Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Cantik dalam Sekejap: Dampak Psikologis Filter di Media Sosial
7 Februari 2025 13:08 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dianti Kusumawardhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Era digital saat ini ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi, media sosial menjadi incaran individu untuk menampilkan citra diri agar bisa dipersepsi cantik, tampan, atau menarik oleh orang lain. Sebagai salah satu media interaksi antarindividu, media sosial dilengkapi dengan berbagai fitur. Salah satu fitur yang populer digunakan adalah filter peningkat citra diri, seperti Beauty Filter, Augmented Reality (AR) Filters, Face Retouching, Virtual Makeup, AI Beautification, Skin Smoothing, dan Selfie Enhancer. Fitur-fitur ini memungkinkan pengguna media sosial untuk edit tampilan wajah mereka agar terlihat lebih menarik, ideal, atau sesuai dengan standar kecantikan yang mendominasi media sosial. Fitur tersebut seringnya digunakan oleh para perempuan, walaupun laki-laki juga menggunakannya dengan alasan dan motif yang berbeda. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2024) melaporkan bahwa penggunaan internet berdasarkan jenis kelamin adalah 50,7% laki-laki dan 49,1% perempuan. Dan RRI mengutip dari databoks.katadata.co.id bahwa pengguna media sosial didominasi oleh usia 18-34 tahun (54,1%), dengan jenis kelamin perempuan 51,3% dan laki-laki 48,7%. Berapa pengguna aktif media sosial di Indonesia? We Are Social (2024), mencatat 49,9% atau sekitar 139 juta orang di Indonesia aktif bermediasosial per Januari 2024.
ADVERTISEMENT
Penggunaan Filter oleh Pemilik Akun Media Sosial
Pemilik akun media sosial terutama perempuan, menggunakan filter sebagai alat untuk meningkatkan daya tarik visual dan rasa percaya diri. Standar kecantikan yang dibangun oleh media sosial mendorong perempuan untuk menggunakan filter agar terlihat sesuai dengan harapan pemirsa. Jika dibahas dengan menggunakan teori maka bisa dijelaskan dengan Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1979), yaitu individu mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu misalnya kelompok para perempuan berkebaya lalu mereka berusaha menyesuaikan penampilan mereka dengan norma kelompok tersebut. Misalnya selain berkebaya dan berkain, wajah dipoles kosmetik. Dan cara cepat untuk cantik antara lain dengan menggunakan filter.
Pemirsa yang memperhatikan bahwa individu lain yang terbukti memperoleh validasi sosial setelah menggunakan filter cenderung meniru perilaku tersebut. Jika seseorang menerima banyak pujian atau like setelah mengunggah foto yang diedit dengan memakai filter, maka ia mendapat semacam reward dan mungkin terus menggunakan fitur ini untuk mendapatkan respons positif yang sama. Ketika pemirsa perempuan sering terpapar foto cantik perempuan berkebaya, maka ia mulai membandingkan dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan perspektif Social Comparison Theory (Festinger, 1954) yang melengkapi pemahaman tentang bagaimana pengguna media sosial membandingkan diri mereka dengan orang lain. Teori ini menyatakan bahwa individu secara alamiah mengadakan perbandingan antara diri mereka dengan orang lain dengan tujuan untuk mengevaluasi kemampuan dan penampilan mereka sendiri. Berkaitan dengan penggunaan filter pada media sosial, pengguna media sosial yang sering melihat foto yang telah diedit secara digital kemudian bisa terdorong untuk menyesuaikan diri dengan standar yang lebih tinggi, meskipun standar tersebut mungkin tidak realistis. Hal ini memperilihatkan bahwa pengguna media sosial menilai suatu foto sebagai menarik, lalu membandingkan dirinya dengan foto tersebut dan ingin melakukan penyesuaian walau menjadi tidak realistis karena merupakan hasil edit.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif Self-Discrepancy Theory (Higgins, 1987), penggunaan filter juga dapat mencerminkan kesenjangan antara actual self (diri yang sebenarnya) dan ideal self (diri yang diinginkan). Ketika seseorang merasa bahwa wajah atau tubuh mereka dalam kehidupan nyata tidak sesuai dengan versi yang telah diedit menggunakan filter, mereka bisa mengalami ketidakpuasan diri yang lebih besar dan peningkatan kecemasan terkait citra tubuh.
Perbedaan Perempuan dan Laki-laki?
