, Paul Gerhard Morpaoeng, Domitian Sirait, Elman Tandjoeng, Loksa Justin Napitoepoeloe, Ancus Wiliater Siagian, Daoelat Simandjoentak, Maroeli Sinaga, Saulus Sitohang, Roelof je Booy, Djisman Siagian, Hoemala Manoeroeroeng, Zainal Sodogoron, Marcius Loembantobing, Manahar Loembantobing, Johannes Simorangkir, Simon Loembantobing, Tohom Hoetabarat, Lukas Hoetabarat, Tan Tjeng Koei, Hataroesan Sitompoel, Johanna Minkhorst, Moetiara Simandjoentak, Floris Sitompoel, Filip Lombantobing, Moela Silalahi, Saoloon Sitompoel, Mangasi Loembantobing, Manggasal Hoetapea, Manonga Aroean, Andreas Hasoegian, Haarlem Simandjoentak, Johan Siahaan, Jannes Loembantobing, Immanuel Loembantobing, Saiia Hoetapea, Wassington Pardede, Joab Hoetabarat, Christiaan Siregar, Walman Sinaga, Walter Simamora, Djiraan Simandjoentak, Albertina Loembantobing, Sim Bie Yoe, Petrus Maroeli Manik, Saoelin Pangariboean, Pondang Pardede, Bonifacius Sirait, Moela Sagala, Partabas Nababan, Pagar Moela Hoetapea, James Tamboen.
ADVERTISEMENT
Nama-nama yang ada di sana adalah nama-nama yang sudah bersalin. Setidaknya beberapa nama diambil dari nama-nama yang ada di dalam Alkitab. Juga sebagian mengambil dari nama-nama misionaris yang ada di tanah Batak. Sebagian dari mereka tetap menggunakan nama Batak, seperti: Mangasi, Manonga, Moela, Partabas, Pagar. Atau Daoelat.
Sekali lagi, untuk semakin mendekati ke awal-awal pendirian Nommensen-MULO School, di tahun 1929, sekolah tersebut menerima nama-nama ini: Constan Pardede, Johan Fiederik Sitohang, Salomo Loembantobing, Gustaaf Pohan, Melanchton Hoetagaloeng, Juliana Corrie Loembantobing, Pitara Nainggolan, Karen Sibarani, H. J. M. Vodegel, Louis van Alphen, Jephta Loembantobing, Tjan Tjai San, Hadirion Siregar.
Perjumpaan Kristen dengan Batak, meski begitu, tidaklah semata-mata terjadi dalam ruang kosong. Tahun 1938, beberapa koran di Hindia Belanda memberitakan berhari-hari, bahkan beberapa minggu, tentang pemberontakan murid Nommensen-MULO School. Mereka tidak puas karena antara biaya yang mereka bayar untuk uang sekolah dan uang asrama tidak sebanding dengan yang mereka terima dalam bentuk fasilitas dan layanan.
ADVERTISEMENT
Semua nama yang disebutkan di atas tercatat dalam lembaran-lembaran koran pada masanya. Bagaimana dengan mereka yang tidak tercatat di koran atau di laporan zending?