Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Post Mortem Denmark dan Prinsip Janteloven
12 Juli 2021 13:00 WIB
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:02 WIB
Tulisan dari Dias Lanang Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum semua pemberitaan terfokus pada laga Final Italia vs Inggris, antara perdebatan antara It's coming Home atau It's Coming Rome. Ijinkan saya untuk menuliskan ini sebagai pengingat. Bahwa timnas Denmark layak untuk mendapat credit lebih selama pegelaran Euro 2020 ini. Tak ada tim yang perjalanannya membuat kita terenyuh dengan perjuangan yang mereka hadirkan.
ADVERTISEMENT
Memang kekalahan Denmark dari Inggris sudah berjalan beberapa hari namun perjalanan mereka di Euro 2020, tak membuat khalayak ragu bahwa tim ini patut dikenang karena memiliki petualangan spiritual tersendiri.
Tidak ada yang menyangka Denmark bisa melangkah sejauh ini.Mulai dari bertarung dengan maut ketika Cristian Erikssen kolaps.Mengalami kekalahan di dua pertandingan awal, berhasil membantai tuan rumah Russia dengan skor 1-4, berhasil menyingkirkan Wales dan Rep Ceko serta memaksa Inggris bertanding hingga extra time dan itupun Schmeichel juga mendapat gangguan laser dari suporter Inggris sebelum kebobolan.
Namun dibalik tersingkirnya Denmark, terbesit pertanyaan mengapa di luar pemberitaan mengenai Erikssen seakan mengapa mereka tidak menjadi tim yang menonjol untuk dibicarakan, atau setidaknya tidak sesensasional atau tidak ada pujian superlatif yang memantik kontroversi seperti pemberitaan Timnas Inggris, atau Italia misalnya.
ADVERTISEMENT
Prinsip Janteloven
Saya berasumsi awalnya pastilah kearifan lokal untuk menghadapi kehidupan khas kawasan itu yang secara pelan dan turun temurun diwariskan dan kemudian terumuskan menjadi nilai. Tetapi saya baru mengerti perumusannya ketika seorang penulis idola saya, Yusuf Arifin a.k.a Bung Dalipin pernah menulis bahwa ia direkomendasikan sebuah novel psikologi, A Fugitive Crosses His Tracks karangan seorang penulis campuran Denmark-Norwegia, Aksel Sandemose terbitan tahun 1936.
Novel itu disebut awal perumusan mental kolektif bangsa Skandinavia yang kemudian dikenal dengan sebutan Janteloven atau Jante of Law - Hukum Jante. Sandemose dianggap dengan sangat tepat melukiskan nilai kehidupan yang sudah mengakar di masyarakat Skandinavia selama ratusan tahun tetapi belum memiliki nama.
Novelnya sendiri sebuah jalinan cerita rumit, dengan si tokoh utama melakukan pembunuhan terhadap orang yang ia kagumi sekaligus benci, karena yang bersangkutan mencintai perempuan yang sama. 17 tahun setelah pembunuhan, sang tokoh yang didera rasa bersalah yang tak kunjung padam mencoba mencari ketenangan jiwa dengan mencari pembenaran kenap pembunuhan harus terjadi.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian menelusuri pengalaman psikologis di masa kecilnya di sebuah kota (imajiner) bernama Jante di Denmark, untuk menemukan jawabannya. Dalam perjalanan kenangan itu ia menemukan akar eksistensi kemanusiaannya (eksistensi kemanusiaan manusia Skandinavia).
Ada 10 poin dalam hukum Janteloven. Inti dari hukum tersebut adalah: jangan pernah berpikir dirimu istimewa atau lebih baik. Ada poin-poin seperti, "Jangan berpikir anda istimewa", atau "Jangan berpikir anda lebih penting ketimbang kami", maupun "Jangan berpikir orang-orang peduli pada anda".