Bagaimana perbedaan pengguna perempuan dan laki-laki? Setidaknya ada sebuah penelitian yaitu oleh Fox dan Vendemia (2016) yang menunjukkan bahwa perempuan lebih sering edit foto mereka untuk meningkatkan daya tarik visual dan menghindari kritik sosial, misalnya menggunakan beautifying untuk menghindari ejekan dengan menyembunyikan obesitasnya. Sementara itu, laki-laki cenderung menggunakan filter lebih untuk urusan menonjolkan maskulinitas atau menyembunyikan ketidaksempurnaan fisik tertentu. Penelitian oleh Chae (2017) menemukan bahwa perempuan yang sering menggunakan filter cenderung mengalami peningkatan kepercayaan diri dalam jangka pendek, tetapi juga berisiko mengalami kecemasan dan ketidakpuasan terhadap citra tubuh dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Suatu penelitian baru-baru ini juga mendukung temuan ini. Sebuah studi oleh Sari dan Susilawati (2022) menemukan bahwa mahasiswa perempuan menggunakan filter Instagram untuk menonjolkan citra diri yang diinginkan, sehingga mereka merasa lebih percaya diri saat menampilkan diri di platform tersebut. Namun ingat, sebatas percaya diri pada flatform digital tersebut saja ya, dan tidak berada dalam dunia yang sesungguhnya. Penelitian lain mengungkapkan bahwa perempuan menggunakan filter kecantikan sebagai bentuk ekspresi diri, yang memungkinkan mereka untuk tampil lebih percaya diri di media sosial (Sulaiman et al., 2023).
Dampak Filter bagi Pemirsa
Dari perspektif Social Learning Theory, pemirsa media sosial tidak hanya melihat konten yang telah diedit dengan filter, tetapi juga belajar dan menginternalisasi standar kecantikan yang bisa saja tidak realistis. Jika seseorang terus-menerus terpapar foto-foto yang telah diedit secara digital, mereka mulai melihat tampilan yang diedit sebagai norma yang harus dicapai.
ADVERTISEMENT
Namun, teori Uses and Gratifications Theory (Blumler & Katz, 1974) menyoroti bahwa pemirsa tidak hanya pasif menyerap standar kecantikan yang disajikan, tetapi juga aktif memilih konten yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan mereka. Sebagai contoh, seseorang mungkin mengikuti akun yang menggunakan filter tertentu karena merasa terhibur atau karena konten tersebut sesuai dengan aspirasi pribadi mereka. Dengan demikian, pemirsa memiliki agensi dalam proses konsumsi media dan tidak semata-mata dipengaruhi oleh konten yang mereka lihat.
Dampak Psikologis Penggunaan Filter di Media Sosial
Penggunaan filter di media sosial memiliki berbagai dampak psikologis bagi pemilik akun maupun pemirsa. Salah satu dampak utama adalah peningkatan kecemasan dan ketidakpuasan terhadap citra tubuh. Studi yang dilakukan oleh Fardouly et al. (2015) menunjukkan bahwa individu yang sering menggunakan filter atau melihat foto yang telah diedit cenderung memiliki tingkat ketidakpuasan tubuh yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penggunaan filter secara berlebihan dapat berdampak pada persepsi diri dan keinginan individu untuk menyesuaikan penampilan mereka dengan citra yang telah diedit secara digital. Rajanala et al. (2018) membahas bagaimana meningkatnya popularitas swafoto yang dimodifikasi dengan filter dapat memengaruhi standar kecantikan dan mendorong individu untuk mempertimbangkan pemakaian kosmetik. Mereka menyoroti bahwa tren ini dapat memperkuat ketidakpuasan terhadap citra diri.
Dalam jangka panjang, ketergantungan pada filter juga dapat menyebabkan penurunan self-esteem. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kleemans et al. (2018) menunjukkan bahwa individu yang sering menggunakan filter dan melihat citra yang telah diedit mengalami penurunan kepercayaan diri ketika mereka melihat diri mereka dalam keadaan tanpa filter.
Pelajarannya?
Fitur filter dalam media sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri pemilik akun dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan mental, baik bagi pemilik akun maupun pemirsa. Dengan memahami mekanisme di balik penggunaan filter melalui Social Identity Theory, Social Learning Theory, Social Comparison Theory, Self-Discrepancy Theory, dan Uses and Gratifications Theory, pengguna media sosial diharapkan dapat lebih bijaksana dalam menggunakan dan menilai citra yang dipresentasikan di media sosial.
ADVERTISEMENT