Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Uli Artha dan “Otensitas” Ulos
5 Agustus 2023 15:09 WIB
·
waktu baca 15 menitTulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rura Silindung, dalam beberapa hal, memiliki kesamaan dengan Samsoir perihal bertenun ulos. Para perempuan di Samosir bertenun tidak sebagai mata pencaharian utama. Mereka bertenun untuk menopang hasil pertanian yang kerap tidak menguntungkan karena kondisi lahan pertanian yang tandus. Penduduk Samosir dikenal sebagai orang yang sangat menghargai hukum adat. Mereka menggunakan tenun mereka sendiri untuk keperluan tersebut. Namun, jumlah penenun semakin berkurang. Bahkan para penenun di Samosir lebih banyak menenun untuk pakaian tradisi Karo dan Simalungun.
ADVERTISEMENT
Namun, yang paling mencolok dari Silindung adalah kain yang ditenun di daerah ini lebih beragam dari Samosir dan dari daerah mana pun di sekitar Danau Toba. Tenun di Silindung juga lebih awal menggunakan gaya modern dalam motif. Namun demikian, bertenun adalah aktivitas yang dilakukan oleh keluarga miskin. Mereka bertenun untuk membantu kebutuhan rumah tangga. Para ibu akan bahagia bila anak gadisnya menghasilkan uang dari tenunan, namun mereka akan lebih berbahagia bila anaknya menjadikan bertenun tidak sebagai pilihan. Bertenun bukanlah jalan yang mudah untuk menopang hidup. Bagi orangtua, meminta anaknya pergi bersekolah setinggi-tingginya adalah cara menghindarkan anaknya menjadi penenun.
Desa-desa di Silindung dikenal memiliki ciri khas masing-masing. Setiap desa menghasilkan ulos yang berbeda dari desa lainnya. Bolean, mangiring, dan si tolu huta ditenun di Sait ni Huta. Surisuri dan lobulobu ditenun di Sitompul. Lirisliris, ulos torus ditenun di Panggabean dan Hutagalung. Bintang maratur ditenun di Hutapea, Panggabean, dan Sait ni Huta. Ragidup ditenun di Simorangkir, Sitompul, Panggabean, Pansur na Pitu, dan Hutagalung.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu diutarakan tentang Silindung adalah daerah ini kerap disebut sebagai daerah, meminjam istilah Sandra Niessen, “declining textiles”, tekstil yang menurun. Tenunan Rura Silindung lebih cerah warnanya, ukurannya tidak selebar tenunan Toba, dan benangnya lebih halus. Tenun Silindung juga disebut sebagai tenunan yang paling tidak tradisional. Tenunan Silindung sudah lama dikenal berbeda dengan tenunan dari daerah lain, seperti Toba dan Samosir. Tenun Silindung adalah keterbukaan kepada modernisasi dan berakhir pada perubahan motif dan ukuran hingga terlepas dari hakikat hukum adat dan ritual Batak. Kain hasil tenunan Silindung hanya dikenakan oleh wanita ke gereja sebatas pakaian saja. Mereka menghiasi pakaian terbaik di hari Minggu.
Di sinilah, di Pansur na Pitu, Uli Artha Panggabean bertenun. Dia memilih bertenun ragidup.
ADVERTISEMENT
Uli dan Warisan yang Diteruskan
Ibu Uli dan juga nenek Uli tidak ingin Uli menjadi penenun seperti mereka. Namun, Uli memutuskan menjadi generasi penenun ketiga di keluarganya mengikuti jejak ibu dan neneknya. Uli bercerita betapa keras ibunya menghendaki ia menjadi pekerja kantoran, atau menjadi pegawai negeri, atau menjadi apa saja selain partonun (penenun). Pilihan Uli menjadi partonun adalah rute menempuh jalan panjang. Dia mengatakan ini tentang pilihannya: “Mungkin menjadi partonun sudah menjadi takdirku. Semakin saya mencoba menjauh darinya semakin dia memanggil.”
