Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Nasionalisasi dan Indonesianisasi Ekonomi
2 September 2021 20:23 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukanlah sebagai penanda berakhirnya dominasi kolonial di Indonesia. Hal ini terlihat nyata dalam bidang ekonomi, terutama bidang pertambangan dan perkebunan. Revolusi Indonesia benar-benar kelar di tahun 1957/1958 saat aset-aset Belanda dinasionalisasi. Rentang waktu satu dekade lebih tersebut adalah rentang bagi Indonesia muda untuk menegakkan kemandirian ekonomi. Kolonialisme tidak melahirkan pengusaha-pengusaha Indonesia yang tangguh. Bila kita harus menyebut satu kelompok yang paling berkembang di bidang ekonomi di luar “pribumi” Indonesia, itu adalah orang Tionghoa—di samping sangat sedikit orang Indonesia yang menjadi pengusaha besar. Dengan demikian, tantangan besar bagi pemerintah Indonesia adalah mencetak para pengusaha tangguh.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1950, pemerintah memperkenalkan program Benteng. Program ini adalah bagian dari Indonesianisasi: usaha sadar untuk meningkatkan partisipasi dan meningkatkan peran Indonesia—terlebih pribumi Indonesia—di sektor ekonomi. Program ini lebih condong kepada pemberian pintu masuk kepada penduduk asli Indonesia ke bidang usaha importir. Kemudian terjadi peningkatan jumlah importir Indonesia. Namun, peningkatan itu cenderung menyembunyikan fakta bahwa importir sesungguhnya adalah orang Tionghoa. Banyak “pengusaha” pribumi yang tidak terlatih menjadi pengusaha menjual izin impornya ke orang Tionghoa.
Mereka tercatat sebagai pemilik perusahaan namun yang mengelola adalah orang Tionghoa. Inilah yang disebut dengan “Ali-Baba” atau “importir aktentas”. Program Benteng menemukan kegagalan karena melenceng dari tujuan awal yakni membentuk pengusaha pribumi yang tangguh. Alih-alih yang tercipta adalah aliansi antara pengusaha yang mempunyai kekuatan politik yang biasanya berasal dari pejabat-pejabat negara atau elite militer dengan para pengusaha Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Di samping kegagalan program Benteng, kita patut mencatat beberapa keberhasilan. Di Yogyakarta, berdiri 20 perusahaan impor. Garuda, perusahaan penerbangan negara, didirikan pada tahun 1950, diikuti pendirian perusahaan kapal laut PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia). Pada tahun 1950 para eksportir mendirikan PEKSI, Persatuan Eksportir Indonesia). Di tahun yang sama juga berdiri GAPINDO, Perkumpulan Koperasi Gabungan Pembelian Importir Indonesia. Setahun kemudian berdiri IKINI, Ikatan Importir Nasional Indonesia. Sementara itu Bank Indonesia berdiri tahun 1953. Namun, program Benteng tidak mengusik keperkasaan modal Belanda di Indonesia.
Perkembangan ekonomi pasca penyerahan kedaulatan tidak banyak mengalami perubahan dari periode kolonial Hindia-Belanda. Perusahaan-perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor perekonomian yang utama. Para pengusaha pribumi hanya bergerak di bidang industri kerajinan tangan. Sementara industri pengolahan untuk tujuan ekspor dikuasai oleh modal asing, terutama Belanda.
ADVERTISEMENT
Keunggulan manajemen dan jaringan pemasaran ke seluruh pelosok Indonesia yang dimiliki perusahaan-perusahaan Belanda—terutama lima perusahaan besar atau dikenal dengan The Big Five: NV Borsumij, NV Jacobson van den Berg, NV Internatio, NV Lindeteves, NV Geo Wehry & Co.—menjadi kunci keberhasilan dalam mengendalikan sektor modern ekonomi Indonesia.
Kedigdayaan The Big Five dicoba disaingi oleh empat perusahaan Indonesia yang dikenal dengan “Big Four”. Empat perusahaan itu adalah Muchsin Dasaad, Djamaludik Malik, Birokorpi, dan Intraport. Dua yang pertama berasal dari Sumatera dan dua terakhir berasal dari Manado dan Jawa Timur. Namun, hingga akhir tahun 1957 hampir semua sektor ekonomi modern Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda.
