Konten dari Pengguna

Korupsi dan Suap di Balik Pena Jurnalis: Kasus Amplop Beracun

Diaz Atisa
Mahasiswa ilmu komunikasi FISIP universitas Andalas
30 Agustus 2024 14:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diaz Atisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi By Istock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi By Istock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Praktik "amplop dalam amplop" yang masih marak di dunia jurnalistik Indonesia menjadi ancaman serius terhadap kredibilitas media dan integritas etika jurnalistik. Fenomena ini, yang melibatkan pemberian uang atau hadiah kepada wartawan sebagai imbalan atas liputan atau pemberitaan tertentu, tidak hanya menjadi masalah etika profesional tetapi juga memiliki kaitan erat dengan aspek hukum yang mengatur korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Amplop dalam amplop" mengacu pada tindakan memberikan uang atau hadiah kepada wartawan oleh narasumber, perusahaan, atau individu dengan tujuan mempengaruhi isi pemberitaan. Bentuknya beragam, mulai dari uang tunai hingga fasilitas mewah, dan sering kali dianggap sebagai bentuk "suap" yang bertujuan menutupi informasi negatif atau memperindah citra pihak pemberi.
Penelitian dalam Jurnal Ilmu Komunikasi (2018) menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama dari maraknya praktik ini adalah kondisi ekonomi wartawan yang kurang baik, terutama di media lokal dan kecil. Rendahnya gaji wartawan menjadi alasan utama mengapa banyak yang menerima amplop tersebut sebagai tambahan penghasilan. Etika jurnalistik mengharuskan wartawan untuk bersikap independen, jujur, dan tidak memihak. Namun, praktik amplop dalam amplop jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini. Wartawan yang menerima imbalan cenderung kehilangan objektivitas dan menjadi bias dalam melaporkan berita. Hal ini tentu nya tidak hanya merusak integritas pribadi wartawan, tetapi juga mengurangi kepercayaan publik terhadap media.
ADVERTISEMENT
Jurnal Komunikasi (2019) menyebutkan bahwa praktik ini menurunkan kualitas pemberitaan dan menyebabkan penyebaran informasi yang tidak akurat. Akibatnya, publik yang seharusnya menerima informasi yang jujur dan objektif, justru disuguhi berita yang telah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu.
Praktik amplop dalam amplop tidak hanya melanggar etika jurnalistik, tetapi juga bertentangan dengan hukum di Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mendefinisikan suap sebagai pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan tujuan mempengaruhi agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun wartawan bukan pegawai negeri, analogi ini relevan karena mereka memiliki peran penting dalam penyampaian informasi publik.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001 menetapkan bahwa pemberi suap, termasuk dalam konteks pemberian amplop kepada wartawan, dapat dijerat dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun serta denda. Penerima suap juga dapat dikenakan sanksi hukum yang serupa. Untuk memberantas praktik ini, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk media, asosiasi wartawan, dan pemerintah. Perusahaan media perlu meningkatkan kesejahteraan wartawan agar mereka tidak tergoda menerima suap. Asosiasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) harus memperketat kode etik dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar. Dari sisi hukum, penegakan aturan harus diperkuat untuk memberikan efek jera bagi pemberi dan penerima suap. Selain itu, publik juga harus diberikan edukasi mengenai pentingnya mengonsumsi berita dari sumber yang kredibel dan bebas dari pengaruh eksternal.
ADVERTISEMENT
Praktik amplop dalam amplop di kalangan wartawan merupakan ancaman serius bagi etika jurnalistik dan integritas media di Indonesia. Selain merusak kredibilitas media, praktik ini juga melanggar hukum yang mengatur tentang suap dan korupsi. Upaya kolektif dari berbagai pihak diperlukan untuk memberantas praktik ini dan memulihkan kepercayaan publik terhadap media sebagai pilar demokrasi yang independen.