Uli lahir pada 28 Januari 1980 di Pansur na Pitu, Kecamatan Siatas Barita, Tapanuli Utara. Setelah tamat sekolah tahun 1999, dia pergi merantau. Dia kuliah dan tamat sebagai lulusan akuntansi komputer dari sebuah kampus di Pekanbaru. Dia anak kedua dari empat bersaudara dari ayah danibu B.A. Panggabena-Melati Panjaitan. Setelah tamat kuliah, dia bekerja di sebuah usaha material bangunan di Pekanbaru di bagian keuangan.
ADVERTISEMENT
Ia menikah di Pekanbaru dan dikaruniai seorang putri, Clara. Namun, sejak 2013 mereka memutuskan bercerai karena tidak ada keserasian dalam rumah tangga mereka.
Tahun itu juga dia memutuskan pulang ke kampung. Saat itu tidak terbersit untuk menopang hidup dari bertenun. Dengan tabungan yang ada, ia berencana membuka usaha panglong di Pansur na Pitu. Namun, kehendaknya tidaklah dapat terwujud. Uang tabungannya sedikit demi sedikit terkuras, dan ia kemudian benar-benar bangkrut. Situasi inilah yang mendorongnya menyadari bahwa ia memiliki keahlian bertenun. Untuk putaran hidupnya ini, Ibu Uli menentang keras, “Untuk apa kau kusekolahkan tinggi-tinggi jika pada akhirnya jadi partonun?
Selain itu, Uli sangat paham penolakan ibunya. Ia mengatakan ibunya tidak pernah mengajarinya bertenun. Uli mengatakan seseorang yang tidak kuat jiwanya akan sakit, bahkan mati muda, ketika belajar bertenun ulos. Karena alasan itu pulalah, neneknya tidak pernah mengajari ibunya bertenun. Itu jugalah yang mendasari ibunya, daku Uli, mengeluarkan kalimat di atas itu. Tak ada ibu yang menginginkan anaknya mengalami hal yang buruk. Namun, Uli bersikukuh bertenun. Ia pergi ke teman-temannya yang partonun untuk belajar. Selama itu pula Uli tidak mendapat restu dari ibunya.
ADVERTISEMENT
Setelah kurang lebih sembilan tahun bertenun, pada September 2022, akhirnya ibu Uli luluh. Ia merestui Uli bertenun. Bahkan ibunya bersedia mengajarinya menenun ulos paling indah dan paling rumit, yakni ragidup.
Ragidup adalah ulos Batak paling terkenal. Ulos ini disebut sebagai ulos nomor satu karena digunakan oleh raja. Ragidup menyimbolkan totalitas. Ulos ini dipengaruhi oleh tradisi India. Ragidup kerap disebut berasal hanya dari Silindung. Namun, beberapa ahli meragukan hal ini. Mereka mengatakan semua daerah di Toba menenun ulos ini.
Silindung menghasilkan beberapa jenis ragidup, yakni ragidup silinggom, ragidup sisabulung, selendang ragidup/anak ni ragidup, setelan ragidup, ragidup gelleng, dan sitola. Pada abad ke-19 ragidup berfungsi sebagai kain pinggul dan kain bahu untuk laki-laki yang berstatus tinggi. Pada ritual Batak, ulos ini diberikan sebagai hadiah oleh orangtua kepada anaknya yang mengandung anak pertama (ulos ni tondi); di Bakkara digunakan untuk menutup peti mati (ulos batang); di Simalungun sebagai pemberian kepada orangtua mempelai laki-laki oleh ibu mempelai perempuan.
ADVERTISEMENT
Inferioritas Tradisi?
“Allangma da Inang, asa gabur parbinotaanmu,”ujar ibu Uli kepadanya memulai tahap awal dalam bertenun. Yang dimakan itu adalah itak gurgur, penganan khas Batak berbentuk kepalan lima jari yang terbuat dari tepung beras ditambah garam, parutan kelapan dan gula. Uli tak pernah melewatkan ritual itu. Bagi Uli, memakan itak gurgur sebelum bertenun adalah kebutuhan rohani dan jasmani. Itak gurgur yang gembur menyimbolkan asupan rohani. Uli mengatakan partonun mengudap itak gurgur yang gembur agar otaknya juga gembur saat martonun.
