Konten dari Pengguna

Second Account Ala Gen Z: Sarana Berekspresi hingga Dugaan Tanda Mental Illness

Diany Wira Cahyaning Wulan
Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Airlangga
30 Desember 2024 16:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diany Wira Cahyaning Wulan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bermedia Sosial (https://pixabay.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bermedia Sosial (https://pixabay.com/)
ADVERTISEMENT
Generasi Z atau sering dikenal dengan sebutan Gen Z memiliki pengertian generasi yang lahir di antara tahun 1997–2012. Generasi ini lekat sekali dengan keberadaan internet dan media sosial yang kini penggunaannya kian masif. Banyak sekali fenomena dan isu sosial yang kerap dikaitkan dengan Gen Z, salah satunya adalah fenomena Gen Z yang memiliki second account di sosial medianya.
ADVERTISEMENT
Second account diartikan sebagai akun kedua yang dimiliki seseorang di balik akun utamanya di sosial media. Fenomena second account ini menjadi sebuah tren populer di kalangan Gen Z. Berbeda dengan akun pertama yang berisi hal-hal formal dan profesional, akun kedua lebih cenderung berisi konten-konten yang privat dan personal. Second account juga cenderung memiliki pengikut yang jauh lebih sedikit dari akun utamanya yang biasanya berisi orang terdekat, atau bahkan sengaja tidak ada pengikutnya dan pemilik akun biasanya mengaktifkan fitur private account, yaitu hanya pengikut yang bisa melihat postingan dan berinteraksi dengan sang pemilik. Second account populernya juga memiliki username yang unik dan berbeda dengan akun utama agar tidak mudah dikenali orang lain.
ADVERTISEMENT
Melihat second account dari seseorang membuat kita merasa melihat sosok lain di balik orang yang biasa kita kenal di dunia nyata. Second account yang bersifat privat dan personal ini bisa menjadi penyingkap ‘topeng’ dan pelarian bagi seseorang. Branding dari seseorang yang mungkin saja terlihat sempurna ‘dari luar’, nyatanya bisa saja berbanding terbalik dengan melihat second account-nya.
Second account dapat disebut sebagai zona aman untuk mengungkapkan dan mengekspresikan sisi diri ‘yang sebenarnya’ bagi kalangan muda, yang hanya bisa dilakukan di depan orang terdekat saja atau istilah kekiniannya adalah close friend. Mereka kerap membagikan foto ataupun video keseharian yang bersifat pribadi atau hal random apapun yang diunggah ke second account mereka. Second account yang hanya berisi orang-orang terdekat ini juga menjadikan pengguna akun merasa aman untuk bebas meluapkan perasaannya ke sosial media. Oleh karena itu, terkadang, keberadaan second account ini dipakai sebagai tempat curhat bagi kalangan muda.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kecenderungan Gen Z memiliki akun kedua ini kerap kali disangkutpautkan dengan tanda mental illness. Guru Besar Psikologi UNDIP, Dian R. Sawitri, menjelaskan bahwa Gen Z yang lebih memilih untuk menyembunyikan sisi aslinya di akun kedua dan berusaha menampilkan sosok sempurna di akun utama diklaim menjadi tanda adanya masalah kepercayaan diri pada orang tersebut. Hal ini karena adanya pengaruh adiksi dan distraksi dari keberadaan konten negatif sosial media yang banyak berisi tentang perbandingan sosial yang tidak sehat.
Selaras dengan pernyataan di atas, menurut Pakar Psikologi dan Perkembangan Anak Universitas Airlangga, Prof. Nurul Hartini, dilansir dari Kompas.com, fenomena memiliki banyak akun di sosial media juga menunjukkan kepribadian yang kurang sehat dari suatu individu. Hal ini karena ibaratnya, dalam sosial media, Gen Z harus memakai banyak topeng layaknya bermain peran untuk menutupi jati diri asli.
ADVERTISEMENT
Berlawanan dengan hal tersebut, psikolog klinis, dr. Anindita Rahma dari Universitas Gadjah Mada, dilansir dari rri.co.id, menerangkan bahwa penggunaan second account oleh Gen Z dapat menjadi salah satu cara untuk berekspresi tanpa adanya tekanan dari ekspektasi sosial yang ada di akun utama. Hal ini bisa mencerminkan kebutuhan untuk mendapatkan ruang yang lebih pribadi dalam berkomunikasi. Menurutnya, tidak semua penggunaan second account menunjukkan adanya masalah psikologis, tetapi apabila ditemukan adanya postingan yang bersifat destruktif, hal ini membutuhkan perhatian lebih.
Kesimpulannya adalah di sini peran orang tua dan keluarga dibutuhkan untuk saling mendampingi dan menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi Gen Z untuk mengekspresikan diri. Pada akhirnya, fenomena second account di kalangan Gen Z ini menjadi cerminan dari perubahan sosial dan tekanan digital yang dihadapi. Meskipun tidak selalu menjadi tanda munculnya mental illness¸ luapan emosi melalui konten negatif di second account dapat menjadi indikator awal masalah kesehatan mental karena bagaimanapun kesehatan mental adalah prioritas utama di era digital ini, di mana batas antara dunia nyata dan dunia maya semakin kabur.
ADVERTISEMENT