Kabinet silih berganti. Pergolakan di daerah-daerah memuncak. Konflik dengan Irian Barat pada dasawarsa 1950-an mampu menyatukan semua elemen bangsa yang belum padu tersebut. Apa yang dihasilkan pada Perundingan Meja Bundar tahap kedua pada paruh kedua tahun 1949 yang menghasilkan kesepakatan bahwa Belanda akan mengakui kemerdekaan Indonesia dengan ketentuan salah satunya adalah Indonesia menjamin keberlanjutan operasional perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, kini dituding sebagai penghambat utama kembalinya Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Berulang kali golongan nasionalis dan golongan kiri mengingatkan masyarakat bahwa perusahaan Belanda di Indonesia menyediakan dana yang dibutuhkan Belanda untuk kegiatan politiknya di Irian Barat dan hanya dengan pengambilalihan semua perusahaan ini pemerintah Belanda akan menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 18 November 1957, Soekarno, Perdana Menteri Djuanda, dan beberapa menteri kabinet menghadiri rapat raksasa di Lapangan Banteng di Jakarta. Pada kesempatan ini Soekarno mengulangi lagi peringatannya, “Jikalau Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali gagal untuk mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia, kita akan menekan tuntutan kita kepada Belanda sedemikian rupa sehingga mereka akan menyerah.”
Hasil pemungutan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 29 November 1957 menolak resolusi Indonesia yang mengimbau agar Belanda mau merundingkan kembali masalah Irian Barat. Apa yang dikatakan Sukarno sebagai tekanan kepada Belanda sebelum sidang PBB tersebut berlangsung dibuktikan tidak hanya gertak semata. Pada tanggal 1 Desember 1957 pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan aksi mogok selama 24 jam terhadap perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Tindakan inilah yang mengawali aksi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda secara besar-besaran. Nasionalisasi seutuhnya baru diumumkan pada 31 Oktober 1958 setelah tidak ditemukan lagi titik temu penyelesaian Irian Barat antara Indonesia dengan Belanda.
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan fokus kepada detail perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Untuk kasus Sumatera Utara kita bisa membeberkan beberapa hal berikut. Hasil bumi terpenting di Sumatera Utara adalah karet yang menempati 70 persen dari 340.000 hektar lahan yang ditanam dan sisanya adalah kelapa sawit dan tembakau. Terdapat 240 perkebunan individual, sekitar 95 persen dimiliki oleh orang Belanda, paling tidak 120 perkebunan dimiliki oleh orang luar yang bukan Belanda dan 25 perkebunan sisanya dimiliki oleh orang Indonesia.
The Sumatra Planters’ Association terdiri dari delapan perkebunan luas yang dimiliki oleh orang asing. Empat di antaranya dimiliki orang Belanda: dua di perkebunan karet, RCMA (Rubber Cultuur-Maatschappij Amsterdam) dan perusahaan dagang HVA (Handels Vereniging ‘Amsterdam’); dan dua pada perkebunan tembakau, Deli Maatschappij) dan Senembah. Dua perusahaan besar karet Amerika: US Rubber dan Goodyear. Dan satu perkebunan kelapa sawit Belgia, SocFin (Société Financière des Caoutchoucs). Pertanyaannya kemudian adalah: apa yang terjadi bila perusahaan-perusahaan asing itu dinasionalisasi?
ADVERTISEMENT
Seperti disebutkan di atas, Indonesia sangat minim tenaga terampil di hampir semua bidang ekonomi. Dengan demikian kepergian 50.000 orang Belanda tahun 1957/1958 menghadirkan malapetaka ekonomi bagi Indonesia. Orang Belanda meninggalkan Indonesia dan Indonesia kehilangan tenaga ahli dan manajer andal yang tidak bisa diisi oleh orang Indonesia. Perkebunan kemudian diserahkan secara resmi kepada militer. Para perwira militer ditempatkan di berbagai perusahaan perkebunan Belanda sebagai penasihat dan pengawas, dengan harapan personel Belanda dapat dibujuk untuk melanjutkan darmabaktinya dalam rencana baru tersebut.
Apa yang sesungguhnya terjadi adalah personel Belanda hampir segera mulai meninggalkan Sumatra Timur, sehingga menimbulkan kekacauan pada perkebunan selama bulan-bulan pertama tahun 1958, ketika orang Indonesia dengan sedikit bekal pengalaman praktis tetapi jarang yang terlatih dalam bidang pengelolaan mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh keberangkatan mereka. Untuk mengatasi keadaan, pemerintah dan Institut Pertanian Bogor segera menyelenggarakan kursus latihan khusus bagi para personel Indonesia yang mengelola perkebunan.