Dalam bahasa tenun, otak penenun diibaratkan Uli sebagai tanah. Tanah akan mudah ditanami jika sudah gembur. Penenun juga membutuhkan otak yang gembur saat menenun. Dengan begitu, memakan itak gurgur sebelum bertenun adalah usaha memasukkan nutrisi otak yang dibutuhkan jasmani partonun.Seperti arti gurgur, membara, memakan kue ini sebelum bertenun pengetahuan partonun diharapkan akan membara.
ADVERTISEMENT
Ritual memakan itak gurgur bukanlah satu-satunya yang harus dilakukan Uli sebelum bertenun ragidup. Ritual wajib berikutnya adalah mengonsumsi daging kerbau. Zaman dahulu, sebelum partonun menenun ragidup, seekor kerbau mestilah disembelih. Namun, harga seekor kerbau sangatlah mahal. Uli cukup membeli satu kilo daging kerbau.
Uli tidak menjadikan ritual sebagai pengkategorian antara yang tradisional dengan yang tidak tradisional. Pengkategorian itu akan menjadi titik tolak bagi siapa saja untuk membatasi bahwa sesuatu yang tradisional mengandung mitos. Atau pengkategorian itu akan melahirkan terpolarisasinya pemahaman: sesuatu yang tradisional dengan sendirinya terpisah dengan yang modern. Dengan demikian yang tradisional semakin tradisional dengan pemisahannya yang tegas kepada yang modern.
Seperti Edward Said (2010) menggugat pengkategorian Timur-Barat oleh orang Eropa, maka pertanyaan yang sama bisa diajukan: “Hak apa yang Anda miliki untuk bersikap superior terhadap orang yang Anda sebut sebagai orang-orang tradisional itu?” Uli bergerak sangat dinamis melewati pengkategorian itu ketika dia melakukan ritual bertenun.
ADVERTISEMENT
Suatu saat, dia harus mangelek (membujuk atau merayu) tenunannya yang sedang ngambek. Ibunya bukannya tidak mengingatkannya sedari awal. Ibunya berpesan supaya Uli tidak lagi menenun mandar (kain sarung pasangan kebaya). Namun, ia mengabaikan nasihat itu karena terdesak kebutuhan ekonomi. Saat itu ia menerima lima pesanan tenun mandar. Ketika mengerjakan mandar pertama, tiba-tiba ia melihat benang tenun seperti berdenyut dan bernafas. Uli kemudian mangelek dan mandar pertama selesai dikerjakan. Saat menenun mandar kedua, semua ikat berantakan, menjadi senjang. Ia putus asa. Bahkan sampai menangis. Ia kembali mangelek dan mandar itu selesai dikerjakan. Dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya jadi teramat lama.
Saat mengerjakan mandar ketiga, Uli benar-benar tepar. Pangkal hatinya terasa panas. Orang di desanya menyebut itu sijumpangon. Uli lalu meminta tolong seorang tua untuk mamaspas bulung rata, mengibasinya dengan daun singkong. Orang tua itu mengatakan Uli telah melanggar suatu pantangan sebagai penenun, dan ia disuruh mengingat-ingat pelanggaran yang dilakukannya. Uli lalu memandangi alat-alat tenunnya. Ia lalu sadar. Sebelumnya alat-alat itu sudah diitakgurguri, ditahbiskan jadi alat tenun untuk ulos ragidup. Alat-alat itu seakan-akan tidak mau dipakai untuk menenun selain ragidup. Uli bercerita hal ini bisa terjadi karena peralatan tenun tidaklah dibuat sembarang. Meski alat-alat itu sederhana, mereka terbentuk dari proses bertenun selama bertahun-tahun. Uli kemudian rehat sejenak, meninggalkan bertenun yang bukan ditakdirkan untuknya. Dia hanya akan bertenun ragidup. Ia kemudian mengambil pisang lalu dimakannya. Uli berkata, “Awalnya aku bilang: ini gila. Aku sudah sekolah tinggi-tinggi, bapakku pernah jadi pendeta, tapi memang otakku jadi cling kembali untuk bertenun.”
