Konten dari Pengguna

Ayah dan Anak Perempuannya

Diaz Salwa Fadhila
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
13 Juli 2021 20:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diaz Salwa Fadhila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ayah dan anak perempuannya. Foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ayah dan anak perempuannya. Foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ayah adalah sosok pemikul beban berat yang tak pernah mengeluh. Baginya, kelangsungan hidup keluarganya adalah satu-satunya alasan untuk berangkat pagi-pagi dan pulang hingga larut malam hanya untuk bekerja mencari pundi-pundi rupiah.
ADVERTISEMENT
Aku adalah anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari dua bersaudara yang dimiliki ayah dan ibuku. Tidak jarang keputusan yang aku pilih selalu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh ayahku. Jika pilihan itu memiliki risiko terlalu besar bagi keselamatanku, ayah akan dengan tegas melarangku.
Saat ini aku sudah beranjak dewasa, dan ayahku pun melonggarkan peraturannya. Aku tahu kepercayaan ini tidak dengan mudah diberikan oleh ayahku kepadaku, karena baginya aku tetap peri kecil baginya, dan keselamatanku akan selalu menjadi tanggung jawabnya.
Terkadang aku melonggarkan kepercayaannya untuk keluar rumah hingga larut malam. Ayahlah yang setia menungguku dibalik pintu rumah dengan rasa sangat risau sampai harus menghubungi beberapa temanku untuk menanyakan di mana dan sedang apa aku diluar.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, aku diajak teman-temanku untuk pergi bermain. Saat itu, aku lupa waktu dan pulang hingga larut malam. Seperti biasa, saat aku pulang, ayahku sedang menungguku di ruang tamu. Saat itu ayah marah hebat, karena kesekian kalinya aku melonggarkan kepercayaan yang ia berikan kepadaku.
Dengan perasaan takut dan sedih aku langsung menuju kamarku untuk meninggalkan ayah di ruang tamu. Hatiku seakan seperti tercambuk oleh perkataan ayah malam itu, yang bisa aku lakukan hanyalah menangis meratapi kenyataan ayah memarahiku. Tidak lama setelah aku masuk ke kamar, ibu pun menghampiri untuk menenangkanku. Di malam itu, ibu bercerita banyak tentang ayahku. Malam yang mengubah pandanganku terhadap ayahku.
Ibuku berkata bahwa saat aku kecil aku selalu menunggu ayahku pulang bekerja, dengan senyumnya ibu juga menegaskan bahwa hal itu sangat membuat ibuku kewalahan karena harus terjaga hingga semalaman suntuk. Kata ibu, ayah selalu menyempatkan waktu untuk bermain denganku walau letih sehabis bekerja seharian. Aku adalah segalanya bagi ayahku.
ADVERTISEMENT
Ibu menyadari bahwa saat itu aku sangat membenci ayahku. Namun, ibu menasehatiku bahwa ayahku akan tetap menjadi ayahku, seseorang yang darahnya mengalir di dalam tubuhku. Seseorang yang mengantarkan tauhid ketika aku lahir. Ibuku menambahkan bahwa suara ayahlah yang menyenandungkan azan saat aku lahir.
Saat itu ibu juga sempat bercerita tentang bagaimana perjuangan ayah membesarkanku hingga tertatih mencari pundi-pundi rupiah. Kata ibu, ayah kerap menangis sendirian karena tidak bisa memberikan yang terbaik untukku, hanya saja ayah tidak ingin menangis di depanku agar aku tidak ragu berlindung dan mengadu di balik lengan dan punggung ayahku. Ibu juga bercerita bagaimana ayahku sangat bangga kepadaku. Ketika aku masuk perguruan tinggi negeri, ayahlah orang pertama yang dengan bangga memberitahu sanak saudara bahwa aku mampu masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik.
ADVERTISEMENT
Setelah mendengar cerita tentang ayahku, tangisanku semakin menjadi-jadi. Berbeda dengan sebelumnya, saat itu aku menyadari bahwa tangisanku akibat penyesalan yang aku lakukan karena sudah melonggarkan kepercayaan yang ayah berikan kepadaku.
Sebelum ibu pergi ke kamarnya, ibu menitip pesan dengan berkata "nak, jauh di dalam lubuk hatinya, ayah hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu. Bahwa cinta ayahmu kepadamu sama besarnya dengan cinta ibu kepadamu. Jangan pernah putus mendoakannya, karena di dalam dirinya juga terdapat surga bagimu. Hormati dan sayangilah ayahmu". (Diaz Salwa, mahasiswa PNJ)