Konten dari Pengguna

Kebebasan Pers vs UU ITE: Menjaga Keseimbangan Hukum dan Hak

Diaz Atisa
Mahasiswa ilmu komunikasi FISIP universitas Andalas
16 September 2024 16:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diaz Atisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi By StockCake
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi By StockCake
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Delik pers, atau tindak pidana yang berkaitan dengan media massa dan praktik jurnalistik, menjadi topik penting dalam pembahasan hukum di Indonesia. Pers, sebagai salah satu pilar demokrasi, memiliki peran signifikan dalam menjaga keterbukaan informasi. Namun, kebebasan ini harus sejalan dengan peraturan hukum yang mengatur agar tidak ada penyalahgunaan hak tersebut. Di Indonesia, delik pers diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT
KUHP, sebagai undang-undang yang sudah ada sejak lama, telah mengatur beberapa pasal terkait delik pers, terutama mengenai penghinaan, pencemaran nama baik, dan fitnah. Misalnya, Pasal 310 KUHP mengatur bahwa penghinaan yang dilakukan di hadapan publik dapat dijerat pidana. Hal ini juga mencakup penghinaan yang disebarkan melalui media cetak atau elektronik. Meskipun demikian, banyak yang menganggap bahwa aturan dalam KUHP belum sepenuhnya relevan dengan perkembangan media di era digital. Kemajuan teknologi dan informasi sering kali menghasilkan kasus-kasus yang sulit diinterpretasikan dengan aturan lama yang ada dalam KUHP.
Terbitnya UU ITE pada tahun 2008 membawa perubahan besar dalam pengaturan hukum di ranah digital, termasuk jurnalistik daring. UU ITE mengatur berbagai tindak pidana yang berkaitan dengan penyebaran informasi melalui media elektronik, seperti pencemaran nama baik dan berita bohong. Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara spesifik mengatur tindak pidana pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik. Pasal ini sering dijadikan dasar tuntutan terhadap jurnalis atau pengguna media sosial yang dianggap melanggar hak seseorang. Hukuman dalam UU ITE biasanya lebih berat dibandingkan dengan KUHP, yang menimbulkan kontroversi serta kritik dari kalangan pegiat kebebasan pers dan aktivis hak digital.
ADVERTISEMENT
Jenis-Jenis Delik Pers
1. Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Jenis delik ini melibatkan tindakan yang merugikan nama baik atau kehormatan seseorang, baik secara langsung melalui penghinaan, maupun tidak langsung melalui fitnah. Aturan ini diatur dalam KUHP dan UU ITE, tetapi cakupannya lebih luas di UU ITE karena meliputi media digital.
2. Penyebaran Berita Bohong (Hoaks)
Menyebarkan informasi palsu yang menyebabkan keresahan di masyarakat merupakan pelanggaran serius, terutama di era digital yang cepat. UU ITE mempertegas bahwa penyebaran berita bohong melalui platform digital bisa dikenai sanksi berat.
3. Penyebaran Informasi Tanpa Izin
Jurnalisme yang mengabaikan izin penyebaran informasi atau melanggar hak privasi dapat dikenai delik pers, terutama jika informasi tersebut berdampak negatif pada individu atau lembaga. Kasus seperti ini juga bisa dikategorikan sebagai pelanggaran privasi atau hak cipta.
ADVERTISEMENT
4. Ujaran Kebencian dan Provokasi
UU ITE juga menjerat konten atau aktivitas jurnalistik yang mengandung ujaran kebencian (hate speech) atau provokasi yang berpotensi memicu konflik sosial, diskriminasi, atau tindakan kekerasan.
Penerapan UU ITE, khususnya pada pasal-pasal yang berkaitan dengan delik pers, sering dianggap menimbulkan efek takut atau self-censorship dalam kebebasan berekspresi. Banyak jurnalis dan aktivis merasa terancam dengan ketentuan ini, terutama karena pasalnya dianggap multi-tafsir dan rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik. Adanya ancaman hukuman pidana dalam delik pers juga memunculkan dilema etis di kalangan jurnalis. Di satu sisi, pers diharapkan untuk terus mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, di sisi lain, ancaman hukum membuat banyak media lebih berhati-hati atau bahkan menghindari topik-topik yang sensitif dan berpotensi menimbulkan masalah hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi yang sehat, kebebasan pers adalah hak esensial yang harus dijaga. Namun, kebebasan ini juga tidak tanpa batas. Delik pers dalam KUHP dan UU ITE berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Meskipun demikian, penerapannya harus dikritisi dan diawasi agar tidak menjadi alat untuk mengekang kebebasan itu sendiri. Regulasi terkait pers idealnya memperkuat kebebasan informasi tanpa mengorbankan hak individu dan ketertiban umum. Untuk mencapai itu, diperlukan revisi terhadap beberapa pasal dalam UU ITE dan KUHP agar dapat menciptakan ekosistem media yang lebih adil, transparan, dan bebas dari ancaman yang dapat menghambat kebebasan pers.