ADVERTISEMENT
Proses ini membuat Uli meninggalkan pemahaman awalnya tentang dunia bertenun. Sebagai seorang sekolahan ia lebih mengandalkan rasionalitas dan melihat pantangan-pantangan itu sebagai mistis. Waktu membantunya melintasi pandangan itu. Ia kini justru giat mencari rasionalitas di balik sesuatu yang dipandang umum sebagai mistis. Ia percaya semua warisan pengetahuan partonun sebelum maupun saat menenun, yang bagi kebanyakan orang dipandang tradisional, punya rasionalitasnya sendiri.
Bertarung dengan Raksasa
Hidup Uli tidak pernah mudah semenjak dia memutuskan menjadi partonun. Kemudahan hidup bagi Uli tidak identik dengan kepemilikan materi. Namun, Uli menjadikan diri satu dengan ulos dan menjadikan ulos bagian tak terpisahkan dari dirinya. Maka, Uli pun menggugat.
Dengan suara terseret, Uli Artha Panggabean berseru, “Saya berdiri di sini bersama teman-teman di seluruh dunia bersama partonun untuk bersuara lebih keras. Kembalikan semua hak kami atas karya-karya ini. Kita semua ini pasti terhubung seperti benang-benang kita yang panjang ini. Kita pasti terhubung. Ini ada keterhubungan di antara kita semua, di antara alam kita semua, kita pasti terhubung. Dan sudah waktunya kita sadar keterhubungan kita semua ini.”
ADVERTISEMENT
Uli memulai seruan gugatannya dengan menyandarkannya kepada pemahaman bahwa keterhubungan adalah kekuatan. Seperti benang-benang tenun yang dijumpainya setiap hari, ia melihat alam dan manusia tidak bisa terpisah dan dipisahkan. Suara-suara yang terpendam sudah seharusnya dilantangkan. Lewat suara itu Uli berkata dengan sangat tegas bahwa tonun adalah hasil tonunan (tenunan) partonun. Karya itu memiliki empunya. Karya itu tidak lepas begitu saja sehingga siapa saja bisa mengambilnya sedemikian rupa tanpa memerlukan izin.
Uli melihat ulos sebagai jadi diri dan harga diri partonun. Karya itu diwariskan kepada mereka oleh proses yang sangat panjang. Uli meletakkan ulos tidak pada penghargaan tertinggi kepada mata pencaharian, dalam hal ini mengejar uang. Bagi Uli bertenun adalah panggilan. Panggilan itu bersumber dari warisan tradisi, warisan yang diturunkan ke dalam darahnya.
ADVERTISEMENT
Martonun tidaklah semata-mata memproduksi kain. Jalan yang dipilih Uli ini membuatnya menggali lebih dalam tentang hakikat ulos. Kata Uli, “Saya melihat bahwa itu jauh lebih ramah lingkungan dan penuh dengan ilmu pengetahuan.” Bertenun mengajaknya berpetualang ke alam tradisi, yakni tradisi tenun. Petualangan itu disertai dengan internasilasi nilai yang membuat kepuasan rohani dan kepuasaan jiwa adalah bagian dari spiritual. Uli tidak menemukan hal demikian saat bertenun kain yang bukan ulos. Untuk itu, ia berkata lebih lanjut:
Itu yang tidak ditemukan di kain-kain buatan pabrik. Ini lebih luas cakupannya dari seni. Karena kita juga didalamnya harus menyertakan alam dan kelestariannya. Karena tenun itu asalnya adalah dari alam. Alat-alatnya dari alam. Bahan-bahannya dari alam. Jika tenun itu hilang maka perawatan kepada alam itu akan berkurang. Orang tidak akan punya kebutuhan lagi dengan alam kalau semuanya sudah bisa dihasilkan pabrik. Karena alam tidak bisa ditanggungjawabi dan dipelihara oleh satu orang. Itu harus kesadaran kolektif.