ADVERTISEMENT
Inilah kemudian yang membuat Hatta melihat Indonesianisasi membuat Indonesia kehilangan besar karena perusahaan-perusahaan yang ditinggalkan Belanda dikuasai oleh para politisi yang “kebanyakan dengan tidak memiliki pengetahuan ekonomi yang sepadan”.
Khusus untuk perkebunan, nasionalisasi tahun 1957 mengambil alih 542 perkebunan, atau tiga-perempat dari keseluruhan perkebunan yang ada di Indonesia. Perkebunan milik Belanda kemudian dikelola oleh negara di bawah naungan PPN-Baru (Pusat Perkebunan Negara-Baru). PPN-Lama berada di bawah Kementerian Agraria dengan 35 perkebunan. Kedua PPN ini merger tahun 1960. PPN-Baru diketuai oleh Ir. Saksono, direktur PPN-Lama dan Amin Tjokrososeno, Kepala Departemen Perkebunan Kementerian Agraria. Sementara beberapa perkebunan masih berada di tangan pengusaha asal Inggris, Belgia, Prancis, dan Amerika. Namun, mereka merasa perkebunan mereka bisa diambil alih kapan saja.
ADVERTISEMENT
PPN-Baru menghadapi permasalahan yang sangat serius pada masa transisi. Banyak perkebunan kekurangan manager dan teknisi, tempat yang dulunya diisi oleh orang Eropa. Saat Belanda masih empunya perkebunan, sangat jarang orang Indonesia dijadikan staf, alih-alih manajer. Paling banter posisi tertinggi yang dijabat oleh orang Indonesia adalah sebagai mandor.
Menyiasati masalah ini, pemerintah mempekerjakan para diploma untuk mengisi posisi yang lowong. Bahkan, di Sumatera Utara, posisi itu dijabat oleh lulusan sekolah menengah pertama yang dilatih dengan kursus singkat. PPN tidak bisa meningkatkan hasil produksi karena pada kenyataannya mempertahankan perkebunan-perkebunan tersebut tidak bangkrut sudah sangat sukar. Alhasil, yang pada awalnya perkebunan diharapkan menyumbang satu miliar untuk pendapat negara tidak bisa terpenuhi.
Hal ini ditambah lagi dengan tidak keterbatasan Indonesia menjual hasil perkebunannya. Hal ini dikarenakan oleh hingga tahun 1958, hampir 80 persen hasil-hasil perkebunan Indonesia yang mengalir ke Eropa ditampung oleh pedagang-pedagang Belanda di Amsterdam. Perkebunan-perkebunan besar di Indonesia yang dikuasai oleh Belanda mempunyai cabang atau kantor pusat di Belanda yang bertindak sebagai pelelang hasil-hasil produksi mereka. Tembakau dan teh menjadi komoditi paling menguntungkan masing-masing nilainya per tahun sekitar 200 juta gulden dan 65 juta gulden.
ADVERTISEMENT
Komoditi lain yang mendatangkan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan Belanda antara lain minyak dan biji kelapa sawit, karet, kopi, kopra, dan tapioka. Pada tahun 1940-an, hasil perkebunan karet berjumlah 100.000 ton per tahunnya dan mencapai puncaknya pada 1953 dengan 150.000 ton per tahun. Pada tahun 1956, hasilnya berada pada posisi stabil 140.000 ton per tahun. Sementara itu, hasil produksi kelapa sawit berada pada 120.000 ton per tahun pada akhir 1940-an dan meningkat menjadi 150.000 ton per tahun pada 1953, dan meningkat menjadi 165.000 ton pada 1955/1956 namun tidak pernah mencapai angka produksi pada tahun 1930-an sebesar 200.000 ton.
Harga yang harus dibayar oleh pemerintah untuk menegakkan Indonesianisasi ekonomi melalui, salah satunya, nasionalisasi bukan berarti harus dinilai sebagai sebuah kegagalan. Bila kemerdekaan di bidang politik bisa dikatakan dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, maka kemerdekaan di bidang ekonomi bermula seutuhnya tahun 1957/1958. Nasionalisasi dengan demikian menjadi jembatan bagi awal yang baru bahwa kemerdekaan sebuah bangsa tidaklah sempurna tanpa perpaduan antara kemerdekaan politik dan kemerdekaan ekonomi.
ADVERTISEMENT