Dalam sepakbola masa lalu, ada trio Grenoli (Gunnar Gren, Gunnar Nordahl dan Nils Liedholm) yang pada 1950-an menjadi bintang AC Milan. Apakah pernah mengenal nama di atas atau pernah diingat sebagai Bintang seperti Maradona ataupun Pele? Jawabannya Tidak.
ADVERTISEMENT
Sementara di cabang olahraga individu, berderet nama tenar lain. Di tenis, misalnya, ada Bjorn Borg, sosok pertama di Open Era yang menjuarai ajang Wimbledon lima kali berturut-turut (1976-1980), serta jagoan Grand Slam Perancis Terbuka sebanyak enam kali (1974-1975, 1978-1981). Ia disebut-sebut sebagai salah satu petenis terbaik dunia. Di ajang balapan, ada Ari Vatanen yang menaklukkan (reli) Paris-Dakkar. Sementara di Formula 1, Kimi Raikkonen jelas tak mungkin terlupakan. Gunung es keseharian yang tak hendak cair oleh keadaan.
Nama-nama di atas jarang sekali terdengar, terkenal atau setidaknya jarang membuat kontroversi. Berpegang kepada prinsip kebersahajaan kolektif tersebut, maka tak heran jika orang Skandinavia cenderung tidak menggebu untuk meraih capaian yang tinggi dalam hidup. Semua berlangsung mengalir belaka, baik atau buruk hasilnya. Dengan kata lain: mereka terbiasa dengan hal yang tidak muluk-muluk. Namun justru itulah yang terbaik dari falsafah Janteloven: prinsip tersebut mampu membuat orang bahagia dengan pencapaian yang biasa-biasa saja.
Bagi saya laga terbaik EURO 2020 aalah partai Denmark vs Finlandia, itu merupakan pertandingan yang merepresentasikan bagaimana prinsip Janteloven bekerja. Tidak hanya Denmark, timnas Finlandia memberikan respek besar yang berperan cukup penting sehingga laga tersebut sarat nilai.
ADVERTISEMENT
Dari giant flag suporter Finlandia yang digunakan tim Denmark untuk menutupi penanganan medis untuk Erikssen, bahkan hingga pencetak gol yang membuat kemenangan bersejarah finlandia, Joel Pohjanpalo (saya pun ragu anda mengingat namanya) ia tidak terlalu larut dalam euphoria. Pikirannya tak bisa lepas dari gelandang Denmark,Cristian Erikssen
Setelah laga ia berkomentar, "Tentu saja sulit bagi kami melanjutkan pertandingan. Ini merupakan kemenangan besar bagi Finlandia, tetapi hal terpenting di pikiran kami adalah kondisi dari Christian," ujar Pohjanpalo dikutip dari BBC.
Eriksen dinobatkan sebagai star of the match di laga itu. Bintang yang eggan, mungkin penggambaran yang tepat untuk penggambaran karakter tiap pemain Skandinavia di laga itu.
Sebuah program dokumenter televisi di Inggris yang dibuat oleh seorang juru masak pernah melakukan perjalanan kuliner ke Skandinavia. Setelah mengunjungi negara-negara Skandinavia, mencoba masakannya, menyelami kehidupan sosial politik serta budayanya, dan tentu saja membahas tentang Janteloven, sang juru masak itu menyampaikan kesimpulannya. Salah satunya: "Skandinavians are famous for not being famous (Orang Skandinavia terkenal dengan keengganannya untuk menjadi terkenal)." Sebuah pernyataan yang mewakili kekayaan spektrum kesederhanaan.
ADVERTISEMENT
Timnas Denmark sudah berjuang sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya. Prinsip kebersahajaan ini adalah bagian spektrum dari kekuatan Timnas Denmark, sangat relevan dengan tagline Kuku Bima Ener-G, Rosa ! minum Kuku Bima, Roso!" Kemenangan sesungguhnya bersama orang-orang yang kuat.