ADVERTISEMENT
Industri pun tiba. Kecepatan dan produk yang murah ditawarkan olehnya. Lalu, kenapa Uli dan partonun lainnya harus bertahan di tengah gempuran industri tekstil? Dengan tegas Uli berkata: tenun itu adalah komunitas. Ulos tidak pernah lahir dari tangan satu orang. Ulos adalah representasi kebersamaan, bahkan ia adalah kebersamaan itu sendiri: ulos dikerjakan bersama, ilmunya bersama, desainnya bersama. Kebersamaan, dengan begitu, akan menemui ajalnya bila ia dibenturkan kepada keperluan mengejar materi semata. Inilah yang dilumpuhkan dengan sangat sempurna oleh industri. Uli berkata:
Kemudian ada orang yang mengubahnya atau ada orang yang serakah mengambilnya untuk dijadikan penghasil uangnya. … Mereka menitipberatkan setiap karya itu harus menjadi uang. Saya rasa di situ yang membuat pergeseran ini semakin lama semakin jauh, semakin jauh. Tetapi, lama-kelamaan terjadi pergeseran yang dahsyat sekali bahwa kain-kain untuk ritual yang kita sebut ulos itu diproduksi secara massal oleh mesin, oleh alat tenun bukan mesin. Mereka melakukan pencurian motif, pencurian ukuran, pencurian keilmuan yang sudah kami warisi bertahun-tahun lamanya. Bahkan ratusan tahun lamanya dan bergenerasi. Ini suatu tindakan semena-mena bagi kami.
ADVERTISEMENT
Marwah ulos pun terrenggut. Teknologi mesin tenun yang dibawa industri tekstil menyingkirkan spiritualitas ulos. Ulos menjadi sesuatu yang tidak lebih dari lembaran-lembaran kain semata yang padanya tidak melekat lagi keserasian alam dan kelestarian tradisi. Kata Uli, “Mereka yang telah mengambil motif kami ini tidak sadar bahwa mereka melakukan sesuatu yang buruk kepada kami; sesuatu yang buruk kepada alam. Mereka mungkin tidak sadar.”
Namun, ada sisi-sisi yang membuat Uli dan komunitasnya harus menarik nafas lebih dalam.
Satu-satunya cara kami terus bertenun adalah mengharapkan benang pabrik. Dan kami dikontrol dari benang-benang itu: harga kami dikontrol, penjualan kami dikontrol, motif kami dikontrol. Kami memenun sesuai dengan pesanan mereka, bukan sesuai dengan keahlian kami di sini.
ADVERTISEMENT
Gerak antara mempertahankan asap di dapur mengepul dan bandul industri yang membuat mereka memiliki keterbatasan pilihan, terutama kebutuhan benang, dijalani Uli dengan kepala tegak. Sudah delapan tahun ini ia memperjuangkan supaya ulos mendapat tempat lagi di masyarakatnya. Di tengah perjalanan, ia melihat teman-temannya berguguran dengan meninggalkan bertenun dan beralih ke pekerjaan lain. Ia juga melihat rekan-rekannya mesti bernegosiasi dengan industri dengan menjadi bertenun kain yang sudah dipersankan kepada mereka. Artinya mereka bertenun bukan karena mereka ingin menenun kain yang ingin mereka tenun, namun tenun yang mereka tenun adalah kain yang dikehendaki oleh industri untuk mereka tenun. Di tengah perjalanan itu pula Uli melihat motif-motif yang tersimpan di dalam diri partonun perlahan hilang. Yang tersisa adalah motif yang disediakan designer industri. Tapi, Uli menyadari sesuatu: “Tapi kami terpaksa melakukan ini untuk tetap punya nafkah, nafkah yang sama rendahnya dengan harga produksi mesin atau jauh lebih rendah.”
ADVERTISEMENT
Uli berada di dalam komunitas dan dia pun akan berangkat dari komunitas untuk tetap bertahan. Bertahan bagi Uli adalah pemertahanan idealisme dan tradisi adiluhung yang diyakininya. Bersama komunitas, Uli ingin punya kesempatan untuk mengendalikan pemakaian motif-motif mereka. Mereka menghendaki memiliki kuasa mengendalikan peredaran ulos di adat. Dalam ungkapan panjang berikut, Uli melihat bahwa yang mengatur semua ini adalah sistem. Sistem itu tidak bisa dipisahkan dari industri dan regulasi yang diberikan pemerintah kepada mereka.
Kami juga berharap bahwa ada regulasi untuk para pekerja seperti kami. Kami ingin ditempatkan sebagai partonun dan orang yang memiliki hak cipta dari karya-karya tenun tersebut. Mereka harusnya memproduksi kain yang tidak sama dengan kain kami. Karena jika kami berlomba dengan mesin, kami pasti kalah. Kekuatan manusia berbeda dengan mesin. Saat ini kain yang saya tenun berlomba dengan mesin. Itu tidak manusiawi untuk partonun. Karena itu saya mempunyai harapan yang sangat besar bahwa akan ada perlindungan kepada partonun tentang kain-kain tradisional ini. Dan mereka dikembalikan fungsinya seperti semula. Kami hanya meminta bagian untuk tetap memakai kain-kain tradisional itu kepada ritual saja. Karena tidak mungkin di jaman ini kita mengembalikan orang-orang untuk berpakaian tradisional. Dengan kesadaran seperti ini maka akan banyak yang kita selamatkan dari tenun. Termasuk alat-alatnya yang banyak, termasuk pohon-pohonnya, termasuk tumbuhan-tumbuhan yang dipakai untuk memproduksi tenun itu. Itu seharusnya dikembalikan kepada kami seperti dulu dan kami seharusnya mendapat perlindungan untuk semua karya-karya dan motif yan sudah kami pelajari sekian tahun. Juga kami harus punya kebebasan untuk berkarya. Semua pakaian-pakaian yang dicetak dengan motif-motif yang telah kami warisi beratus-ratus tahun itu, kami partonun tidak mendapat manfaat atau royalti dari semua itu. Bahkan kami juga tidak mendapat izin untuk mereka menggunakan karya itu.
ADVERTISEMENT
Otensitas Uli
Uli tidak pernah berhenti belajar bertenun. Setelah direstui ibunya dan sekaligus menjadikan ibunya sebagai guru, ia rajin mendatangi penenun di sekitar Silindung, bahkan sampai ke Samosir. Keterhubungan yang dipandang Uli sebagai kekuatan dijadikan sebagai panduan baginya menelusuri rasionalitas ulos. Uli mendefenisikan komunitas sebagai ruang di mana aktvitis fisik, politik, sosial, psikologis, linguistis, ekonomi, kultural dan spiritual berlangsung. Ruang itu pula yang beririsan, bahkan kerap berhimpitan, dengan ruang lain yang ingin menempatkan partonun menjadi tidak terlihat dan berada jauh di pinggiran. Ruang itu juga menghendaki mereka untuk tetap tinggal dalam batas-batas komunitas mereka.
Tanggung jawab Uli kepada pilihannya tidak berhenti pada keahlian bertenunnya yang meningkat hari demi hari. Ia menempuh jalan lanjutan, yakni menggali berbagai pengetahuan tentang ulos dan kosmologinya. Ia tak hanya melihat ulos sebagai helai kain semata, namun ia membaca spiritualitas dalam penciptaan ulos.
ADVERTISEMENT
Uli mengimbangi dahsyatnya gempuran industri tekstil dengan penggalian jauh ke dalam ulos itu sendiri. Dia melenting ke luar, melalui media sosial, dan dia mengabarkan ke segala penjuru aktivitas kesehariannya bertenun dengan untaian kalimat penuh keteguhan. Ia tidak tercerabut dari akarnya. Ia menentang keprihatinan yang kerap dialamatkan kepada “yang tradisional”, yang semakin terasing dari nilai-nilai budaya mereka sendiri saat berjumpa dengan nilai-nilai lain di luar dirinya sehingga mencapai titik rasa malu, dan membenci segala yang direpresentasikan oleh nilai-nilai tersebut.
Justru di titik inilah letak otensitas Uli. Otensitas tidak terpisahkan dari keberadaan komunitas. Ulos yang dihasilkan adalah bagian dari pengingatan kepada trayek historis, penciptaan sekaligus pengendalian karya, dan juga kesetiaan pada cita keseimbangan antara komunitas partonun dan alam. Di salah satu positngan media sosialnya, Uli menyimpulkan dirinya begini:
ADVERTISEMENT
Ketahuilah, kita adalah sejatinya ilmu tenun itu. Kita adalah poros ekonomi itu. Kita adalah suara tuk tak yang melaju, meninggalkan kemiskinan dan kebodohan. Kita adalah denyut nadi dari tiap tubuh yang ingin dilayakkan. Bertenun saja hingga benang habis di muka bumi.